Di Rasa Di Roso Di Tarah Di Kakap

Selasa, 13 Mei 2008

DAYAK KANAYATN DI PERSIMPANGAN JALAN


PERLU REDEFINISI DAN REFORMULASI BERBAGAI ASPEK KEHIDUPAN
( Resume dan analisis makalah-makalah semiloka)
Oleh : Ir. Kristianus Atok

Pada keadaan saat ini cukup beralasan untuk mengatakan bahwa mereka yang menyebut dirinya Dayak Kanayatn sedang berada di persimpangan jalan. Mereka berada di satu titik dimana berbagai perasaan berkecamuk, mulai dari bertanya Siapa Aku (nama sukuku), sampai kepada aspek-aspek kehidupan lainnya. Mereka sedang dalam posisi antara maju terus dengan apa yang ada sekarang, mundur beberapa langkah lagi kebelakang, berbelok kekiri atau kekanan untuk memilih sistem mapan pengaruh ORBA atau sistem peninggalan leluhur yang adati , atau kearah mana lagi , ikut arus keadaan atau malah diam ditempat menunggu sang khalik meneteskan kasihnya.

Kebingungan memilih jalan ini sangat banyak dipengaruhi oleh sejarah perjalanan suku ini yang selalu diwarnai sebagai “Objek” dan sarat dengan stigma yang pada akhirnya menghasilkan generasi yang berbeban psikologis berat. Dayak Kanayatn seperti halnya suku-suku Dayak Lainnya di Kalimantan selalu menjadi objek misalnya saja objek “ pembangunan” yang cerita tentang ini sudah demikian jelasnya, lalu sebagai objek” penelitian” yang latar belakangnya karena suku ini terbelakang, bodoh, primitif, dll yang apabila hasil kajiannya ditampilkan akan membuat pembaca menjadi kasihan, miris, prihatin, dll . dari perjalanan yang penuh “objek” ini, orang Dayak untuk “setara” saja dengan orang lain, harus berjuang berat. Contoh kasus terakhir di Kalbar tentang pemilihan Gubernur, persentasi Dayak yang mencalonkan diri menjadi Gubernur 4 : 19 , dan lebih dari 80% hanya berani mencalonkan dirinya menjadi Wakil Gubernur. Ini tanda apa?

Sebelum abad ke 19, bahkan sampai tahun 1894 Daerah Kalimantan ini disebut Terra incognita (lihat Nieuwenhuis perjalanan borneo 1894) cerita suku ini masih sangat sedikit. Baru ketika kolonial belanda masuk, catatan-catatan tentang suku ini mulai tersedia. Salah satu sebab mengapa proses belajar antar generasi suku ini sulit adalah karena budaya”lisan” yang mewarnai kehidupan sehari-harinya. Adapun bangsa eropa yang awal abad ke-19 masuk kedaerah ini membawa budaya tulisan, maka hanya merekalah yang membuat tulisan tentang suku ini. Menurut cerita jika ingin belajar tentang Dayak, sebaiknya anda pergi ke negeri Belanda, disana tersedia sangat banyak dokumentasi tentang suku ini.
Bayangkan, orang Dayak untuk belajar tentang dirinya saja, mereka harus pergi kenegeri yang jauh dimana untuk pergi kesana hanya sedikit orang yang bisa,karena persoalan ekonomi .

ADAT

. “Sistem adat” sebenarnya merupakan satu keseluruhan sistem yang berisi pengetahuan mengenai sifat-sifat alam, pengetahuan mengenai moralitas dan etika manusia, pengetahuan mengenai keterbatasan manusia, dan pengetahuan tentang bagaimana perilaku manusia, kecenderungan-kecenderungan yang jahat dapat melukai manusia lain sekaligus melukai alam, bersandar pada moralitas keseimbangan.(Bagus S). Lebih lanjut dijelaskan bahwa Kata “adat” yang sering dipergunakan oleh masyarakat Dayak tidak menunjuk pada sesuatu yang monolitik atau sesuatu yang menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar, melainkan menunjuk pada suatu keseluruhan yang mungkin terwakili oleh sesuatu yang merupakan bagian. Pada konteks-konteks tertentu kata adat dapat menunjuk pada aturan, ritual atau sistem religi, namun secara keseluruhan pengertian mengenai adat adalah kesatuan yang utuh dari semua itu.

IDENTITAS

Terminologi untuk memberi nama pada suku ini Dayak Kanayatn, sampai sekarang pada tataran peneliti antropologi dan sebagian besar masyarakat akar rumput masih dipertanyakan. Penyebabnya adalah bagi masyarakat akar rumput mereka menamai dirinya BAAHE, adapula yang menamai dirinya Dayak Bukit, dan sebutan-sebutan berdasarkan aliran sungai. Sedangkan pada tataran ilmiah (peneliti) tidak terdapatnya sebutan Dayak Kanayatn pada dokumen-dokumen tentang suku-suku penghuni Kalimantan. Dari berbagai dokumen hasil penelitian asal- muasalnya yang bisa diterima adalah pada rumpun Dayak Selako . Sejarah sebutan Dayak Kanayatn masih menarik untuk ditelusuri, terutama bagi generasi Dayak yang menyebut dirinya Kanayatn itu sendiri.

Dasar Pemikiran bahwa mereka (baahe,bajare,banana’) juga Dayak Salako, menurut Simon Takdir adalah premis bahwa mereka yang berbahasa baahe/banana’ dan ba ngape adalah Dayak Salako antara lain persamaan antara praktek agama tradisional dan bahasanya.

Agama Tradisional dan Adat.
Praktek agama tradisional antara wilayah membagian Kabupaten yang dulu yaitu Kabupaten Sambas dan Kabupaten Pontianak adalah sama secara umum.misalnya,mithos Ne’Kulup,kosa kata untuk perangkat persembahan (Nyangahatn) misalnya tumpi’poe’,apar,buis,pabayo,pantak,soor (salor),dan tempat-tempat mitis seperti bukit Bawakn,Nek Bancino Tanyukng Bongo (bukit sungai Raya/Pasir Panjang ) berada dikabupaten Sambas.
Secara umum dapat diamati bahwa praktek adat ( hukum adat dan adat istiadat) antara kelompok ba’ahe’dan badameo adalah sama.Persamaan umum ini telah menunjukaan kebenaran dari premis diatas.adapun perbedaan kecil yang lain, misalnya mengunakan anjing sebagai hewan persembahaan merupakan assimilasi (alkuturasi) antara kanayatn (bakati’) dengan Salako yang mana tempat pemukiman kedua komunitas itu berdekatan.

Bahasa
Secara isoglos ( garis yang menghubungkan persamaan dan perbedaan kosa kata dalam bahasa serumpun) menunjukan bahwa bahasa ba’ahe/banana’ dan bahasa badameo/bajare adalah berasal dari satu rumpun. Secara umum kosa kata adalah sama namun perbedaan ucapan dan beberapa kosa kata lainya karena hasil dari penyesuaian terhadap lingkungan.saya membagi bahasa Salako ini menjadi tiga ragam dialek (isolek) yaitu

Dialek Badameo/badamea/jare Dialek Ahe /Jare Ahe/janya Bahasa Indonesia
Daerah Binuo Bantanan,
Binuo Sakawokng Sawak,Gajekng Mampawah/Sa’iri
Sangah dan Menyuke
Kata/Kalimat Dameo/Damea
Sio/sia
Na’un Ahe jare
Sia
naun Ahe janya,Ape
Keatn,kea
Naung,naun Apa katanua
Sini
Sana

Adanya dua hal yang sama diatas menunjukan bahwa mereka berasal dari satu titik sentral,yaitu dari daerah salako (austronesia) di kabupaten Sambas.
Perbedaan yang ada dalam praktek agama tradisional dalam bahasa (isolek) karena hasil proses adaptasi terhadap lingkungan serta kontak budaya (alkurturasi) dengan dunia luar.
Kontak budaya dengan dunia luar telah terjadi antara daerah Pakana (Karangan) di Mempawah Hulu dengan kerajaan Majapahit pada pertengahan tahun 1300 M.ketika itu Hayam Wuruk (1350-1389) naik takhta yang dibantu oleh Patih Gajah Mada dan membawa Majapahit ke jaman keemasaan. Perluasan daerah terjadi sampai ke Kalimantan Barat yaitu kerajaan Sidiniang di Karangan. disini Gumantar dalam mengenang Raja pendiri Majapahit,Raden Wijaya yang bergelar Kertajasa Jayawardana (1293-1309) memberi nama putri nya Dara Irakng (Dara Hitam).Kertajasa selain menikahi empat putri Kertanegara (Raja Singosari) juga menikahi Dara Jingga yang bergelar Sjri Indresjwari,seorang putri dari kerajaan Melayu yang dibawa Panglima kerajaan Singosari sebagai upeti.pada waktu telah terjadi pengaruh ucapan bahasa dari bahasa Kawi (jawa kuno) kebahasa daerah setempat.Misalnya

Bhs.Kawi Dialek Ahe/Janya Dialek Dameo/Jare Bahasa Indonesia
1.Pahoman
2.Walu
3.Tineget/tenget
4.Marga
5.Walyan
6.Sunsang Pahuman
Balu
Teget
Maraga
Baliatn
Sunsakng Pahauman
Bau
Teget
Marago
Baiyotn
sunsokng Tempat sidang
Duda
Tolak
Jalan
Belian
Kepala kebawah

Daerah Kabupaten Sambas (kabupaten yang dulu) mempunyai dialek dengan fonem/o/ dalam contoh 4 dan 6.dialek ini muncul karena barang kali pengaruh kerajaan Sriwijaya di Palembang lebih kuat,Dialek tersebut lebuh mirip dengan bahasa Palembang,misalnya :ngpo (ngapa),kamano (kemana,dst.


Siapa suku Kanayatn itu ?
Menurut orang tua-tua duhulu,dan bahkan menurut orang yang berbahasa bakati sendiri bahwa kanayatn itu adalah mereka yang berbahasa bakati;banyadu,bainyam,dan dialek serumpun lainya.Proses pengambilan nama oleh Dayak Salako kabupaten Pontianak (kabupaten yang dulu) terhadap nama kanayatn (kandayan) barang kali berpatokan dari buku karangan seorang Missionaris (bukan antropolog) Pastor Donatus Dunselman Ofm Cap,yang berjudul Bijdrage Tot De Kennis Van DeTaal En Adat Der Kendajan-Dajaks Van West-Borneo (1949)
Sebagai seorang Social Scientist saya menyangsikan artikel Dunselman diatas.kita patut mempertanyakan setiap data dan hasil penelitian seseorang.Michael Dove (1985) mengatakan bahwa pengamat yang teliti pun pernah melakukan kesalahan dalam menarik kesimpulan.ketika saya mengecek dilapangan,para informan (Emik) memberikan keterangan yang berbeda dengan hasil karya yang bukan antropolog.
Penelitian Dunselman banyak dilakukan di Desa Tiang Tanjung Mempawah Hulu.saya tahu bahwa daerah Tiang Tanjung dekat dengan desa-desa orang bakati’(Jirak,Sebangki,Timpurukng) dan desa-desa orang banyadu’(pentek,semade,perigi).kontak antara komunitas dalam hal bahasa,pertukaran barang,perkawinan dan sebagainya sangat tinggi di Tiang Tanjung.barangkali Dunselman bertanya seperti ini “urakng ahe ba kita’ nian?” Informan ini menjawab”Aku nian urakng Kanayatn”.Tanpa mengorek informasi lebih jauh lagi Dunselman langsung mematenkan informasi itu.saya menduga informan itu mengatakan kalau dirinya dulu orang kanayatn yang berbahasa bakati’/nyadu’tapi sekarang menikah dan tinggal di Tiang Tanjung sehingga menjadi komunitas Tiang Tanjung dan berbahasa baahe/banana’menurut saya disinilah letak kekeliruan itu sehingga terjadi pengadopsian nama yang salah.
Bukti lain dari kekeliruan itu adalah artikel yang ditulis oleh Julipin dan Niko Andas Putra (1997) mereka mengatakan :
“ menurut beberapa sumber,pada tahun 1948 orang-rang yang berdialke bakati’dan banyadu’yang sekolah di Nyarumkop masih disebut orang kanayatn oleh orang-orang dari samalantan dan pahuman.menurut orang Dayak Bukati Talaga orang kanayatn itu adalah orang-orang yang tidak fasih berbicara dialek ahe/banana’mereka misalnya tidak mampu mngucapkan kata-kata yang berakiran dengan: utn.atn-ikng,-ukng-ekng,secara baik dan benar.dan yang tidak fasi berbahasa ahe/banana itu adalah orang-orang Dayak (Kanayatn) Banyuke yang berdialek Mpape,-banyadu’ dan balangin

Secara etnik dapat saya simpulkan bahwa mereka yang tidak fasih berbahasa baahe/banana adalah mereka yang non-baahe/non-banana’yaitu orang yang Nganayatn (ucapan yang tidak dapat seperti penutur asli)dalam ucapan baahe/banana’-nya.jadi mereka non baahe/non banana’ adalah Kanayatn.dengan demikian yang fasih berarti bukan kanayatn (kandayan).lalu dayak apa mereka?
Kesimpulan saya berdasarkan uraian diatas ialah bahwa hingga sekarang saya tetap menggolongkan mereka yang berdialek baahe/banana’sebagai orang orang dayak Salako.pada umunya,suku dayak Salako dulunya lebih senang tinggal dibukit,termasuk juga suku lain termasuk suku Kanayatn sendiri,jadi tidak tepat kalau ada penggolongan Dayak Bukit atau Dayak bukan Bukit.orang bukit juga terdapat dipegunungan Meratus,diThailan,di Taiwan (suku Alisan) dan sebagainya.
Saran saya adalah agar nama Kandayan (Kanayatn) itu dikembalikan kepada yang berhak yaitu mereka yang berdialek bakati’,banyadu’bainyam dan isoleknya yang lain.
Untuk memperkuat argumen ini akan ditampilkan sebuah peta dari Buku Di pedalaman borneo, perjalanan dari Pontianak ke Samarinda tahun 1894 , oleh Dr Anton Nieuwenheuis.

Herman Ivo menjelaskan bahwa : Perkembangan di masyarakat menunjukkan bahwa identitas etnik dilihat sebagai faktor penting dalam pemberdayaan atau paling tidak dalam upaya mempertahankan esksitensi. Unsur budaya tertentu yang secara kuat mengaitkan dengan pengalaman sejarah masa lalu dan keadaan sekarang, menjadi identitas yang perlu ditonjolkan. Ambilah contoh Keraton Kadariah, atau Kalenteng-kelenteng tersebar hampir diseluruh kota di Kalimantan Barat ini. Bahkan ada anggapa yang sengaja dikembangkan, orang belum ke Pontianak sebelum mengunjungi Karaton. Akhir-akhir ini bahkan terlihat ada upaya untuk memperkuat identitas etnik tertentu, misalnya dengan mengendepankan bahasa Tionghua (AP Post, 13/3/03) atau pembangunan patung Naga di Singkawang.

Rumah Panjang bukan sekedar simbol budaya atau tempat kebudayaan, melainkan identitas yang mengingatkan kebersamaan dalam pengamalaman pahit masa lalu, yang berakibat pada penghancuran budaya Dayak (aspek historis). Pengrusakan budaya Dayak bermula sejak masuknya agama-agama baru, baik islam maupun kristen. Orang Dayak yang masuk islam mengidentifikasi diri sebagai orang islam. Bagi agama kristen, orang Dayak yang tdak menganut Nasrani dulunya disebut kafir, menyembah berhala, primitif, animisme, dsb. Dan tugas Nasrani adalah memberadabkan orang Dayak dari budaya yang mereka sebut ragi usang. Konsep ragi usang pada perinsipnya bertutujan mengosongkan orang Dayak dari budaya mereka sendiri (Djuweng, Kr, 1998:7).
Di masa Orba penghancuran Rumah Panjang dilaksnakan pada tahun 70 an, karena hidup di Rumah Panjang dianggap menyerupai cara komunis, berbahaya bagi kesehatan, tidak bermoral karena melakukan seks bebas. “Kebijakan itu bukan saja menyinggung perasaan orang Dayak, melainkan bisa mempercepat proses kehilangan identitas mereka (Josef, 1992:XVI).

Timanggong Binua menegaskan bahwa : Perlu diingat bahwa jauh sebelum negara ini lahir, Masyarakat adat (MA) sudah ada ribuan tahun yang silam. Keberadaan mereka sebelum negara ini lahir, penuh dengan kedaulatan. Mereka berdaulat atas wilayah adat mereka, mereka berdaulat atas sistem pemerintahan mereka dan berdaulat atas pengelolaan Sumber daya alam. Bahkan ketika Negeri tercinta ini dibawah kolonial penjajahan asing, MA tetap berdaulat atas Sistem pemerintahan asli, Sumber daya alam, dan kawasan adat mereka. Hal ini terlihat pada pasal 118 jo. Pasal 128 I.S (Undang-Undang Dasar Hindia Belanda), penduduk asli dibiarkan hidup dibawah langsung dari Kepala-Kepalanya sendiri. Pengaturan lebih lanjut ditetapkan dalam IGOB (Inlandsche Gemeente Ordonatie Buitengewesten) LN 1938 No. 490 yang berlaku sejak 1 Januari 1938 No. 681.

PLURALISME
Kondisi ini tidak terlepas dari kebijakan penyeragaman di era Orba. Dengan konsep budaya nasional, negara mendapat legitimasi menentukan budaya daerah yang boleh berkembang dan tidak, bahkan menghancurkan budaya tertentu yang dinilai menghambat eksploitasi puat ke daerah. Strategi utama adalah dengan melancarkan berbagai istilah negatif bagi budaya daerah. Hasilnya adalah budaya yang tidak kreatif, masyarakat yang tidak biasa dengan perbedan, dan tidak bisa menghargai perbedaan. Menurut Kusni (1994:50), masyarakat yang tidak tumbuh dalam budayanya menyuburkan budaya skeptifisme dan ketidakacuhan terhadap lingkungan.
Kebijakan penyeragaman, mendorong pandangan bahwa perbedaan sebagai alasan untuk mengambil jarak, bahkan untuk saling menekan. Penyeragaman menumbuhkan sikap konfrontatif dalam memandang kondisi pluralistik. Persoalan individual mudah memancing sentimen etnik, persoalan kecil mudah berkembang menjadi berskala besar. Penyeragaman di satu sisi membuat kelompok cenderung terisolasi dengan budaya sendiri-sendiri, di sisi lain tidak memiliki arah yang jelas, karena budaya nasional yang menjadi kiblat tak jelas wujutnya. Akibatnya masyarakat daerah retak-retak dalam pluralisme dan budaya menjadi kerdil.
Pembukaan wawasan pluralitas menghendaki adanya kesadaran, bahwa berbagai pandangan negatif terhadap budaya daerah, adalah anak kandung dari dari kebijakan sebagai strategi mempertahankan dominasi pusat atas daerah. Kesadaran ini perlu dibarengi dengan menumbuhkan kecintaan terhadap budaya sendiri dan penghargaan terhadap budaya yang berbeda. Dalam konteks ini Naik Dango merupakan event budaya yang selain dapat menumbuhkan kecintaan terhadap budaya sendiri, sekali gus mempertegas identitas Dayak sebagai media menuju pemahaman dan penghargaan budaya oleh pihak non Dayak. Jadi Naik Dango diharapkan dapat menumbuhkan sikap mau m enghargai dan sensitif terhadap perbedaan.


PEMERINTAHAN LOKAL

Sewaktu kemerdekaan, Para pendiri republik ini sangat amenghormati dan menghargai Masyarakat Adat, hal ini dapat dilihat dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 18, yang penjelasannya dalam angka II berbunyi “ Dalam teritorial Negara Indonesia terdapat kurang kurang lebih 250 “Zelfbesturendelandschappen” dan “Volksgemeenschappen” seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga dipalembang, Binua di Kalimantan Barat dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara
mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal usul daerah tersebut.”
Kebijakan paling tragis dan sangat menghancurkan Masyarakat Adat adalah ketika diberlakukannya UU No 5 tahun 1974 dan 1979 tentang Pemerintahan desa, dimana segala sesuatu harus seragam. Kedua UU ini adalah bentuk pengingkaran dan penghianatan terhadap cita-cita para pendiri Republik ini yang mencantumkan falsafah negara Bhineka Tunggal Ika. Falsafah ini dikangkangi dan diinjak-injak dengan memakai simbol pembangunan (lihat bagian menimbang UU No22 tahun 1999 ayat d,e,f).

Untuk itulah agar pemberdayaan Rakyat baik adat maupun bidang-bidang lainnya khususnya di kabupaten Landak betul-betul optimal dan sejalan pula dengan Fakta sejarah Asal-Usul Masyarakat di Kabupaten Landak maka Sistem pemerintahan Desa harus diganti dengan Sistem pemerintahan Binua.
Menurut Don Bosco (2003) melihat bahwa gerakan untuk kembali ke pemerintahan Binua bukanlah suatu yang membahayakan pihak-pihak lain terutama pemerintah, bahkan dapat membantu pemerintah dalam menciptakan masyarakat yang bermoral. Pemerintahan binua merupakan harta yang paling berharga dari masyarakat adat Dayak. Karena itu menjadi tanggungjawab moral bagi seluruh masyarakat adat Dayak untuk menemukannya kembali. Lebih jauh para timanggong dalam FKTB menyatakan bahwa :Menjalankan kembali pemerintahan binua bertujuan untuk mencapai Visi Masyarakat adat di kabupaten landak yaitu : masyarakat adat Kabupaten Landak hidup berdaulat dalam mengelola Sumber Daya Manusia, Sumber Daya Alam, Sosial Budaya, Politik dan Ekonomi untuk mencapai kehidupan yang mandiri, aman dan damai demi keadilan, kesejahteran dan kemakmuran bersama.

BINUA

Simon Takdir menjelaskan bahwa dalam sejarahnya masyarakat Dayak selako (kanayatn-red) hidup berkelompok-kelompok. Kelompok-kelompok ini menyebar untuk mencari wilayah kelola masing-masing. Bagi generasi-generasi berikutnya, wilayah-wilayah kelola tersebut menjadi wilayah leluhur (ancestral domain). Pada suatu saat masing-masing kelompok ini pecah menjadi kelompok-kelompok yang lebih kecil yang kemudian menjadi kampung-kampung. Kampung-kampung dalam satu wilayah leluhur yang merupakan satu sistem geografis-ekologis ini diikat dalam satu organisasi yang disebut Binua.

Dari penggalian sejarah peradaban masyarakat adat Dayak umumnya dan khususnya di kabupaten Landak, ditariklah kesimpulan bahwa nenek Moyang dahulu menempati wilayah yang disebut Binua. Dalam perkembangan berikutnya masyarakat binua membuat pemukiman-pemukiman kecil di dekat usaha mereka. Pemukiman kecil ini dikenal dengan sebutan Parokng. Akibat pertambahan jumlah penduduk dan pertambahan keluarga ,parokng menjadi pemukiman yang cukup ramai yang disebut Kampung. Jadi Kampung-kampung muncul dari Binua. Itulah sebabnya beberapa kampung yang ada sekarang memiliki struktur dan aturan adat yang sama.

Berdasarkan semangat UU No22 tahun 1999, yang memandatkan perubahan system pemerintahan di daerah berdasarkan hak asal-usul, maka Sistim Binua memperoleh momentum yang tepat untuk ditetapkan sebagai pengganti system Desa. Dengan menggunakan system Binua maka eksistensi budaya Masyarakat adat dan penghormatan hak asal-usul dapat menjadi pintu masuk pengakuan akan kedaulatan masyarakat adat di Kabupaten Landak.

Binua artinya “tanah air”, dengan menggunakan system binua maka upaya-upaya untuk pemberdayaan rakyat mendapat alas yang tepat karena didasari pada sejarah peradaban sejatinya.

Memang pada masa kolonial bias-bias penjajah telah merasuki system Binua, misalnya pemimpin Binua mengikuti alur Keturunan (feodalisme). Namun demikian kondisi ini bukanlah hal yang statis (tetap), ia memiliki karakter dinamis(berkembang mengikuti peradaban). Sifat yang dinamis inilah yang harus dijadikan pedoman dalam pengelolaan system binua selanjutnya.

Dengan berlakunya system binua, berarti pengakuan, penghormatan dan perlindungan akan eksistensi masyarakat kabupaten landak telah diletakkan pada tempat yang tepat.Pemberdayaan masyarakat untuk mengentaskan kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan gongnya dimulai dari titik ini.

Pengeloaan Sumber Daya Alam

Bagus Suratmoko memaparkan bahwa : Salah satu bentuk kekhawatiran adalah yang berkaitan dengan persoalan “kepemilikan lahan” masyarakat pengelola . Masyarakat pengelola ini khawatir bahwa pada suatu saat lahan mereka atau wilayah kelola mereka “kena caplok” oleh pihak lain. Kekhawatiran yang lain lebih berupa keluhan, yakni meski berbagai usaha telah dilakukan untuk mendapat hasil yang maksimal dari sumber daya yang ada, namun kendala untuk mendapat “keuntungan yang lebih” sehingga kehidupan mereka lebih baik dari hari ini, sangat besar. Kekhawatiran ketiga adalah bahwa sistem pengelolaan sumber daya alam oleh masyarakat lokal merupakan salah satu hal yang hingga kini kurang dipahami oleh banyak pihak, termasuk pemerintah. Inti dari kekhawatiran yang pertama adalah bahwa masyarakat sebenarnya merindukan bentuk “perlindungan-perlindungan”, terutama dalam soal hak-hak atas tanah, hutan adat dan seterusnya. Sedangkan inti dari kekhawatiran yang kedua, masyarakat merindukan “fasilitasi” dalam bentuk penyediaan bantuan teknis, prasarana maupun dalam “keberpihakan-keberpihakan” dalam strategi pemasaran produk-produk lokal. Kekhawatiran yang ketiga, selain mempunyai kaitan dengan soal pengakuan hak-hak lokal juga berkaitan dengan rendahnya apresiasi “pihak luar” terhadap sistem pengelolaan sumber daya alam oleh masyarakat Dayak juga berkaitan dengan kekhawatiran bahwa, misalnya karena perhitungan-perhitungan keterbatasan lahan di masa sekarang, masyarakat lokal akan secara “tergesa-gesa” diajak untuk menggunakan “sistem baru”.

Secara keilmuan, cara atau sistem yang dipergunakan oleh masyarakat Dayak dalam mengolah lahannya adalah apa yang disebut dengan sistem hortikultur (horticulture) . Sistem budidaya ini dibedakan dengan sistem agrikultur (agriculture). Istilah ini memang diambil dari disiplin antropologi. Di dalam diskusi ini siplin ini digunakan karena sifatnya yang interdisipliner. Kategori hortikultur, misalnya, didasari telaah dari berbagai sudut pandang: ekologi, kultur (kebudayaan) dan sosiologi.

Sistem hortikultur mempunyai ciri-ciri penggunaan lahan yang meluas (ekstensif) dan penggunaan metode tebas-bakar serta rotasi. Sistem hortikultur merupakan bentuk adaptasi masyarakat setempat terhadap kondisi tanah dengan lapisan kesuburan yang tipis. Di lain tempat hortikultur dikembangkan di daerah kering. Karena kesuburan yang rendah ini sistem ini memang memerlukan lahan yang lebih luas. Oleh karena itu sistem ini sering disebut juga pertanian ekstensif. Sistem pertanian yang dikontraskan dengan hortikultur adalah agrikultur. Sistem agrikultur berciri intensitas penggunaan lahan (lahan tidak luas tetapi hasil banyak) karena sistem ini memang berkembang di daerah yang subur yang pada umumnya mempunyai gunung berapi. Oleh karena itu sistem agrikultur disebut juga pertanian intensif.

Metode tebas-bakar (slash-and-burn atai swidden) dan metode rotasi berkembang atau dikembangkan dalam korelasi dengan kesuburan tanah. Di daerah yang minus gunung berapi, kesuburan tanah mau tidak mau bergantung pada penguraian unsur-unsur kesuburan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Metode tebas-bakar mempercepat proses penguraian ini. Abu hasil pembakaran pepohonan dan tetumbuhan ini menjadi unsur penyubur tanah. Sistem rotasi lebih ditekankan pada pengaturan siklus hutan—ladang—hutan. Rotasi yang baik memberi kesempatan pada bidang tanah tertentu untuk mengembalikan kesuburannya sebelum digunakan kembali untuk budidaya padi lewat proses pembawasan (fallowing). Ideal atau tidaknya “jeda” pembawasan ini akhirnya tergantung pada luas tidaknya lahan yang tersedia bagi satu komunitas.

Dalam hal hubungan antara kurang suburnya tanah Kalimantan dengan kenyataan bahwa hutan di tanah ini (dahulu) adalah hutan-hutan yang lebat, Victor T. King menjelaskan bahwa hal ini merupakan hasil dari siklus pelapukan yang cepat dari tumbuh-tumbuhan hutan yang dibantu oleh suhu dan kelembaban yang tinggi . Unsur-unsur hara tersedia karena pembusukan tetumbuhan yang cepat terjadi lantaran kelembaban yang tinggi yang dikarenakan curah hujan yang tinggi dan suhu yang tinggi. Unsur penyubur tanah ini bertumpuk-tumpuk di dasar hutan dan tidak pergi tersapu air karena terhalang oleh akar-akaran berbagai tanaman besar dan kecil. Unsur penyubur tanah tersebut juga tidak “menguap” karena tertutup oleh dedaunan pohon-pohon yang tinggi. Ini hanya terjadi pada hutan yang masih bagus kondisinya. Semakin rusak sebuah hutan, semakin terganggu siklus ini. Namun hutan dengan ekologi seperti ini adalah kondisi yang sangat diperlukan untuk pertanian hortikultur. Karena dari mana lagi sistem pertanian hortikultur mendapat “asupan tambahan” gizi tanah selain dari hutan?

Sistem hortikultur ini bukan sesuatu yang “ditempelkan” pada masyarakat yang menggunakannya. Sistem ini menyatu dengan keseluruhan sistem kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. Struktur sosial yang berkembang pada masyarakat hortikulturalis adalah struktur sosial yang egaliter, berbeda dengan struktur masyarakat sentralistik yang berkembang pada masyarakat agrikultur. Mengapa demikian, karena sistem ekonomi dan kekerabatan masyarakat dari kedua sistem terrsebut berbeda.



0 komentar: