Senin, 09 Juni 2008

Singkawang: Upaya Memahami Proses Sosial

Ada tiga pertimbangan untuk memilih Singkawang, ibu kota Kabupaten Sambas, Propinsi Kalimantan Barat, sebagai lokasi penelitian. Pertama, dari seluruh propinsi di Indonesia, jumlah dan persentase orang Cina di Kalimantan Barat paling besar. Demikian pula halnya Singkawang, mempuinyai penduduk orang Cina paling besar, baik dalam jumlah maupun persentase dibanding beberapa daerah tingkat dua lainnya di Kalimantan Barat atau bahkan di Indonesia. Dari seluruh penduduk di Singkawang, persentase orang cina disana mendekati lima puluh persen. Kedua, singkawang dan daerah sekitarnya merupakan lokasi yang berperan penting dan memiliki kedudukan khusus bagi orang Cina, baik dimasa lalu maupun di masa kini.ketiga, dipandang dari kondisi sosial, budaya dan ekonomi, masyarakat Cina di Singkawang memiliki karakteristik tertentu yang berbeda dibanding masyarakat Cina di pulau Jawa. Begitu pula halnya dengan masalah yang mereka hadapi ketika berasimilasi dalam rangka integrasi nasional.
Sekalipun penelitian dipusatkan pada masyarakat Cina di Singkawag, analisisnya tidak terlepas dari keadaan dan perkembangan komunitas Cina di Indonesia, khususnya di pulau Jawa. Masyarakat Cinta di pulau Jawa, misalnya, cenderung lebih berkembang dan menghadapi masalah yang lebih kompleks. Hal ini terkait dengan posisi pulau Jawa sebagai pusat pemerintahan, baik dimasa kolonial maupun di masa kemerdekaan. Lagipula, pulau Jawa telah berkembang sistem kerajaan yang cukup ‘mapan’ dengan berbagai permasalahannya.
Hingga dewasa ini, gagasan asimilasi yang telah lama muncul di kalangan orang Cina belum menunjukkan hasil berarti. Dalam kehidupan sehari-hari, asimilasi yang ditampilkan dalam kondisi tertentu, tampaknya lebih bersifat superficial dan formal. Kondisi ini tidak lepas dari berbagai kebijakan yang telah dikeluarkan pemerintah. Di samping itu, satu hal penting yang perlu diperhatikan adalah dimensi asimilasi di kalangan orang Cina, berbeda dengan dimensi asimilasi di kalangan berbagai suku bangsa bumiputera.
Berbagai usaha warga keturunan Cina untuk menyesuaikan diri dalam ‘kebudayaan indonesia’, juga akan dikaji berdasarkan pada pengetahuan mengenai proses-proses sosial. Hasil analisisnya bertumpu pada deskripsi tentang keadaan mereka, baik dimasa lalu maupun sekarang. Selain itu, guna memahami arah asimilasi yang sedang berlangsung secara riil dan asimilasi yang seharusnya berlaku, heterogenitas suku bangsa dan kebudayaan dikalangan masyarakat Cina di Indonesia, merupakan aspek yang perlu mendapatkan perhatian.

Dewasa ini kompleksitas masalah yang melingkari orang Cina di Indonesia, diletakkan pada tahapan akomodasi. Karena itu, pemahaman mengenai proses dan bentuk akomodasi yang dihasilkan, merupakan indikator penting untuk menjawab pertanyaan mengenai sejauh mana orang-orang Cina telah berasimilasi. Berbagai hambatan yang dinilai penting dan releven untuk dijadikan tolak-ukur dalam studi ini meliputi sistem mata pencaharian hidup, pendidikan, bahasa, kelahiran dan perkawinan, kewarganegaraan serta nama dan peraturan ganti nama.

Bertitik tolak dari ruang lingkup penelitian, studi ini diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahuan mengenai proses-proses sosial di Negara kesatuan Indonesia yang majemuk. Selain itu berprestasi memberi sumbangan pemikiran guna menyelesaikan kehadiran orang-orang Cina yang berstatus WNI dalam rangka mewujudkan integrasi nasional yang harmonis. Dengan demikian, yang ingin dicapai dari pengkajian ini juga terkait erat dengan pembangunan bangsa Indonesia. Pembangunan nasional, bukan hanya proses kearah modernisasi, melainkan juga proses pembinaan bangsa (nation-building) di segala bidang, baik ekonomi, politik, sosial-budaya maupun metalitas.
Artinya terkandung pengertian bahwa memberi prioritas utsms kepada pembangunan ekonomi, hanyalah strategi agar melimpah ke bidang-bidang lainnya (Alfian, 1970:27).

Sebagai salah satu disiplin ilmu, antropologi diharap memberi sumbangan pemikiran atas persoalan yang muncul akibatkeanekaragaman suku bangsa dan kebudayaan di Indonesia. Sifat majemuk bangsa Indonesia, selain merupakan kebanggaan, dapat pula menjadi sumber konflik, baik antar suku bangsa maupun antar golongan. Unsure-unsur penting dalam usaha dan proses pembangunan Negara kesatuan republic Indonesia adalah saling pengertian. Sementara koentjaraningrat, 1969:13).

Akhirnya, adalah menarik mengaitkan semua soal di atas dengan pandangan Wertheim (1964:10). Ia mengatakan latar belakang konflik social dan diskriminasi antara golongan cina dengan bumiputra ialah akibat persaingan di bidang ekonopmi. Sementara koentjaraningrat (1982:384) berpendapat bahwa masalah integrasi nasional di indoensia erat kaitannya dengan mengubah prasangka stereotip etnis antara warga suku bangsa yang berlainan, terutama guna mengejar kesempatan kerja serta pendidikan yang terbatas.


Berbagai Konsep yang Digunakan

Golongan Minoritas

Orang-orang cina diindonesia sering disebut dengan golongan minoritas. Sepintas lalu konotasi minoritas itu dikaitkan dengan jumlah mereka yang lebih kecil disbanding beberapa suku bangsa lainnya di Indonesia, misalnya jawa dan sunda. Tahun 1971 jumlah mereka hanya sekitar 2,7 % dari total penduduk Indonesia dan mereka yang bermukim di ibukota kabupaten berkisar antara 5-10 % dari seluruh penduduk.

Jika dikaji lebih lanjut, istilah golongan minoritas mengandung berbagai dimensi dan variable. Dalam rangsa studi hubungan antar kelompok, Simpson dan Yinger (1972:11) menganjurkan hendaknya peneliti berhati-hatim terutama jika mengunakan konsep-konsep mendasar.

Istilah minoritas memang sering dipakai,tetapi bukan dalam pengertian teknis. Mulanya istilah tersebut kerapkali dipakai untuk menunjukan kategori orang, bukan berdasarkan kelompok. Semakin lama istilah tadi digunakan untuk menunjukkan kategori orang atau sejumlah penduduk yang merupakan sasaran prejudice (prasangka) dan diskriminasi. Hal ini dikemukakan Theodorson dan Theodorson (1970: 258): “anyrocognizableracial,religion, or ethnic group in community that suffer some disadvantage due to prejudice or discrimination”.

Pengertian dalam pembatasan di atas masih terlampau umum. Berbeda dengan pembatasan yang dibuat Louis Wirth (1943:347), yakni:

“Wemaydefine a minority as a gtoup of pople who, because of their physical or cultural characteristic are singled out from the other society in which they live for differential and unequal treatment, and who therefore regard themselves as objects of collective discrimination. The existence of minority in a society implies the existence of a corresponding dominant group with higher social status and greater privillegas. Minotory status carries it the exclusion from full participation I the life of the society.

Konotasi minoritas tidak selalu dikaitkan Wirth dengan variable ras. Dengan dengan demikian, jika definisi tersebut di terapkan bagi orang cina di Indonesia, tampaknya lebih sesuai. Orang cina maupun berbagai suku bangsa bumiputra di Indonesia, termasuk ras mongloid. Perbedaan diantara mereka lebih menunjuk pada keadaan fisik, kebudayaan dan kehidupan sehari-hari. Timbulnya perlakuan ‘diskriminatif’ dalam konteks Wirth, antara lain disebabkan oleh kurangnya keterlibatan mereka dalam berbagai aktivitas di masyarakat.
Louis Wirth juga mengemukakan bahwa kehadiran golongan minoritas tidak lepas dari adanya kelompok dominant yang mempunyai kedudukan lebih tinggi dan lebih banyak memiliki hak-hak istimewa (privileges). Guna memahami kehidupan dalam masyarakat yang majemuk, Schermerhorn (1970:13) mencoba menjelaskan melalui paradigma kelompok dominant dan subordinate yang didasarkan atas dua dimensi, yakni size (jumlah) power (kekuasaan).
Berdasarkan paradigma tersebut, maka yang disebut golongan minoritas adalah mereka yang mempunyai karakteristik seperti kelompok D daripada B, sebaliknya yang merupakan golongan mayoritas lebih menunjuk kelompok A dari pada C. jika paradigma tersebut diterapkan bagi orang cina di Indonesia, ternyata tidak sepenuhnya tepat. Dari segi jumlah, penduduk Indonesia memang besar, tetapi dari segi penguasaan ekonomi penduduk Indonesia perananya kecil. Justru disektor ekonomilah orang cina cenderung mempunyai peran yang cukup potensial. Sekalipun demikian, mereka dapat dikategorikan sebagai golongan minoritas berdasarkan ciri-ciri tertentu lainnya, misalnya cenderung untuk melakukan perkawinan dengan sesama golongan. Di samping itu, dalam interaksi dengan berbagai suku bumiputera, orang cina berada pada posisi subordinate; sedangkan suku bangsa bumiputera berada pada kedudukan superordinat atau kelompok dominant. Schermerhorn (1970:12-13) menjelaskan pengertian kelompok dominant, yaitu:

“…dominant group signifies that collectivity within society which has preeminent authority to finction both as guardians and sustainers of the controlling value system, and as a prime allocators of rewards in the society. It may be a group of greater or lesser extensity, i.e., a restricted elite, incumbents as governmental apparatus, an ethnic group a temporary or permanent coalition of interest groups or a majority”

Tampaknya penggunaan istilah golongan atau golongan minoritas bagi orang cina di Indonesia menimbulkan rasa kurang senang pada sebagian orang cina. Hal ini tampak pada dasawarsa 1960-an, tatkala berlangsung polemic berkepanjangan mengenai asimilasi. Badan Permusyarawatan Kewarganegaraan Indonesia (BAPERKI) sebagai salah satu partai politik yang memperjuangkan kepentingan orang cina di Indonesia, menghendaki agar orang cina diakui sebagai “suku” baru di Indonesia yang sejajar dengan berbagai suku bangsa lainnya di nusantara (yayasan tunas bangsa, 1977:20).

Adapun konsepsi suku bangsa menurut Schermerhorn (1970:12), adalah “…as a collectivity within a larger society having real or putative common ancestry, memories of shared historical past, and a cultural focus on one or more symbolic elements defined as the epitome of their peoplehood”. Contoh unsur-unsur simbolik tersebut adalah kindship patterns, physical contiguity (as in localism or sectionalis), religious patterns, language or dialect form, tribal affiliation, nationality, phenotypical features, or any combination of these. Menyimak konsepsi di atas, berarti berbagai patokan yang terkait dalam konsep suku bangsa tidak dapat diterapkan bagi orang cina di Indonesia, yaitu dalam pengertian sebagai kesatuan. Istilah orang cina bukan menunjuk pada cultural group, melainkan lebih kepada tataran Negara (state). Seorang ahli ilmu social amerika serikat, A.L. Epstein (1978:92) berpendapat bahwa “…that ethnic group were to be regarded as cultural group.” Sementara itu terdapat berbagai suku bangsa yang berasal dari republic rakyat cina (RRC) yang ada di Indonesia,antara lain Hokkien,Hakka,Teochiu,Kamton,Hailam,dan sebagainya.Kebudayaan merekapun berbeda satu dengan yang lain.Nenek moyang dan latar belakang sejarah masa lalu mereka juga berbeda dengan berbagai suku bangsa bumiputra.Karena itu,tepatlah yang dikatakan skinner (1967:97)bahwa tidak gampang mengaklasifikasikan seseorang sebagai orang cina,antara lain karena mereka yang bermukim diindonesia bukan satu kesatuan yang homogen.

Dari berbagai uraian diatas,jelaslah bahwa pengunaan kata minoritas bagi orang cina dalam kehidupan sehari-hari,cenderung lebih bersipat teknis,yaitu untuk menunjuk angka persentase mereka disbanding seluruh penduduk di Indonesia. Dengan demikian,munculnya ketegangan hubungan lantaran kehadiran orang cina sebagai bagian dari bangsa Indonesia,tidak ada tempatnya dinilai sebagai masalah golongan minoritas,misalnya seperti yang terdapat diRRC.

Dalam konteks Indonesia,masalah orang-orang cina yang telah berstatus WNI adalah erat kaitannya dengan proses pembinaan bangsa,terutama mengigat sifat majemuk bangsa Indonesia dan polarisasi yang terjadi dalam berbagai lapangan kehidupan.

Prasangka dan diskriminasi

Dalam hubungan mayoritas-minoritas,factor yang sering menghambat terciptanya asimilasi adalah diskriminasi dan prasangka.Simpson dan Yinger (1972:28-29)melihat bahwa kedua factor tersebut merupakan fenomena yang berbeda, sementara pendapat yang lainnya mengatakan bahwa prasangka adalah jawaban atas diskriminasi. Schermerhorn (1970:6)menilai bahwa prasangka merupakan jawaban yang muncul dari berbagai situasi,yaitu situasi sejarah,ekonomi dan politik.

Istilah prasangka atau prejudice berasal dari bahasa latin praejudicium .Gordon W.Allport (1954:9) mengartikan prasangka sebagai: “Afeeling Favorable or unfavorable,towarda person or thing,priorto,or not based on,actual experience.Ia juga menjelaskan bagaimana proses timbulnya prasangka,yakni karena:”Aneffective or hostile attitude toward aperson who belongs to group,simply because he belongs to that group.

Bentuk prasangka terhadap seseorang relative bersifat kaku. Hal ini tercermin dari persepsi atau perasaan yang muncul bernada negative terhadap kelompok lain. Dalam New English Dictionary disebutkan dua macam prasangka, yaitu yang bersifat positif dan negative. Ada kalanya prasangka dipandang sebagai salah satu istilah penting yang berkaitan dengan kerangka kognitif (cognitive), aktif (affective) dan evaluatif (evaluative) dalam konteks reference yang releven pada hubungan antar kelompok. Pencerminan prasangka, dapat muncul dalam bentuk stereotip. Artinya prasangka dan stereotip mewakili pengertian yang sama. Sebaliknya pengertian yang tercakup dalam kedua istilah tersebut berbeda dengan (ethnocentrism. Istilah yang terakhir ini biasanya digunakan untuk menunjuk suatu perkiraan yang negative terhadap seseorang atau kelompoknya.

Hubungan antar ras, antar suku bangsa, antar mayoritas-minoritas, bukan didasarkan pada prasngka. Prasangka lebih merupakan akibat sampingan dari berbagai factor, antara lain diskriminasi. F.M. Hankins, seperti tercantum dalam Hubert M. Blalock (1976:16), memberi alas an diskriminasi sebagai unequal treatment of equal (ketidaksetaraan kelakuan terhadap keadaan yang setara). Diskriminasi merupakan bentuk perlakuan efektif dan berbahaya yang dilakukan seseorang dalam situasi tertentu tanpa pertimbangan rasional. Artinya, diskriminasi merupakan system dalam hubungan-hubungan social yang berkaitan dengan tipe struktur social tertentu. Dengan demikian untuk menganalisis interaksi mayoritas-minoritas, harus dikaitkan pula dengan berbagai aspek struktur social yang berlaku dalam suatu masyarakat.

Dalam konteks hubungan orang cina di Indonesia, kurang tepak jika diskriminasi dikaitkan dengan ras. Seandainya terdapat unequal treatment of equal, lebih disebabkan oleh hambatan psikologis (psychological barrier), terutama karena perbedaan latar belakang sejarah, kebudayaan dan persepsi mengenai perasaan memiliki atau terlibat (sence of belonging) serta loyalitas terhadap Negara. Di samping itu, Gordon W. Allport mengatakan bahwa jika terdapat perbedaan perlakuan yang didasarkan pada kualitas individual, maka tidak dapat dikategorikan sebagai diskriminasi (1954:51-52).

Memang terdapat kesulitan untuk menyimpulkan apakah perlakuan diskriminatif tersebut didasarkan atas sikap individual atau kelompok. Karena itu untuk menyatakan ada atau tidak diskriminasi, muncul permasalahan menyangkut unit yang akan diukur. Apakah unit tersebut jumlah perlakuan diskriminatif; atau jumlah pelaku diskriminatif; atau jumlah orang-orang yang seringa menajadi sasaran diskriminatif? Mengingat masalah ini, dalam penelitian mengenai hubungan mayoritas-munoritas, diskriminasi seringkali tidak sepenuhnya dapat dirumuskan secara matematis, kecuali untuk beberapa hal yang terbatas.

Proses-proses social

Kelompok social dan lembaga kemasyarakatan adalah bentuk structural dari masyarakat yang dinamikannya tergantung pada pola perilaku para warganya dalam mrnghadapi suatu situasi tertentu. Dalam encyclopaedia of the social sciences, mak lerner menempatkan proses-proses social sebagai aspek dinamis dari hubungan-hubungan social (1957:150). Dinamika masyarakat tercermin dari perkembangan dan perubahan yang terjadi, sebagai akibat hubungan antar individu; antar kelompok; maupun antar interaksi social yang ditandai dengan berkembangnya kontak dan komunikasi, merupakan aspek penting untuk mempelajari proses-proses social. Dengan kata lain, pengetahuan megenai proses-proses social dapat dipakai untuk mrngetahui perilaku yang akan dijalankan, yaitu jika terjadi perubahan yang menyebabkan goyahnya cara mereka. (gillin dan gillin, 1954:487-488). Sehubungan dengan bentuk proses social, Robert E. park (park, 1957:403), dalam encyclopaedia of the social sciences, menyebutkan ada empat bentuk yang penting, yakni persaingan (competition), pertikaian (conflict), akomodasi (accommodation) dan asimilasi (assimilation).

Asimilasi dan Akulturasi. Sebagai salahs atu betuk proses social, asimilasi erat kaitannya dengan dan hasil pertemuan dua kebudayaan atau lebih. Ada kalanya istilah dan akulturasi dipakai dalam pengertian yang sama dan tak jarang tumpang-tindih. Menurut Milton M. Gordon (1964:61)), ada sebagian pendapat yang mengatakan bahwa asimilasi lebih sring dipakai para ahli sosiologi, sedang para ahli anteropologi lebih suka mempergunakan istilah akulturasi. Sekalipun kedua istilah tersebut pada dasarnya mengandung pengertian yang sama, tetapi juga menunjukkan dimensi berbeda. Contohnya adalah pembatasan asimilasi yang di buat Robert E. Park dan Ernest W. Burgess (1921:735); serta pembatasan akulturasi yang dirumuskan Robert Redfield, Ralp Linton dan Melville Herskovits. Ketiga ahli sosiologi tersebut membuat batasan asimilasi sebagai “..a process of interpenetration and fushion in which persons and groups acquire the memories, sentiments, and attitude of other persons or groups, and, by sharing their experience and history, are incorporated with them in a common cultural life. Adapun pengertian akulturasi yang dikemukakan oleh ketiga ahli antropologi diatas adalah “..compreheds those phenomena which result when groups of individuals having different culture comes into continuous first hand contact, with subsequent changes in the original cultural patterns of either or both groups.”

Jika diamati, kedua pembatasan tersebut berisi pengertian mengenai terjadinya pertemuan orang-orang atau perilaku budaya. Lantaran pertemuan tersebut, kedua belah pihak saling mempengaruhi dan akhirnya kebudayaan mereka saling berubah bentuk. Yang tampak berbeda adalah tidak ditemukannya cirri-ciri structural dalam pembatasan akulturasi. Sementara dalam pembatasan asmilasi, hubungan yang bersifat sosio-struktural tercermin dari “sharing their expreince” dan “incorpetated with in a common cultural life”. Lebih lanjut, Herskovits (1958:10) berpendapat bahwa makna yang terkandung dalam akulturasi berbeda dengan perubahan kebudayaan (cultural change). Akulturasi hanya salah satu aspek dari perubahan kebudayaan, sedangkan asimilasi adalah salah satu tahapan dari akulturasi. Selain itu, akulturasi juga berbeda dengan difusi (diffusion). Semua bentuk akulturasi mengandung pengertian tersebut, terutama dalam konteks tanpa melalui suatu kontaks dari orang-orang yang menajdi pendukung kebudayaan tertentu.

Herskovits juga berkata bahwa akulturasi adalah istilah spesifik Amerika. Lapangan studi mengenai akulturasi, oleh sebagian mahasiswa di Jerman lebih dikenal sebagai kajian mengenai kontak.-kontak kebudayaan; sedangkan diingris lebih popular sebagai studi perihal kontak kebudayaan. Tumpang tindih pengertian mengenai akulturasi dan asimilasi dibahas dalam kongres The Social Research Council. Kongres ini berusaha merumuskan pembatasan yang lebih tepat dan harusdiperhatikan. Sebelum muncul pembatasan yang mantap dari kongres ini, pengertian akulturasi menunjukkan sejumlah variasi. Dan munculnya rumusan dari sub komite akulturasi dalam kongres ini tidak lepas dari perkembangan ruang lingkup dan objek yangs elalu mengalami perubahan, terutama sejak awal abad XXM, ketika bangsa-bangsa “primitive” mulai menghilang karena penagruh kebudayaan Ero-Amerika.

Selain itu, Arnold M. Rose (1956:557-558) juga berusaha menjelaskan perbedaan asimilasi dengan akulturasi. Ia menyatakan bahwa asimilasi:

“.. the adoption of the culture of another social group a complete extent that the person or group on longer has any characteristic identifying him with his former culture and no longer has any particular loyalities to his former culture. Or, the process leading to this adoption.”

Sementara itu akulturasi adalah, “…adopsi kebudayaan dari kelompok social lain oleh individu atau kelompok.” Jadi, “Leading to this adoption” adalah akarakteristik dari asimilasi. Loyalitas mereka terhadap kebudayaan asal semakin kecil dan akhirnya kelompok tersebut mengidentifikasikan dirinya ke dalam kebudayaan baru. Pandangan yang dikemukakan Rose sesuai dengan pembatasan Park dan Burgess (1921:736-737) yang menilai bahwa asimilasi adalah produk akhir yang sempurna dari situasi kontak social. Lebih lanjut Park dan Burgess menjelaskan sebagai berikut.

“As a social contact initiates interaction, assimilation is its final product. The nature of social contacts is deceive in the process. Assimilation naturally takes most rapidly where contacts are primary, that is, where they are the most intimate and intense, as in the area of touch relationship, in the family circle and in intimate congenial groups. Secondary contacts facilitate accommodation, but do not greatly promote assimilation. The contacts here are external and too remote.”



Lantaran perkembangan diAmerika,konsepsi asimilasi juga mengalami perubahan,yakni mulai dikaitkan dengan aspek politik.Ini tampak pada istilah yang dirumuskan Robert E.Part dalam Encylopaedia of the Social Sciences(1957:281). Ia menyatakan “asimilasi social”,ialah “…the process or processes by which people of diverse racial origins and different cultural beritages,occupyinga a common territory,achieve a cultural solidarity sufficient at lest to sustain a national axistencive.” Para migrant diAmerika Serikat,misalnya,dianggap telah berasimilasi ketika mereka dapat berbahasa Inggris dan berperan serta dalam berbagai aktivitas social,ekonomi,dan politik,tanpa menimbulkan prasangka.Sehubungan dengan itu,Milton M.Gordon menuturkan bahwa terdapat tujuh variable yang terkait dengan asimilasi(1964:72).Jika berbagai variabel tersebut dikaji,tampaklah bahwa asimilasi menurut Gordon berarti mengharuskan para migran menyesuaikan diri kepada kebudayaan kelompok yang didatangi(host society).Artinya,kebudayaan golongan mayoritaslah yang digunakan sebagai ukuran untuk menilai keberhasilan induvidu atau kelompok ketika mereka menyesuaikan diri.Hal ini sesuai dengan konsepsi asimilasi yang dinilai tepat atau seharusnya berlakunya bagi orang Cina diIndonesia.

Akomodasi.Salah satu proses sosial lain yang erat kaitannya dengan pemahaman asimilasi adalah akomodasi.Ernes W.Burgess dalam Encylopaedia of the social Sciences(1957:404)menyajikan pengertian akomodasi sebagai “…the process of making social adjustment to situations by maintaining social distances between groups and persons which might otherwise come into conflictn.Ia juga mengatakan bahwa akomodasi tidak selalu dapat menciptakan asimilasi, terutama apabila tidak terjadi kontak yang intensif dan mendalam. Yang terjadi dalam akomodasi adalah “…old babits are broken-up, and new coordination are made,” demikian menurut Baldwin dalam Encyclopaedia of the social sciences(1957:403).Dengan demikian,selama proses penyesuaian berlangsung,berbagai konflik dihindari dan berbagai kebiasaan lama diusahakan diubah serta sisesuaikan,sehingga mereka yang saling terlibat mendapatkan”sesuatu yang berbeda atau yang baru”.
Ruang lingkup pengertian akomodasi,lebih jelas lagi dipahami melalui pembatasan yang dikemukakan Hornell Hart dalam Dictionnary of sociologi(1944:2).
“(1)Anysocial process,whether conscious or unconscious which concists in the alteration offunctional between personalities and group so as to avoid,reduce or eliminate conflict and to promote reciprocal adjustment(q.v),provided that the altered behaviour pattern is transmitted by social learning rather than biological heredity;and (2)the social relationships which result from this process.Among the varieties(or methods)of accommodation most often mentioned are arbitration,compromise,conciliation,conversion,subordination,and toleration”.
Berdasarkan pembatasan tersebut,disatu pihak akomodasi menunjuk pada suatu proses;dipihak lain menunjuk pada suatu keadaan.Akomodasi sebagai suatu proses ditandai dengan usaha menciptakan keseimbangan,sekaligus menjauhkan hal-hal yang menimbulkan konflik.Ada kalanya usaha tersebut dilakukan secara sadar,namun dapat pula karena terpaksa.Akomodasi yang menunjuk pada suatu keadaan,ditandai dengan terciptanya keseimbangan hubungan antara induvidu maupun antara kelompok.Dengan demikian akomodasi dapat terbentuk melalui arbitration,compromise,conciliation,conversion,subordination maupun toleration.Akomodasi berbeda dengan adaptasi,meskipun keduanya itu merupakan bentuk adjustment.Istilah adaptasi lebih sering digunakan merubahan-perubahan stuktural yang didasarkan atas variasi dan seleksi biologis.Sebaiknya ,akomodasi erat kaitannya dengan perubahan-perubahan fungsional,misalnya perubahan kebiasaan adapt-istiadat seseorang atau kelompok manusia.
Dalam kontek studi ini,bentuk compromise(kompromi)dan conversion(konversi)dipandang perlu mendapat perhatian khusus.Situasi yang kini mewarnaihubungan antara orang Cina dengan suku bangsa bumi putra terbentuk melalui proses yang telah berlangsung lama.Sementara itu,akomodasi yang menunjuk pada proses maupun yang menunjuk pada suatu keadaan tertentu,erat kaitannya dengan kompromi dan konversi.Dalam Dictionnary of Socialogy(1944:55)Frederic E.Lumley memberikan batasan kompromi sebagai “an agreement reached by mutual concession;conciliatory process consisting of the exchange of value until parties are more or less satisfied at least more of them satisfied than before the exchange the characteristic”.Guna mewujudkan asimilasi,salah satu contoh pengunaan kompromi adalah pemberian status WNI kepada orang-orang Cina.Sekalipun dalam kenyataan,pemberian status WNI ini masih menimbulkan rasa kurang puas pada kedua belah pihak,terutama mengenai hal-hal yang berkaitan dengan hak dan kewajiban sebagai warga Negara.
Mengingat hasil akomodasi dalam bentuk krompromi belum mampu memuaskan kedua belah pihak,antara lain karena masing-masing memiliki dasar argumentasi dan pandangan yang tidak sama,maka hubungan intensif dan mendalam berjalan tersendat.Karena itu,kendala yang diduga menghambat harus segera diketahui guna mewujudkan asimilasi.Bentuk akomodasi lain yang diharapkan dapat berperan mengatasi hubungan yang kurang mendukung asimilasi adalah konversi.Pada hakikatnya konversi dapat dijadikan pedoman atau arah untuk mewujudkan asimilasi,sehingga sumber potensi konflik dapat dieleminasi.
Secara garis besar,pengertian konversi menurut Encyclopaedia of the Social Science(1957:353) pakai untuk menunjuk”…change of heart,an emotional regeneration,typically the outlook,the inner adjustment and the habits of life an individual”.Berbagai pengertian yang lebih rinci,dijelaskan Thomas Eliot dan W.E.Gettya dalam Dictionnary of Sociology(1944:67-68).Ada tiga hal atau pengertian mendasar yang terkandung dalam konversi:
. 1. Dalam kaitannya dengan aspek sosio-psikologis,”the relatively sudden emergence of a new role of character in a personality:a complek or attitude previously latert comes into dominance,and the individual,is new person.Often associated with a new outlook,vision or belief,at a time of personal or social crisis.The former self may be disasociated,with or without amnesia or repression,permanently or temporary.Most typically observed in religion revival,whence the term;but by extention the word applies also to other personal ‘multation’or metamorphose resulting from schok,drug,disease,crisis,marriage,bereavement,ect.
2. (a) “A process of acculturation in which an individual voluntarily adopt the pattern and ethos of out-group, and/or (b) A process of personality adjustment from divergent, a typical behaviour or demoralized individualization in the customary, approved patterns regarded by the dominant collectivity as normal.”

3. ”A mechanism employed in the interactional process of accommodation where by one attitude and values system is abandoned and new attitude and corresponding value complecx is taken on and made the focus of attention and center of activity.”

Persiapan ke arah konversi adalah munculnya sifat yang mendua dan terjadi perubahan pada satu atau beberapa unsur kebudayaan. Perubahan ini dapat terjadi secara sukarela atau terpaksa. Akomodasi dalam bentuk konversi menekankan arti penting mengadopsi berbagai pola dan etos dari out group secara sukarela, antara lain melalui penyelesaian kepribadian. Jika hal ini terjadi maka sikap mendua tersebut berkurang atau hilang sama sekali dan akhirnya in group terlibat secara menyeluruh dalam kebudayaan out group. Dengan demikian, berbagai sikap dan sisten nilai lama yang mereka miliki telah diganti dengan sikap dan system nilai yang baru.salah satu bentuk akomondasi yang diingingkan,tergantung pada bagaimana konsepsi integrasi nasional yang seharusnya di wujudkan.integrasi merupakan istilah yang umum dan mempunyai arti yang luas.defensi integrasi dikemukakan amey E.waston dalam dictionary of sociology (1944:159),yaitu “tbat social process which tends to bermonize and unify diverse and conflicting units,whether those units be elements of personality,individuals,groups of larger social aggregations”.

Sehubugan dengan dimensi asimilasi yang berbeda antara orang cina dengan berbagai suku bangsa bumiputra,disadari sepenuhnya bahwa terdapat implikasi tertentu dalam konsep integrasi schermerhorn,yaitu (1)dalam integrasi diperlukan legitimasi penguasan;dan (2)fusi yang terjadi dilakukan secara paksa.17dalam konsep tersebut terdapat pengertian brought into dan a proce ss,yang berarti integrasi bukan merupakan atau menunjuk pada suatu keadaan yang berubah.integrasi juga cenderung merupakan proses yang terus-menerus,bukan menunjukan pada suatu keadaan tertentu yang absolute,melainkan situasional.

Schermerhorn menjelaskan juga bahwa studi integrasi mencakup tiga masalah utama,yaitu (1)integrasi sebagai masalah yang kerkait erat dengan legitimasi;(2)integrasi sebagai masalah yang terkait erat dengan kongkurensi kebudayaan;dan (3)integrasi sebagai masalah yang dapat menimbulkan ketidaksesuaian pandangan,terutama sehubungan dengan batasan integrasi yang menyangkut penempatan suatu suku bangsa atau golongan subordinate.

Istilah cina dan tionghoa. Meletusnya gerakan 30 september/partai kominis Indonesia (G30S/PKI)1965,selain telah mengakibatkan terputusnya hubungan dipomatik antara pemerintah RI dan RRC,juga diikuti pengantian istilah tingkok dan tionghoa menjadi cina.pengantian istilah tersebut di nilai lie tek tjeng (1972:10-19)dan leo suryadinata (1978:113)bernada menghina dan merendahkan,sehingga menimbulkan rasa kurang senang,baik di kalangan pemerintah RRC maupun WNI keturunan cina.menurut lie tek ljeng,istilah cina diambil dari nama dinasti ch’in ;sebuah dinasti pertama yang berhsil mendirikan Negara kesatuan di seluruh cina pada 200 M,dengan jalan menyatukan berbagai Negara kecil di sana.dinasti qin berasal dari suku Manchu yang oleh kebanyakan orang cina,terutama suku bangsa han,dianggap sebagai penjajah.

Pandangan lie dan leo,tampaknya tidak mencerminkan seluruh pandapat orang cina di Indonesia.ong hok ham dalam kata pengantarnya di buku leo suryadinata (1984),demikian pula puspa vasanty (1970) tetap mempergunakan istilah cina.orang-orang cina di singkawang,Kalimantan barat,dan di bangka selalu mengidentifikasikan dirinya sebagai orang Ch’in tanpa memiliki anggapan bahwa istilah tersebut mengandung konotasi merendahkan atau menghina. Tidak jarang pula mereka menidentifikasikan diri sebagai Tong Nyin atau orang dari Dinasti Tang (618-907 M) yang tak lain adalah orang Manchu.

Istilah cina atau dalam bahasa inggris lebih dikenal dengan China, digunakan untuk menunjukkan nama Negara People Republic of China (RRC) dan Republic of Chona (Taiwan); sedangkan orang cina disebut chinese. Orang-orang cina yang bermukim di Malaysia juga lazim disebut orang Cina atau orang Cine. Bahkan istilah Tiongkok maupun Tionghoa, jarang dikenal disana. Tampaknya pandangan yang di suarakan Lie dan Leo, erat kaitannya dengan factor psikologis yang dilatarbelakangi permasalahan mayoritas-minoritas. Dengan kata lain pandangan tersebut merupakan indicator yang mencerminkan derajat orientasi yang cukup kuat terhadap negeri leluhur.

Mengingat kompleksitas istilah orang cina, khususnya dalam rangka mewujudkan asimilasi di kalangan orang cina di Indonesia yang telah berstatus WNI, maka topic ini akan dibahas lebih rinci. Maksudnya, tak lain agar diperoleh pemahaman yang lebih baik dan berimbang.

Memahami Asimilasi

Teori Tentang Hubungan Antar Golongan

Rasanya cukup menarik untuk mengaitkan kajian ini dengan ungkapan Horace Kallen yang dikutip Milton > Gordon (1964:145). Kallen mengatakan, “Men may change their clothes, their wive, their religion, their philosophies, to a greater or lasser exten: they cannot change their grandfathers.” Munculnya ungkapan tersebut terkait erat dengan penilaian orang terhadap kaum yahudi. Inti penilaian tersebut terwujud dalam stereotip: “Sekali Yahudi tetap Yahudi”. Maksudnya, meskipun orang Yahudi hidup tersebar diberbagai Negara, ikatan perasaan mereka terhadap keluarganya dan akar kebudayaan Yahudi, sangat kuat mewarnai sepak terjang kehidupan mereka (Epstein, 1978:139). Orang Cina yang merantai di berbagai Negara asia tenggara, sering disamakan dan memiliki ciri-ciri stereotip orang Yahudi (Purcell, 1964;Skinner, 1967;Somers, 1964).
Namun kuatnya ikatan suatu golongan terhadap keluarga atau terhadap nenek moyang mereka, bukannya tak dapat berubah atau diubah. Berbagai studi mengenai proses perubahan kebudayaan menyimpulkan bahwa kebudayaan suatu kelompok manusia menunjuk pada suatu gerak dinamis. Aspek dinamis dari berbagai bentuk hubungan sosial dapat diamati dalam proses-proses sosial. Betapapun, ungkapan Kallen dapat dipakai sebagai titik pangkal anggapan bahwa meskipun orang Cina di Indonesia masih tetap mengaku mempunyai nenek moyang di RRC, dalam banyak hal, kebudayaan mereka dapat berubah dan diubah. Di sisi lain, mereka tidak dapak mengelakkan diri bahwa mereka terlahir sebagai orang cina atau dari hasil perkawinan campuran yang dilakukan generasi si atasnya. Yang menjadi masalah adalah bagaimana aspek primordial attachment dapat dieliminasi, sehingga tujuan akhir untuk membangun watak bangsa dapat diwujudkan.
Pada hakikatnya terdapat dua teori makroskopi (macroscopie) yang mengupas hubungan antar suku bangsa atau antar golongan. Salah satu teori tersebut dikembangkan Shermerhorn (1970:20) yang disebut dengan ‘sistem teori’ dan teori konflik kekuasaan: “…we prefer to employ the terms ‘system theory conflict theory”. Untuk memahami teori ini dapat dimulai dari model pendapat umum, yakni jika muncul perselisihan dan perpecahan, maka suku bangsa atau golongan subordinate akan berada pada situasi konfrontasi dengan kelompok dominant. Hubungan antara upper dan lower group akan terpolarisasi dan selalu berada pada suasana saling berbenturan kepentingan, baik ekonomi, prestise, kekuatan maupun system nilai. Dengan kata lain, berbagai bentuk hubungan yang berlangsung mencerminkan antagonisme: satu dengan lain saling dipertentangkan.
Model tersebut sejalan dengan pandangan Ralf Dahrendorf yang mengatakan bahwa dalam suatu perubahan, pada hakikatnya masyarakat memiliki dua sisi: konflik di satu pihak; dan stabilitas, harmoni, serta consensus di pihak lain. Dalam upaya menjelaskan pandangannya, Dahrendorf mengusulkan sebuah model konflik yang dikaitkan dengan kekuasaan. Model ini terutama berguna untuk kepentingan analisis dan menjelaskan hasil yang diperoleh di lapangan. Pada bagian lain tulisannya, Dahrendorf mengatakan bahwa konflik sosial tidak kalah kompleks disbanding integrasi sosial (1973:101-102). Karena itu, pemahaman atas konflik harus dikaitkan dengan proses-proses sosial yang sedang berlangsung.Dalam hal ini,konflik yang terjadi dapat disebabkan oleh sistem dalam stuktur sosial tertentu.Dengan kata lain,konflik yang timbul terkait erat dengan sejumlah kedudukan sosial didalam masyarakat.
Pada hakikatnya konflik (sosial )mengandung arti fungsional (Coser,1973:114),terutama untuk melihat proses perubahan sosial yang sedang terjadi.Dengan demikian,teori fungsional tentang perubahan yang dikemukakan Talcol Parson (1973:72-86),dapatdipakai untuk melihat keterkaitan konflik dengan fungsi pada satu stabilitas atau ekuilibrium.Guna memahami proses asimilasi dalam rangka integrasi nasional dikalangan orang Cina,secara implisit berbagai kerangka teori diatas akan selalu digunakan untuk menjelaskan paradigma sentripetal dan sentrifrugal yang dikemukakan Schermerhorn.
Teori Konflik Sosial Ralf Dahrendorf.Menurut Dahrendort (1973),berbagai jenis konflik dapat dijelaskan dengan menunjuk pada stuktur sosial tertentu.Itu sebabnya,dalam pendekatan teori konflik,harus dilihat kaitan konflik dengan struktur sosial yang berlaku.Dengan menganalisis kaitan tersebut dapat dipahami apakah berbagai bagian dalam masyarakat saling berfungsi dengan baik.Yang juga perlu diketahui adalah apakah konflik yang terjadi disebabkan oleh kondisi histories tertentu dalam suatu masyarakat;atau timbulnya konflik tersebut merupakan segala umum pada suatu masyarakat yang sedang berubah.Mengingat pada hakikatnya masyarakat terwujud sistem sosial,maka disfungsi yang terjadi dapat dikaji melalui stuktur sosial yang ada.Berdasarkan anggapan tersebut maka Dahrendorf mencoba menawarkan suatu model masyarakat yang pada hakikatnya dinilai mempunyai aspek ganda atau mengandung dialektika.
Pada dasarnya,teori konflik berperan menemukan tempat kekuatan yang mendorong terjadinya perubahan sosial.Teori konflik juga diharapkan dapat dipakai untuk menjelaskan asal mula konflik sosial secara structural.Dengan kata lain,teori konflik Dahrendorf diharap dapat menjawab pertanyaan mengenai:(1)bagaimana stuktur kemasyarakatan yang dapat memunculkan kelompok yang saling terlibat konflik?(2)bentuk-bentuk perjuangan apakah yang dikehendaki oleh mereka yang saling terlibat konflik?dan(3)bagaimana pengaruh konflik terhadap perubahan stuktur sosial?Berdasarkan jawaban diatas pertanyaan diatas,akhirnya ia sampai pada perumusan model terori konflik yang berdasar pada asumsi bahwa sejauh ini konflik erat kaitannya dengan situasi factual.Situasi tersebut tidak dapat dijelaskan secara stuktural semata yang hanya mendasarkan pada asumsi dikotomi yang berjalan secara bertahap.
Konflik Sosial dan teori Perubahan Sosial Lewis A.Coser.seperti telah dijelaskan sebelumnya,Lewis A.Coser (1973:114-122) juga sependapat dengan pandangan bahwa konflik yang terjadi dalam konteks perubahan sosial,mengandung beberapa fungsi.Untuk memahaminya,dapat dimulai dari titk tolak fungsi konflik dalam konteks sistem sosial,khususnya berkaitan dengan kekakuan dan kelembagaan.
Tidak semua sistem sosial mengandung derajat konflik dan tingkat ketegangan yang sama.Sumber dan luas konflik dalam suatu sistem,berubah-ubah menurut tipe stuktur dan pola-pola mobilitas sosial.Berbagai bentuk konflik yang dapat berfungsi mengarahkan pada perubahan sistem sosial atau bahkan pecah dan membentuk sistem baru,sangat tergantung pada kekakuan dan resistensi perubahan.Dengan kata lain,hal tersebut tergantung pada elastistas mekanisme kontrol sistem itu sendiri.Jelaslah bahwa derajat kekakuan suatu sistem dan intensitas konflik saling berkaitan.Sistem yang kaku cenderung menghalangi munculnya konflik,tetapi jika terjadi konflik,yang muncul adalah konflik keras dan dapat menimbulkan perpecahan radikal.Sebaiknya jika suatu sistem lebih elastis,akan terbuka kesempatan untuk mengekspresikan konflik didalamnya.Dengan demikian,ketika konflik terjadi,sistem dapat menyesuaikan diri dengan pergeseran keseinbangan kekuasaan,sehingga memperkecil kemungkinan munculnya konflik eksplosif.
Jika hal-hal yang berkaitan dengan sumber konflik ditelah lebih lanjut,tampak kecenderungan bahwa konflik terjadi karena usaha dari seseorang atau kelompok yang ingin mencapaikepuasan tertentu,namun menemui hambatan ketika diwujudkan.Keinginan yang ingin diwujudkannya itu adalah bertentangan dengan sesuatu yang telah ‘mapan’.Apabila tidak ada suatu intstitusi untuk mengekspresikan perasaan tak puas maka akan timbul aksi dengan mengabaikan atau meningalkan norma-norma yang biasa berlaku.Sebagai akibatnya,suatu konflik yang terjadi dapat menjadi sumber perubahan,misalnya muncul suatu inovasi atau tercipta suatu sistem baru.
Perubahan dari manapun atau dalam bentuk apapun, dapat menimbulkan gangguan keseimbangan yang pada gilirannya bisa melahirkan kelompok atau individu yang tidak melakukan sesuatu yang seharusnya; atau mengerjakan sesuatu ang seharusnya tidak dikerjakan. Mengingat hal itu, perlu dibedakan antara mereka yang meninggalkan nilai-nilai lama dalam arti deviant,dengan terbentuknya pola-pola yang berbeda,atau munculnya nilai-nilai baru.Induvidu yang mengalami tekanan kejiwaan (stress) dapat menyalurkan tekanan batinnya kepada lembaga-lenbaga tertentu yang berfungsi sebagai penyalur prilaku menyimbang tersebut.Ada kemungkinan bahwa cara seperti itu akan menimbulkan disfungsional pada suatu sistem,yang pada akhirnya membawa perubahan.
Sekalipun demikian,rasa frustasi tidak selalu dapat dikurangi melalui cara seperti itu.Lembaga tersebut hanya berperan mengalihkan obyek dari rasa frustasi.Disisi lain,bisa juga ketegangan tersebut melahirkan pola prilaku baru seluruh kelompok,yang berarti telah berlangsung suatu perubahan sosial.Hal ini dapat saja terjadi,terutama jika sistem sosial itu bersifat fleksibel,dan terjadi perubahan pada sistem trsebut.Sebaliknya,seandainya suatu sistem sosial tidak dapat beradaptasi,maka konflik semakin meningkat dan mengakibatkan runtuhnya sistem sosial lama dan muncul sistem sosial baru.
Coser juga berpendapat bahwa masyarakat yang terintegrasi dengan baik,cenderung memiliki toleransi atau bahkan memberi ruang pada konflik yang terjadi.Sebaliknya,apabila masyarakat tersebut derajat integrasinya kurang,cenderung bersikap hati-hati terhadap munculnya konflik.
Teori Fungsional Talcott Partson Mengenai Perubahan.Pandangan Talcott Parsons (1973:72-86) mengenai fungsi perubahan dimaksudkan untuk lebih memahami proses perubahan.Lebih jauh,pandangan Persons menginginkan agar keseimbangan selalu terjaga,antara lain dengan jalan mengeliminasikan berbagai sumber konflik.Parsons mendasarkan pandangannya pada konsep stabilitas atau ekuilibrium yang dianggap sebagai ciri utama suatu struktur.Pengertian stuktur perlu dibedakan dengan ciri suatu sistem.Istilah stuktur mengandung pengertian keseimbangan yang stabil dalam arti kata statis (static) tetapi bergerak (moving).Pada hakikatnya sistem berada dalam keadaan stabil atau relatif seimbang ketika berlangsung hubungan antar stuktur dan berbagai proses didalamnya.Disaat berlangsung hubungan antar sistem dengan lingkungannya,biasanya sistem cenderung menjaga sifat-sifat yang menyeimbangkan.Keadaan (hubungan)inilah yang disebut stuktur,karena secara relatif tidak berubah.
Kenyataannya,suatu sistem selalu berubah atau dalam keadaan dinamis”.Dinamika suatu sistem tergantung pada kesenambungan berbagi proses yang mampu”menetralisasi”berbagai macam sumber daya,baik yang berasal dari dalam maupun dari luar.Jika hal tersebut berlangsung cukup lama,dapat merubah struktur karena proses stabilitas (stability) atau proses peyeimbangan (equilibrating) mengandung arti berlawanan dengan istilah processes yang dipergunakan dalam konteks perubahan structural.
Dalam suatu struktur sosial, hubungan terpola merupakan bagian dari unsure normative. Unsur-unsur normative tersebut berasal dari pandangan berbagai kesatuan yang tercakup dalam tingkah lakunya. Harapan tersebut lebih didasarkan pada anggapan bahwa tindakan mereka sesuai dan benar atau sebaliknya. Pada kesatuan lain yang terlibau dalam interaksi, terdapat standar sanksi yang terlah dilegitimasi. Sanksi tersebit bisa ditafsirkan positif atau negative, semuanya tergantung dari sudut pandang acuannya.
Ada dalil yang menyatakan bahwa pola-pola hubungan dalam suatu sistem sosial bersifat normative, dan pola hubungan sistem sosial yang normative itu juga terdapat dalam kebudayaan normative yang telah melembaga. Hakikatnya, stabilitas kelembagaan adalah stabilitas pola-pola normative itu sendiri. Stabilitas inj juga berpengarih terhadap tingkat komitmen minimal dari berbagai kesatuan yang melakukan tindakan. Contohnya adalah usaha untuk melakukan tindakan agar sesuai dengan harapan. Tindakan ini dilakukan dengan cara menghindari atau tidak melanggar dan upaya penerapan sanksi yang dianggap pantas, baik itu menyangkut hal-hal negative atau sebaliknya. Selain itu, pelembagaan dari implementasi adalah berkaitan dengan penerimaan secara nyata dan terciptanya saling pemahaman mengenai “batasan dari suatu situasi”, yaitu dalam arti memahami yang menjadi sistem acuannya. Selanjutnya, pelembagaan itu sendiri adalah juga berarti keteraturan auatu integrasi. Pengaturan pelembagaan yang kompleks itu ke dalam suatu sistem secara menyeluruh adalah berada pada tingkatan normative. Mengingat hal tersebut maka suatu doktrin ‘terpisah tapi sama’ dalam konteks undang-undang dasar yang mengatur hak orang Amerika adalah sebagai contoh suatu pengintegrasian yang ragu-ragu.
Konsep ekuilibrium yang stabil mengandung implikasi bahwa melalui mekanisme integrative, berbagai sumber daya dari dalam dapat terjaga sampai pada batas-batas harmois, dengan cara memelihara pola-pola structural utama. Hal ini dapat dilakukan, antara lain melalui mekanisme fluktuasi hubungan yang adaptif antara sistem dan lingkungannya. Dengan cara itu pula harmoni dapat terjaga. Karena itu pengertian ekuilibrium yang stabil dalam perspektif enersia akan menimbulkan masalah, terutama bila terdapat gangguan yang cukup besar. Jika gangguan ini terjadi maka muncul kesulitan untuk menemukan mekanisme kekuatan yang mempu menstabilkan atau menyeimbangkan suatu sistem. Pada tahapan berikutnya, barulah dapat meramalkan bagaimana bentuk kondisi baru yang stabil.
Paradigma Sentripetal dan Sentrifugal. Louis wirth (1945:347) telah menjelaskan berbagai tipologi kebijakan yang diterapkan bagi golongan minoritas. Dari keempat tipologi tersebut, kebijaksanaan yang diterapkan kepada golongan cina di Indonesia mengarah pada paham asimilasionis. Hal ini sejalan dengan pandangan sekelompok pemuda cina peranakan yang memelopori tercetusmya piagam asimilasi pada 1961. orang-orang cina yang telah berstatus WNI diarahkan dan diharapkan menerima serta menyatukan diri ke dalam salah satu kebudayaan kelompok superordinat, yaitu salah satu suku bangsa bumiputera di Indonesia.
jika paham kaum asimilasionis dan pluralis dikaji lebih lanjut, schermerhorn (1970:78) melihat beberapa implikasi yang timbul. Implikasi ini kemudian melahirkan pertanyaan: sejauh mana kelompok superordinat mampu melaksanakan dan memperanankan kelompok subordinate melakukan sesuatu? Dapatkah kelompok superordinat percaya begitu saja bahwa golongan minoritas akan berasimilasi; atau justru akan tetap mempertahankan kebudayaannya? Dapatkah kelompok dominant menyetujui berbagai hal kontradiktif yang dilakukan kelompok superdinat? Integrasi akan berjalan baik, jika berbagai implikasi diatas ditemukan jalan keluarnya. Jika tidak, tentu menumbulkan konflik, baik secara terbuka maupun bersifat laten.
Hal lain yang penting diperhatikan berkaitan dengan perlunya memperjelas antara kebudayaan dan struktur sosial. Dalam berbagai analisis, sering dijumpai kerancuan untuk membedakan kedua istilah itu, terutama menyangkut bagaimana menempatkan posisi hubungan seseorang dalam konteks masyarakatnya. Schermerhorn (1970:80-88), mengusulkan cara penyelesaiannya. Penekanan pada kebudayaan daripada struktur sosial yang dianut kaum asimilaisonis dan pluralis, sebaiknya dikaitkan dengan tujuan dan dasar asumsi. Ini berarti analisisnya tidak hanya dilengkapi dengan berbagai hal yang berakitan dengan norma-norma, tetapi juga dihubungkan dengan keseluruhan analisis yang menggambarkan berbagai bentuk hubungan antar individu dalam masyarakat.
Keseluruhan analisis ini penting artinya karena pada hakikatnya pola-pala perilaku dibentuk melalui proses osmosis sosial dalam masyarakat secara menyeluruh.Memang diakui bahwa sangat sulit menerapkan kategori-kategori kebudayaan (cultural categories) mana yang releven dan dapat dipakai untuk menjelaskan adanya penerimaan secara truktural.sekalipun demikian,berbagai kategori kebudayaan yang dianggap dapat dipakai adalah aspek plurilitas normative yang secara eksplisit menunjuk pada toleransi terhadap perbedaan kebudayaan.Berbagai toleransi tadi,terutama mengenai hal-hal yang dinilai kurang releven dan berkaitan dengan orientasi kelompok superordinat.Dalam interaksi antar suku bangsa antar golongan,yang penting adalah pengendalian truktural dalam partipasi sosial.
Konsep yang kiranya dapat digunakan sebagai kerangka berpikir untuk pemecahan masalah adalah yang berkaitan dengan kecenderungan yang bersipat sentripetal dan sentrifugal dalam suatu kehidupan sosial.Kecenderungan yang bersifat sentripetal lebih menunjuk pada hal-hal yang bersifat cultural,misalnya berupa penerimaan atas nilai-nilai yang berlaku umum dan gaya hidup yang lazim berlaku dimasyarakat.Selain itu,dapat berupa semakin meningkat nya partisipasi dalam berbagai kelompok,perkumpulan dan kelembagaan.Untuk menunjukkan perbedaan dalam analisis,maka yang pertama disebut asimilas; dan yang kedua disebut inkorporasi. Selanjutnya, yang disebut kecenderungan bersifat sentrifugal adalah jika dikalangan subordinate ada keinginan untuk memisahkan diri dari kelompok dominant atau dari berbagai ikatan sosial yang berlaku dalam masyarakat. Secara cultural, hal ini sering terjadi dan dalam keadaan ini, seing terjadi kalangan subordinate tetap menjaga berbagai tradisi, sistem nilai, bahasa, agama, pola-pola rekreasi mereka dan lain sebagainya.dalam rangka melindungi hal-hal tersebut, diperlukan persyaratan structural. Karena itu, ada kecenderungan untukada kecenderungan untuk melakukan endogamy dan mendirikan perkumpulan yang terpisah. Pada masa sekarang bahkan tampak dalam bentuk memusatkan diri pada suatu lapangan pekerjaan tertentu yang ekslusif dari out group.
Berdasarkan berbagai pengertian diatas, maka kita seharusnya berhati-hati bila akan mengidentifikasi integrasi, dengan selalu bertanya: apakah integrasi yang terjadi engarah pada kecenderungan sentripetal atau sentrifugal? Dengan kata lain, integrasi mengandung aspek psikologis, antara lain berkaitan dengan kepuasan tertentu dari suatu suku bangsa atau golongan. Karena itu, sering dikatakan bahwa dalam integrasi muncul pandangan yang menilai apakah agreement ataukah congruency, dalam kaitannya apakah itu sentripental atau sentrifugal. Jika ada disagreement atau discongruency, berarti kelompok superordinat menang atas kebijakan yang bersifat sentripetal; padalah sebenarnya kelompok subordinate konflik yang menyebar dans erring kali meletus.
Dalam usaha menganalisis asimilasi yang bergerak menuju integrasi national di kalangan masyarakat cina di indoneisa, khususnya mereka yang berada di singkawang, paradugma sentripetal dan sentrifugal dari Schermerhorn akan dipakai sebagai model; sekaligus dikaitkan dengan berbagai dimensi konflik yang telah dijelaskan sebelumnya, yaitu kerangkapemikiran dari Dahrendorf, Coser dan Parsons.
Orientasi ke cina: enam hipotesis
Dalam rangka memahami pokok permasalahn kajian ini, diperlukan hipotesis kerja. Hipotesis dasar kajian ini ialah boleh diduga bahwa orientasi yang kuat terhadap kebudayaan negeri leluhur dan identitas diri sebagai orang cina di kalangan mereka yang telah berstatus WNI, berkolerasi dengan kurangnya rasa identitas diri sebagai orang Indonesia yang loyal terhadap Negara Indonesia.
Sehubungn dengan itu, paling sedikit ada enam hipotesis kerja yang berpangkal dari hipotesis dasar itu. Keenam hipotesis itu menduga bahwa:
1. orientasi kuat terhadap kebudayaan cina, memperkuat identitas orang Khek di Singkawang sebagai orang Cina.
2. Rasa identitas cina yang kuat, menghambat loyalitas terhadap Negara Indonesia.
3. interaksi sosial yang berfrekuensi tinggi dan berlangsung lama antara orang cina dengan bumiputera akan saling meningkatkan pemahaman kebudayaan masing-masing.
4. pemahaman yang tinggi mengenai kebudayaan Indonesia, menambah orientasi kepada kebudayaan Indonesia dan mengurangi orientasi kepada kebudayaan cina.
5. intensitas pemahaman yang tinggi terhadap wawasan berbangsa dan bernegara dikalangan orang cina, akan meningkatkan identitas diri sebagai orang Indonesia dan loyalitas terhadap Negara Indonesia.
6. tingginya saling memahami kebudayaan, juga mempertinggi saling pengertian antara orang cina dengan bumiputera; dan saling mempertinggi pengertian ini akan mempertinggi kemauan untuk bekerjasama antara kedua golongan tersebut, yang akhirnya akan memperkuat solidaritas nasional.
Metode Penelitian
Teknik Pengumpulan Data
Populasi pengumpulan mencakup semua orang cina yang berada dikecamatan singkawang sebelum kecamatan ini direorganisasi. Setelah reorganisasi, sebagian wilayah singkawang berubah status menjadi kota administratif singkawang. Sebagian lagi, yang terdapat di pinggiran kota termasuk wilayah kecamatan singkawang. Perubahan ini membuar orang-orang cina yang bermukim di 25 desa dan kelurahan di lingkungan “kecamatan singkawang lama”, memiliki kemungkinan yang sama untuk dijadikan populasi penelitian. Mengingat studi asimilasi ini hanya ditujukan kepada mereka yang berstatus WNI, maka sejauh mungkin aspek status kewarganegaraan dijadikan dasar cakupan populasi. Namun kompleksitas masalah begitu besar, sehingga populasi penelitian yang memperhatikan aspek kewarganegaraan tidak dapat diterapkan dengan ketat. Populasi penelitian yang memenuhi syarat tersebut hanya kelangan terbatas, misalnya dikalangan anak-anak cina yang sedang duduk dibangku sekolah lanjutan atas.
Adalah dilemma untuk memilih metodologi nama yang dianggap tepat. Mengingat penelitian ini juga bersifat eksploratif, maka pemilihan metodologi lebih didasarkan pada pertimbangan latar belakang populasi dan tujuan penelitian. Kemudian pendekatan dan pengumpulan data menggunakan metode kuantitatif maupun kualitatif, serta pula pengumpulan data sekunder, terutama arsip otentik yang tersimpan diberbagai instansi terkait. Tidak kalah pentingnya pemanfaatan bahan pustaka yang tersebar diberbagai perpustakaan.
Pengumpulan data melalui daftar pertanyaan (interview-schedul) hanya dilakukan kepada anak-anak cina yang duduk dibangku sekolah lanjutan atas (SMA Negeri I, SMA Ignatius dan SAME Singkawang). Terdapat 178 anak cina berstatus WNI ditiga sekolah tersebut dan semua diberi daftar pertanyaan yang sama untuk diisi. Jawabannya diisi di kelas, dengan harapan mencerminkan pandangan mereka sendiri, tanpa dipengaruhi orang lain,s ekalipun dari anggota keluarga di rumah. Penulis sepenuhnya memahami kelemahan yang mungkin muncul dari pengisian daftar pertanyaan di kelas. Maka kelemahan tersebut semaksimal mungkin diusahakan dikurangi. Misalnya, guru-guru mereka tidak hadir diruangan tatkala proses pengisisn kuesioner berlangsung; siswa disediakan waktu cukup longgar dan diciptakan suasana wawancara klasikal yang dapat menimbulkan rapport.
Anak-anak cina murid SMA dipilih sebagai responden, didasarkan atas pertimbangan bahwa mereka mampu menangkap pertanyaan dan memberi jawaban. Pemilihan itu juga bermaksud melihat sejauh mana generasi muda cina yang mendapat pengalaman pendidikan di sekolah formal dan tidak ekslusif cina, merasakan dan berpendapat mengenai hal-hal yang berhubungan dengan masalah asimilasi. Sedangkan responden anak-anak muda cina yang bukan murid SLTA,umumnya lulusan sekolah dasar (SD) atau putus SD. Dengan demikian, tingkat pengetahuan mereka dipandang “kurang mampu menangkap isi pertanyaan dan memberi jawaban”, sekalipun dibawakan secara lisan. Hal ini antara lain disebabkan oleh rendahnya tingkat kemampuan mereka berbahasa Indonesia, baik secara pasif (mendengarkan) maupun aktif (berbicara).
Latar belakang sosial-ekonomi orang tua para pemuda putus sekolah yang umumnya rendah, selain berpengaruh terhadap kemampuan mereka untuk membiayai pendidikan formal terhadap anak-anaknya, juga berpengaruh pada sikap dan perilaku para pemuda tersebut ketika berinteraksi dengan out group. Rasa curiga dan rasa “takut” terhadap out group mudah muncul. Akhirnya tercipta pendirian “diam adalah emas”. Sebenarnya pendirian semacam itu tampak merata pada berbagai lapisan umur. Hal ini dapat dipahami mengingat banyak orang cina di singkawang belum dapat melupakan trauma tahun 1967. karena itu, pengedaran daftar pertanyaan kepada mereka yang tidak sedang menuntut ilmu, secara teknis sukar dilakukan. Jika di coba dipaksa, maka jawaban yang diperoleh cenderung bias.
Selain diminta mengisi daftar pertanyaan,beberapa murid SLTP juga diminta membantu penelitian sebagai”responden imforman”.Gambaran pengertian yang lebih luas dan mendalam atas sejumlah pertanyaan diharapkan diperoleh dari mereka.”Responden imformasi”dipilih berdasarkan pertimbangan bahwa mereka dapat diajak bertukar pikiran secara terbuka dan tingkat pengetahuannya mengenai in group cukup baik.Tidak mudah memilih responden dan imforman,kadang diperlukan waktu cukup lama.Untuk itu diperlukan frekuensi interaksi cukup tinggi,yaitu sering bergaul dengan mereka.Guru mereka berperan penting sehingga mereka yang terpilih sebagai responden maupun imforman dapat memahami dan mempercayai maksud penelitian serta bersedia bertukar pikiran secara terbuka.
Dari178 daftar pertanyaan yang diedarkan,ternyata yang layak dianalisis hanya 125 buah.Penilaian “Layak pakai “ tidak selalu berarti semua pertanyaan terjawab dan diisi.Sedangkan penilaian “kurang layak pakai”Lebih disebabkan oleh sebagian besar pertanyaan tidak dijawab.Ada 53 pertanyaan yang dinilai tidak layak.Sekalipun maksud dan tujuan pelelitian telah diutarakan pada awal perkenalan,sikap responden yang tidak bersedia menjawab dianggap temuan atau input data cukup berharga.Penelitian maupun guru berpendapat bahwa sikap tersebut bukan disebabkan oleh rendahnya atau kurangnya pengetahuan mereka atas berbagai hal yang ditanya.Sikap tersebut merupakan cerminan “menolak”dan”melutup diri”terhadap,out group.
Selama penelitian,digunakan pula teknik penelitian wawancara bebas,terutama pada berbagai kalangan masyarakat Cina Singkawang.Beraneka ragam pertanyaan yang diajukan,berkaitan dengan berbagai latar belakang sikap atau prilaku tertentu,terutama mengenai kebijakan pemerintah atas mereka.dalam hal ini,juga tidak mudah melihat orang yang tepat untuk dijadikan”imformal”maupun nara sumber.memilih imforman maupun nara sumber melalui prosedur formal misalnya dengan menunjukan surat ijin penelitian akan kurang menguntungkan karena itu,identitas penelitian yang mempunyai hubungan dengan pemerintah,misalnya sebagai pegawai negeri;sejauh mungkin tidak ditonjolkan. Sekalipun semikian,diperoleh kesan bahwa memperkenalkan diri peneliti sebagai guru,amat membantu terciptanya suasana wawancara yang baik dan saling mempercayai.Mengingat hal tersebut,maka surat izin penelitian lebih bersifat pribadi dan hanya perlu ditunjukan bila harus berhubungan dengan instansi pemerintah.

BAB 2 ORANG CINA DIINDONESIA


Masa Awal Kedatangan Orang Cina
Di kepulauan Nusantara
Orang cina yang merantau ke Indonesia,demikian pula yang tersebar dibeberapa Negara Asia Tenggara,lazim disebut sebagai orang Cina Nanyang.Sampai hari ini belum dapat dipastikan siapakah orang Cina pertama yang menginjakan kakinya dinusantara.Fa Hian,seorang pendeta budha,adalah orang Cina pertama yang meninggalkan catatan tentang nusantara.sekitar tahun 400 masehi,ia melawat kesejumlah Negara.Dalam perjalanan pulang dari India keCina,ia singah dipulau jawa selam lima bulan (cator,1936:2 ).fa hian melaporkan saat itu belum ada orang cina yang tinggal di jawa.
Catatan berikutnya di sampaikan I tsing,pengelanan asal cina yang melewat ke nusantara antara tahun 671-692.I tsing melaporkan bahwa di jawa tengah telah berdiri kerajaan ho-ling.berdasarkan toponiminya,ho ling diduga adalah kerajaan kalingga (vlekke,1967:27-30).
Sampai abad VIII M hubungan antara orang cina dengan satu daeran di nusantara hanya berupa kunjungan dari pendeta budha.di masa pemerintahan dinasti tang (618-907),di temukan diskripsi yang mengatakan bahwa seorang raja cina menerima kiriman upeti dari seorang raja di Sumatra (sanbotsai).menurut cator (1936:2),pemberian upeti itu tidak selalu membuktikan adanya hubungan politik, melainkan hanya tanda terjalinya hubungan perdagangan.upeti itu tidak pula menunjukan adanya hubungan antara penakluk dengan yang di taklukkan.
Penrlitian lain, Chang (1954:17-18), menyatakan bahwa pengetahuan awal orang cina mengenai pulau-pulau di nusantara, didasarkan atas tiga sumber utama dan terbagi menjadi dua periode. Periode pertama berlangsung antara abad III M sampai XI M. pada periode ini pengetahuan mereka tentang nusantara anat terbatas. Berdasarkan catatan sejarah yang ditemukan di cina, sampai abad X M pengetahuan orang cina terbatas pada daerah seperti Bangka Belitung, Sumatera dan Jawa.
Periode kedua berlangsung antara abad XII-XIX M. saat ini pengetahuan mereka makin lengkap dan sistematik. Sumber pertama pengetahuan itu di himpun dari karya tulis perorangan, yang kebanyakan adalah kisah perjalanan orang-orang cina pada kurun waktu tersebut. Sumber kedua adalah pengetahuan yang berdasarka cerita dari orang-orang cina yang pulang ke negerinya, setelah mereka melakukan perjalanan ke kawasan nusantara. Ada kalanya pernegetahuan itu di peroleh dari hubungan lagsung dengan orang-orang asing yang sedang berkunjung ke cina selama periode 800-1400 M. pada periode ini terdapat beberapa pelabuhan di cina selatan, misalnya Ch’uan Chou, Chang Chou dan Kanton, yang ramai dikunjungi para saudagar asing. Sumber ke tiga adalah pengetahuan yang diperoleh dari misi perjalanan kerajaan. Misi semacam ini sering di lakukan, antara lain serbuan orang mongol ke pulau jawa tahun 1292 M yang bertujuan “menghukum” raja Kartanegara.
Pada masa pemerintahan Dinasti Song (960-1279 M), tepatnya pada 992 M, muncul hubungan komersial dengan kepulauan nusantara. Namun ada yang berpendapat, hubungan perdagangan dengan kepulauan nusantara telah berlangsung sejak abad III M, sedangkan hubungan dengan Kalimantan berlangsung sejak abad IX M. pernah diberitakan, ada junk orang cina meninggalkan pantai Semarang pada tahun 924 Masehi.
Sekalipun rute perjalanan laut menuju Nanyang Lautan selatan telah diketahui, dapat dikatakan bahwa sekitar tahun 1400 M, hubungan perdagangan antara cina dengan nusantara tidak mengalami perkembangan berarti. Penyebabnya, antara lain, adalah belum terjalinnya hubungan dagang yang teratur. Perdagangan di kelupauan nusantara pada masa itu masih didominasi oleh orang Persia dan Arab.
Bilamanakah perkampungan orang cina di kepulauan nusantara mulai berdiri? Jawabannya berbeda-beda. Ada yang mengatakan, sebelum kedatangan belanda ke Indonesia pada tahun 1596, belum ada perkembangan orang cina di Jawa. Perkampungan orang cina di kepulauan nusantara baru berdiri tatkala belanda kembali ke Banten, setelah pulau jawa sempat dikuasai sementara oleh inggris pada 1811-1818. dikabarkan bahwa rumah-rumah orang cina dibuat dari batu dan halamannya berpagar (Purcell, 1964:390-394).
Sementara itu, sumber lain menatakan bahwa pada masa kunjungan armada dagang orang cina ke nusantara tahun 1405-1430, di Tuban, Gresik dan Surabaya telah ditemukan permukiman orang cina. Di Tuban berdiam lebih dari seribu orang cina dan banyak di antara mereka itu berasal dari propinsi Guandong atau Kwantung dan Fujian atau Fukien. Orang-orang cina menyebut pemukiman mereka digersik dengan istilah Hsien Tsun atau kampong baru. Perkampungan ini dipimpin oleh cina (Chang,1954:196).
Wang Gungwu (1959:9) menilai, munculnya perkampungan orang cina dijawa pada masa itu cukup beralaskan. Aktivitas perdagangan orang cina pada masa dinasti Song dengan armada lautnya telah berkembang pesat. Di kala itu orang-orang cina telah menjadi bagian aktif dari jaringan perdangan local di Nanyang. Berdasarkan catatan yang dibuat Ma Huan, ia menemukan perkampungan orang cina di jawa. Perkampungan mereka amat teratur dan rumah-rumahnya cukup bersih. Banyak diantara mereka yang memeluk agama islam. Begitulah laporan Ma Huan, yang ikut serta dalam perjalanan Laksamana Cheng Ho ke berbagai daerah di Lautan Selatan, termasuk kepulau jawa.
Pemerintah Dinasti Song mempunyai arti penting dalam kaitan dengan Kepulauan Nusantara.Armada laut pemerintah Cina dibawah Dinasti Song,antara lain bertujuan menguasai perdagangan diNanyang.Selama periode tersebut,banyak orang Cina berlayar ke Nanyang,bahkan para saudagar yang berdagang ke Nanyang menerima bantuan kredit dari pemerintah.Mereka yang memperoleh kredit dari pemerintah,harus menyerahkan 70% keuntungannya kepada pemerintah.Uang itu,terutama digunakan untuk membiayai administrasi armada laut kerajaan.Sampai tahun 1293,ribuan perahu telah berlayar kepulau Jawa dan makin lama makin banyak saudagar Cina yang berkunjung kesana.Kunjungan tersebut terus berlangsung sampai awal abad XIV M dimasa pemerintahan Dinasti Yuan (1271-1368 M).Tetapi,tahun 1368 Dinasti Yuan jatuh.Akibatnya hubungan dengan Nanyang tidak lancar.
Selanjutnya berbagai peraturan yang membatasi perdagangan dengan Nanyang dikeluarkan. Perdagangan induvidualdinyatakan terlarang.Mereka yang masih tinggal diNanyang diharuskan kembali keCina.Sebaliknya,hubungan yang berbau diplomatic dihidupkan kembali.Orang-orang Cina yang berada diNanyang dihadapkan pada persoalan yang sulit:Apakah mereka akan pulang keCina dengan resiko menerima hukuman dan harta bendanya dirampas;atau tetap tinggal diNanyang dan melanjutkan usaha dagangnya bersama-sama kaum bumi putra;atau menjadi bajak laut dan sebagainya?Saat itu,Palembang menjadi pusat bajak laut yang terkenal,antara lain disebabkan oleh masalah yang disebut diatas.
Keadaan yang tidak menentu selama pemerintah Dinasti Yuan segera mengalami perubahan dimasa pemerintahan Dinasti Ming (1368-1644).Ketika Raja Yung Lo,salah seorang raja dari Dinasti Ming,berkuasa pada 1402,diterapkan kebijakan modifikasi perbajakan.Dimasa Raja Yung Lo pula tercatat perjalanan “legendaries”yang dilakukan Cheng Ho.Perjalanan armada laut Kerajaan Cina ini tujuan utamanya adalah memulihkan martabat pemerintah Kerajaan Cina dimata orang Cina Nanyang.Usaha tersebut dipandang penting artinya,karena selama pemerintahan Dinasti Yuan,perdagangan dengan Nanyang mengalami kemunduran.Perjalanan armada laut itu juga bermaksud memberi dukungan psikologis kepada para pedagang Cina diNanyang,yang sedang menghadapi persaingan dan kerugian lantaran kehadiran para pedagang Eropa.Waktu itu hubungan perdagangan antara kawasan Nusantara dengan para pedagan dari Eropa semakin meningkat.Tak heran timbul persaigan yang cukup seru guna mendapatkan hasil bumi tropis seperti Lada,merica,cengkeh dan sebagainya.
Di Pulau Jawa sendiri,setelah kerajaan Majapahit jatuh tahun 1520,perdagangan di Jawa bagian timur mengalami kemunduran.Agaknya pertumbuhan pemukiman orang Cina di Jawa tidak hanya dipengaruhi situasi politik dan ekonomi diMajapahit,tetapi juga erat kaitannya dengan faktor lain.Misalnya,ketika perairan laut diTuban semakin kurang aman,antara lain kerena gangguan bajak laut,maka pusat perdagangan berangsur-angsur bergeser kedaerah pantai utara Pulau Jawa.Semarang,Pekalongan dan Banten tumbuhmenjadi pusat perdagangan baru.pada dekede berikutnya ,wilayah banten yang berkembang dan akhirnya menjadi pusat pelabuhan dagang utama di jawa pada masa itu.berangsur-angsur pula orang-orang cina banyak berkunjung ke sana.dengan demikian,pemukiman orang cina mulai tersebar,meluas dari timur sampai barat pulau jawa.
Sebelum majapahit runtuh,stasiun perdagangan utama diNanyang adalah Malaka.Kota ini jatuh ketangan Portugis pada 1511.Belakangan hari orang Poertugis berhasil menguasai Laut Cina Selatan.Hal ini membuat peran dan kedudukan pedagang Cina diNangyang semakin mendesak dan sulit.Keamanan pelayaran diLaut Cina Selatan juga bertambah buruk.Orang Jepang yang menjadi bajak Laut merajalela.Akhirnya,pemerintah Kerajaaqn Cina melarang warganya berdagang dengan Nangyang pun merosot drastic.
Abad XVI M merupakan masa suram bagi para pedagang Cina yang biasa hilir mudik ke Nang yang.Mereka,terutama para pedagang dari provinsi Guangdong dan Fujian,merasa kesal.Perasaan kesal inibertambah besar tak kala Makao juga jatuh ketangan Portugis pada1557.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar