MENGENAL KARAKTERISTIK MASYARAKAT MADURA:
Madura dapat dikatakan identik dengan islam, meskipun tidaksemua penduduk memeluk agama Islam. Di Kabupaten Sumenep pada tahun 2000, pemeluk islam sebanyak 968.772 orang, Kristen sebanyak 916 orang, Katolik 947 orang (kabupaten Sumenep dalam angka 2000:98). Namun demikian adat-istiadat orang Madura sangat dipengaruhi agama Islam.
Citra madura sebagai “masyarakat santri” sangat kuat. Seseorang yang sudah Haji dianggap telah memperoleh kesempurnaan hidup. Hampir setiap rumah orang madura memiliki bangunan langgar atau surau sebagai tempat keluarga melakukan ibadah sholat. Lokasinya selalu berada di ujung timur halaman bagian barat sebagai simbolisasi lokasi Ka’bah yang merupakan kiblat orang islam ketika melaksanakan ibadah sholat (Wiyata, 2002:44).
Di Madura, sebutan untuk ulama atau kiai seperti diatas adalah Keyae. Seorang kiai adalah orang yang tinggi pengetahuan agamanya. Biasanya seorang Keyae, memiliki atau memimpin sebuah pondok pesantren. Tetapi, dapat juga karena ia memiliki darah keturunan dari seorang Kiai. Sampai saat ini, unsure keturunan itu merupakan factor penentu penyebutan seseorang sebagai Kiai. Apalagi factor keturunan tersebut berkaitan dengan seorang kiai yang karismatik, maka anak-anaknya, secara otomatis, juga akan disebut oleh masyarakat Madura sebagai kiai. Ia akan mudah mempengaruhi dan mengerakkan masayarakatnya.
Agama Islam dan ulama di Madura memiliki tempat yang khusus dalam kehidupan masyarakat Madura. Sebagai suatu kelompok etnik, masyarakat Madura memiliki sentimen keagamaan islam yang tinggi.Identitas keagamaan islam yang kuat dikalangan masyarakat Madura berakar dari proses histeris yang panjang. Proses peng-Islaman penduduk local mulai meluas dan intensif sejak pertengahan abad ke-16 ketika raja-raja local di Madura mulai memeluk agama Islam. Sejalan dengan meningkatnya perdagangan antarwilayah pada masa lalu, penyebaran agama islam di Madura juga meningkat pesat. Daerah-dareah Madura yang memiliki perkembangan potensi perdagangan yang cukup pesat, seperti Sumenep, tumbuh menjadi daerah islam yang sangat penting jika dibandingkan dengan wilayah Madura yang lain .
Ulama atau keyae memiliki tempat yang spesifik dalam masyarakat madura, tidak hanya karena proses histories seperti di atas, tetapi juga didukung oleh kondisi-kondisi ekologi (tegal) dan struktur pemukiman penduduk yang ada. Kondisi-kondisi demikian, kemudian melahirkan organisasi sosial yang bertumpu pada agama dan otoritas ulama. Ulama merupakan perekat solidaritas dan kegiatan ritual keagamaan, pembangun sentiment kolektif keagamaan, dan penyatu elemen-elemen sosial atau kelompok kekerabatan yang tersebar karena factor-faktor ekologis dan struktur pemukiman tersebut. Oleh karena itu, bukan hal yang berlebihan jika ulama atau kiai sebagai pemegang otoritas keagamaan memiliki pengaruh yang besar dalam kehidupan orang Madura (Kuntowijoyo, 1993:85-87). Karena kepatuhannya kepada kiai yang sangat kuat, seorang ulama muda dari Bangkalan, KH. Khozim Karim, menyebut masyarakat Madura sebagai “masyarakay kiai”.
“Dalam masyarakat madura, kiai paling dihormati dibandingkan dengan golongan sosial yang lain. Kiai memiliki harta dan penghormatan sosial dari masyarakatnya. Kiai akan lebih dihormati kalau ia memiliki charisma dan keramat (memiliki ilmu gaib) karena kelebihan ilmu agamanya itu. Apa yang dikatakan akan dituruti dan di laksanakan umatnya (orang madura). Pejabat dan orang kaya di sini, masih hormat kepada kiai. Setelah kiai, pejabatlah yang dihormati masyarakat madura. Ia symbol keberhasilan sukses duniawi bagi seseorang dan memiliki status sosial yang baik, karena kedudukannya sebagai pejabat atau pegawai pemerintah. Orang kaya kalau hormat akan mencium tangan kiai. Orang kaya dihormati kalau ia baik. Artinya, kekayaan yang diperolehnya itu dengan jalan baik dan perbuatan sosialnya juga baik. Harta yang baik (halal) akan menjaga martabat pemiliknya. Kalau tidak, di kurang dihargai masyarakat. Jadi, di Madura, dasar penghormatan terhadap seseorang berturut-turut adalah kemampuan agamanya, ilmunya (ilmu dunia), dan baru hartanya.”
Hubungan kiai dan umatnya sangat dekat, dan kiai memiliki peranan dominan dalam kehidupan umatnya. Apa yang dikatakan oleh seorang kiai niscaya akan diikuti oleh umatnya, bahkan kadang-kadang tanpa memperhitungkan apakah hal itu baik atau tidak. Masuknya kiai dalam kegiatan politik praktis yang cukup meningkat di Madura pada masa reformasi ini sering memanfaatkan mobilitas umat untuk kepentingan politik praktis mereka.
BLATER
Sebagaimana diuraikan di atas, blater merupakan kelompok sosial yang cukup berpengaruh di kalangan masyarakat Madura. Dalam pengertian local, blater adalah orang yang memiliki kecenderungan berperilaku kriminal, seperti mencuri, berjudi, main perepuan, membunuh, dan mabuk-mabukkan (Wiyata, 2002:254). Mereka ditakuti masyarakat karena keberingasan sosialnya. Kelompok itu dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan, seperti kepentingan politik. Hubungan antara kiai dengan kelompok blater cenderung bersifat simbiosis, saling membutuhkan, walaupun fungsi dan peranan sosial mereka antagonistic. Tidak sedikit, seorang kiai atau haji memiliki latar belakang sosial sebagai blater sehingga kadang-kadang perangai blater-nya tetap muncul, sekalipun mereka sudah menyandang symbol-simbol keagamaan Islam tersebut.
MORALITAS
Dalam hal moralitas, umat melihat kiai secara konservatif. Pandangan ini, biasanya, berbeda dengan pandangan umum masyarakat di luar pesantren atau di luar orang Madura. “Rata-rata istri kiai di Madura adalah 4 orang. Jarang ada perempuan yang menolak lamaran kiai, tetapi jumlah yang demikian jarang sekali. Dikawini oleh kiai, besar barokahnya bagi orang perempuan. Bagaimana orang perempuan tidak mau? Kiai itu kan memiliki harta benda atau kekayaan yang cukup, dihormati orang, dan apa lagi jika kiai baik dari segi fisik (tampan) dan psikis? Bagi keluarga perempuan, menikah dengan kiai juga untuk mengangkat status sosial keluarganya dimata masyarakat. Banyak istri seorang kiai, tidak mengubah persepsi masyarakat terhadap dirinya”.
Selain kiai masih memainkan peran sesuai dengan statusnya sebagai seorang kiai, ia tidak akan menuai “gugatan” umatnya. Akan tetapi, dalam hal politik praktis, akhir-akhir ini, ada pergeseran pandangan masyarakat terhadap para kiainya .Masuknya kiai didalam ranah politik, baik sebagai politisi, maupun sebagai pejabat politik didaerah, seperti sebagai bupati atau ketua DPRD, sering mengundang apresiasi negative masyarakat atau umatnya. Tidak ada larangan bagi sesorang kiai untuk memiliki usaha ekonomi.yang penting,dalam hal ini adalah kiai itu tidak terlibat langsung dalam kegiatan usaha ekonominya.Dikatakan,di madura ini para kiai juga banyak yang menanam tembakau.Artinya,kiai itu bertani.Tetapi,proses penanaman dan kegiatan produksinya itu dilakukan oleh santri-santrinya atau diperkerjakan/dipercayakan kepada orang lain.santri-santri tersebut tidak dibayar karena yakin para santri akan memperoleh barokah kiai.
Jadi, kiai tidak menanggani kegiatan tersebut secara langsung. Kalau kiai sendiri yang terjun berdagang atau bertani, hal seperti ini akan tidak dihargai oleh masyarakat. Sebaliknya, jika urusan bertani dan berdagang diserahkan atau dipercayakan kepada orang lain, walaupun modal usahanya dari kiai, tidak berpengaruh apa-apa terhadap martabat kiai. Di Madura ini, kata Pak Rachmat, sulit masyarakat menerima seorang kiai yang merangkap sebagai petani atau pedagang sebagaimana layaknya petani atau pedagang yang sesungguhnya.
DUKUN
Berdasarkan hasil penelitian Joordan, sebagaimana dikutip Kuntowijoyo (1993:84), menyebutkan bahwa kegiatan pelayanan kesehatan di Puskesmas belum secara optimal di manfaatkan oleh masyarakat Madura karena masih sangat kuat menggunakan system pengobatan medis tradisional yang dilakukan oleh dukun atau kiai. Dukun dan kiai memiliki peranan utama dalam usaha penyembuhan dan kesehatan masyarakat. Akan tetapi, kegagalan fungsi kelembagaan kesehatan modern itu, secara antropologi, disebabkan para petugas kesehatan kurang memiliki pemahaman yang baik terhadap struktur sosial masyarakat Madura sehingga mereka kurang mendayagunakan potensi sosial (budaya) local untuk mencapai keberhasilan program-program pembangunan di bidang kesehatan masyarakat.
PEMBANGUNAN PEDESAAN
Dalam perkembangan berikutnya, sejalan dengan perubahan-perubahan sosial (budaya) yang terus berlangsung, kiai telah memainkan peranan yang konstruktif dalam pembangunan pedesaan. Hasil penelitian Mansurnoor (1990) menunjukkan bahwa kiai di daerah pedesaan telah mengambil peranan yang partisipatif dalam kegiatan-kegiatan pembangunan. Ia sering dimintai pertimbangan tentang pelaksanaan suatu program pembangunan. Pelibatan partisipasi dan dukungan kiai terhadap pelaksanaan pembangunan sebenarnya bukanlah hal yang sulit jika saja para perencana pembangunan dan birokrat pemerintah memiliki strategi kebudayaan yang tepat dalam menyampaikan program-program tersebut secara jelas dan terbuka kepada kiai.
Proses kegiatan pembangunan Madura, sampai saat ini, menunjukkan bahwa para kiai sebenarnya, memiliki sikap adaptif yang baik terhadap program pembangunan. Resistensi terhadap pembangunan tidak akan terjadi jika saja tujuan pembangunan tersebut untuk kepentingan kemaslahatan umat dan tetap menjaga sikap agamis masyarakat Madura. Dalam menyikapi gejala pembangunan di Madura, kiai Muhammad dari Bangkalan menyatakan bahwa prinsip utama para kiai adalah dalam rangka amar ma’ruf nabi mungkar, yaitu menyerukan perbuatan kebaikan dan menyingkirkan kemungkaran (Tojjib, 1998:139). Pandangan-pandangan kiai patut dipertimbangkan dalam kebijakan pembangunan Madura, mengingat kedudukan dan peranan sosial yang mereka miliki sangat besar dalam kehidupan sosial masyarakat madura.
Menurut pandangan orang Madura, pembangunan merupakan suatu hal yang mesti terjadi. Islam sendiri tidak menyukai kemiskinan. Yang mereka harapkan adalah manfaat nyata pembangunan bagi orang Madura. Masyarakat madura dapat menyaksikan dan merasakan sendiri manfaat pembangunan bagi kehidupannya. Jika itu yang terjadi, niscaya mereka tidak akan menolak dilaksanakannya pembangunan di Madura. Mereka percaya bahwa pembangunan memang menguntungkan kehidupannya dengan segenap identitas keislamannya. Dalam perspektif ini, pembangunan Madura adalah pembangunan untuk kepentingan masyarakat madura yang memiliki citra santri sangat kuat, bukan untuk menyingkirkan masyarakat dan kebudayaan madura yang agamis (Islam).
HARGA DIRI
KEDUDUKAN ISTRI DAN PEREMPUAN DALAM MASYARAKAT
Dalam studi tentang carok, Wiyata (2002:170-185) mengungkapkan bahwa harga diri atau kehormatan diri orang Madura akan terusik jika ia dipermalukan (malo) atau dilecehkan secara sosial. Bagi orang Madura, menanggung beban malu merupakan pantangan yang harus disingkirkan. Tindakan carok merupakan manifestasi dari upaya membela dan menjaga harga diri, dengan jalan kekerasan fisik. Dalam konteks ini, ungkapan orang madura, ango’an poteya tolang etembeng poteya mata, yang artinya “lebih baik mati daripada hidup menanggung malu” menjadi referensi dan perbuatan carok.
Dalam studi tentang carok tersebut dikemukakan bahwa salah satu penyebab carok yang potensial adalah mengganggu istri orang lain. Gangguan terhadap perempuan yang telah bersuami tersebut dapat berupa aktivitas menggoda, mencintai, atau melakukan perselingkuhan. Dalam perspektif orang Madura, istri merupakan symbol kehormatan rumah tangga atau laki-laki Madura. Gangguan terhadap istri atau perempuan ditapsirkan sebagai pelecehan harga diri orang Madura.
Dasar pembela terhadap istri (abilabi binek) tersebut ditemukan oleh penyair Madura, D. Zawawi Imron (1986), dalam ungkapan, “saya kawin dinikahan oleh penghulu, disaksikan oleh orang banyak, dan dengan memenuhi peraturan agama. Maka, siapa saja yang mengganggu istri saya berarti menghina agama saya (Islam), sekaligus menginjak-nginjak kepala saya”. Karena itu, martabat dan kehormatan istri merupakan perwujudan dari martabat dan kehormatan suami karena istri adalah landasan kematian (bantalla pate). Dalam ungkapan lain, tindakan mengganggu istri disebut sebagai agaja’ nyaba, yang pengertiannya sama dengan tindakan mempertaruhkan atau mempermainkan nyawa (Wiyata, 2002:173).
Berikut ini disajikan sebuah petikan peristiwa carok di Bangkalan, Madura, yang disebabkan oleh masalah perempuan, yakni mengganggu istri orang lain (lihat Wiyata, 2002: 89-107).
Di suatu petang menjelang matahari terbenam, atau tepatnya sekitar pukul 17:30 WIB, hari kamis, ketika orang-orang di desa Rombut sedang menunggu saat berbuka puasa, terjadi peristiwa corak antara Mat Tiken (45) dengan dua orang yang masih saudara sepupu, yaitu Kamaluddin (32) dan Mokarram (38). Tiken yang diketahui telah menjalin hubungan cinta dengan Sutiyani (25), istri Kamaluddin. Kamaluddin sangat cemburu dan marah sehingga berniat harus membunuh Mat Tikan. Untuk melakukan niatnya itu, Kamaluddin minta Bantu MOkarram. Keduanya mendatangi Mat Tiken dan langsung menantang carok. Mat Tiken melayani tentangan itu sehingga terjadilah carok di antara mereka.
Karena Mat Tiken adalah seorang jagoan, corak corak tersebut berakhir dengan kematian Kamaluddin dan Mokarram di tempat kejadian dengan sejumlah luka bacok di sekujur tubuh mereka, terutama di bagian perut. Usus mereka terburai keluar karena bacokan Mat Tiken tepat mengenai bagian tengah perut memanjang dari arah samping kiri ke samping kanan. Mat Tiken sendiri hanya menderita luka-luka ringan. Pada bahu sebelah kiri terdapat luka bacok sepanjang kira-kira 10 cm melintang dari bagian atas depan ke bagian belakang. Selain itu, jari kelingking tangan kiri hamper putus. Setelah dirawat hamper sebulan luka-luka itu sembuh. Senjata tajam yang dipergunakan oleh Mat Tiken untuk menewaskan Kamaluddin dan Mokarram berupa sebilah celurit dari jenis dang-asok, sedangkan yang dipergunakan oleh Kamaluddin dan Mokarram adalah dari jenis are’takabuwan.
Kaum perempuan Madura memiliki nilai khusus dalam masyarakat dan kebudayaan Madura. Nilai khusus tersebut berwujud adanya perhatian yang lebih kepada anak-anak perempuan dari pada anak laki-laki. Perhatian yang khusus dapat dilihat pada unsur-unsur kebudayaan Madura, seperti struktur pemukimannya, system pewarisan, dan sosialisasi. Integrasi atas unsur-unsur tersebut sekurang-kurangnya dapat dipakai untuk mengidentifikasi kedudukan perempuan dalam keluarga dan masyarakat Madyra.
PEMUKIMAN
TERKAIT DENGAN PERKAWINAN
Pola-pola pemukiman tradisional orang Madura terwujud dalam taneyan lanjang (halaman panjang). Deretan rumah yang terbagun dalam kesatuan permukinan itu diperuntukkan kepada anak-anak perempuan. Masing-masing penghuninya terikat oleh hubungan kekerabatan. Jika anak-anak perempuan itu menikah, suami akan menetap di rumah yang telah disediakan oleh orang tua perempuan (matrilokal). Sebaliknya, anak laki-laki akan keluar rumah setelah mereka menikah dan menetap dirumah yang telah disediakan oleh orang tua istrinya. Dalam hal ini, anak laki-laki tidak memiliki tempat khusus dalam keluarga mereka atau keluarga intinya (Wiyata, 1989). Struktur pemukiman tradisional itu lebih memberikan tempat khusus dan perhatian penuh bagi perempuan Madura dalam keluarganya.
PEWARISAN
KEDUDUKAN PEREMPUAN LEBIH TINGGI
Demikian pula dalam hal pewarisan harta keluarga. Sekalipun orang Madura beragama Islam, norma pewarisan menganut system adat setempat. Harta warisan dibagikan ketika orang tua masih hidup. Pola-pola umum yang berlaku dikalangan masyarakat Madura, hak perolehan harta warisan antara anak laki-laki dan anak perempuan sesuai asas se lake’ mekol, se binek nyo’on. Artinya, bagian anak laki-laki sebanyak satu pikulan, sedangkan anak perempuan satu sunggian. Sekurang-kurangnya, bagian anak laki-laki dan perempuan relative sama. Perempuan memang memperoleh bagian rumah dan pekarangannya, sedangkan laki-laki memperoleh bagian tanah pekarangan atau tanah tegalan yang nilainya setara atau lebih banyak daripada bagian yang diperoleh anak perempuan. Jika tidak demikian, dapat mengundang percecokan untuk berebut harta warisan antarkerabat setelah kedua orang tuanya meninggal.
Dalam studi kasus di Posongsongan, Sumenep, ditemukan fakta bahwa pada umumnya, anak perempuan akan memperoleh bagian lebih besar daripada laki-laki. Harta warisan seperti rumah dan tanah pekarangan, secara umum, diberikan kepada anak perempuan dan tidak boleh dijual kepada siapapun. Tanah lading atau tegalan boleh dijual kepada keluarga sendiri. Dalam pembagian warisan ini, jarang sekali terjadi anak laki-laki diberi bagian lebih banyak. Bagian anak perempuan ini lebih banyak karena perempuan akan menjadi tempat berpulangnya (pamoleanna) saudara laki-lakinya jika terjadi percerayan atau kasus yang lainnya (Sidiq, 1992:49).
Fakta-fakta di atas merupakan unsur sosial budaya yang dapat di identifikasikan untuk melihat kedudukan penting perempuan dalam masyarakat Madura. Dalam perspektif antropologi simbolik, nilai penting perempuan terkait erat dengan eksistensi kehidupan orang Madura. Mitologi-mitologi tradisional di Asia Tenggara, termasuk di Indonesia, menunjukkan bahwa perempuan simbolisasi dari tanah (bumi), kekayaan, dan kesuburan.
Interpretasi simbolik atas cerita rakyat Madura tentang kekalahan Dempo Awang dari Raja Sumenep, Joko Tole, telah menunjukan hal yang sama, yakni penghormatan terhadap perempuan Madura. Dalam kanteks cerita tersebut, perempuan merupakan simbolisasi dari negeri, tanah, dan kekayaan alam orang Madura. Jika dalam cerita tersebut Joko Tole berhasil dikalahkan oleh Dempo Awang dan gadis-gadis Madura berhasil direnggut keperawanannya oleh Dempo Awang, hal itu merupakan simbolisasi dari “penaklukan tanah, negeri, kerajaan, dan kekayaan Madura” oleh orang asing. Jika kondisi demikian yang terjadi, niscaya madura dan rakyatnya berada dalam “penjajahan” orang lain. Pembelaan Joko Tole merupakan cerminan untuk menegakkan martabat dan harga diri orang Madura serta sebagai upaya mempertahankan sumber-sumber orang Madura. Oleh karena itu, perempuan harus dijaga kehormatannya dengan mempertaruhkan nyawa.
PANDANGAN TERHADAP TANAH
Perempuan dalam cerita tersebut tidak dapat dimaknai secara harfiah. Demikian juga, pernyataan penyair D. Zawawi Imron, bahwa focus harga diri orang (suami) Madura terletak pada perempuan (istri), tidak dapat dimaknai secara harfiah. Pernyataan itu selalu bermakna simbolik. Makna yang terkandung didalamnya adalah berkaitan dengan tanah dan kesuburan yang menjadi sumber kehidupan orang Madura. Dalam perspektif ini, sekali pun tanah di Madura kurang subur, tandus dan kering, nilai tanah tidak hanya ditentukan oleh keuntungan ekonomis yang diperoleh dari tanah tersebut. Tanah menjadi tempat bergantung hidup orang Madura, karena tidak ada lagi pilihan harta kekayaan lain dan kelangkaan sumber daya alam sehingga nilai tanah menjadi tinggi atau berharga di mata orang Madura.
Oleh sebab itu, tanah juga ikut menentukan harga diri oang Madura. Nilai tanah akan semakin besar bagi kehidupan orang madura jika didalam tanah terebut dikubur para leluhur mereka. Di daerah pedesaan madura, leluhur dan kerabat keluarga yang telah meninggal, biasanya, dikubur di sekitar pekarangan rumah. Ikatan kekerabatab yang kuat dimanifestasikan juga dalam ikatan leluhur, yang diwuijudkan dengan menguburkan para kerabat ditanah pekarangan yang dimiliki. Oleh sebab itu, merupakan pantangan besar bagi orang madura menjual tanah pekarangan, tanah tegal, dan rumah kepada orang lain. Selain malu terhadap tetangga, tindakan tersebut dapat mengakibatkan tidak selamat hudupnya (ecapok tola atau keneng tola), anak bisa cacat, sering sakit, atau keluarga tidak akur (Samsu, 1992: 2). Jika rumah dan tanah warisan (tanah sanghkolan) dijual, maka ia akan dicela oleh masyarakat. Tindakan demikian dianggap aib sosial. Masyarakat akan berpikir, “sudah tidak dapat menambahi, harta kekayaan orang tuanya malah dijual”. Para leluhur diyakini masih dapat mempengaruhi kehidupan di dunia. Oleh karena itu, tanah, leluhur, dan kehidupan orang madura memiliki hubungan yang erat (gambaran secara lebih detail disajikan pada subbab tersendiri dalam bab tiga).
Tanah dimadura merupakan unsur yang dapat menimbulkan konflik sosial atau carok. Konflik demikian itu, biasanya, timbul berkaitan dengan pembagian warisan dalam keluarga. Jika terjadi carok antara kerabat biasanya dapat dipastikan bahwa penyebab utamanya adalah pembagian warisan keluarga. Sementara itu, konflik-konflik sosial yang melibatkan pihak lain, seperti Negara dan pemerintah, biasanya terjadi karena klaim histories bahwa tanah tersebut merupakan milik leluhur mereka, seperti ditunjukkan dengan adanya kuburan pera leluhur, sebagian terjadi di ladang-ladang garam, karena diatas tanah tersebut terdapat kuburan leluhur sehingga tidak dapat digusur untuk lokasi pembangunan fisik; atau karena nilai ganti rugi yang kecil.
Seorang informan, Pak Najib (49), warga sumenep, memberikan pandangan tentang bagaimana orang madura memperlakukan para leluhur mereka, seperti berikut ini.
“Yang ada didalam tanah itu adalah keluarga saya atau leluhur saya. Setiap tahun atau setiap saat, saya nyekar dan berdoa sebagai bentuk penghormatansaya kepada ahli kubur. Ini adalah hal yang sacral. Makam ini tidak bisa dipindah karena memindahkan makam sama dengan melakukan penghinaan terhadap harga diri atau martabat keluarga saya. Kalau makam ini terkena proyek pembangunan, seperti pembangunan jalan raya, maka arah jalan itu yang harus dipindahkan, bukan makamnya. Makam tidak bisa dipindah. Tabu itu”.
Menurut Pak Najib, tradisi nyekar dan membaca doa, seperti surat yasin adalah sarana berkomunikasi atau berdialog antara manusia yang masih hidup didunia dengan para leluhurnya yang sudah meninggal dunia. Doa yang di kirimkan itu diyakinkan akan berdampak positif timbale-balik, baik yang masih hidup didunia, maupun yang sidah meninggal dunia. Dengan cara demikian, orang yang masih hidup akan selamat dari siksa dunia dan akhirat, sedangkan yang sudah meninggal dunia akan dijauhkan dari siksa kubur dan neraka atas barokah dan rakhmat allah SWT. Kedua belah pihak saling mendoakan. Dikatakan Pak Najib, berdoa di atas makam lebih berharga (afdol) dari pada mengirim doa dari rumah atau masjid dan langgar. Makan yang pertama, merupakan tempat menyatunya jasad manusia dan tanah, lebih sacral dari pada makam yang baru ditanah lain, tempat tulang belulang itu dipindahkan.
Sebab-sebab lain yang dapat mengganggu harga diri orang madura selain masalah kehormatan perempuan, tanah, dan leluhur, adalah masalah air, penghinaan terhadap agama, dan pelecahan terhadap anggota keluarga, apa lagi jika hal itu dilakukan di tempat umum (dibandingkan juga, Wiyata, 2002:89-168; Kusumah, 1992:7). Dengan kondisi alam yang tandus dan kering, air merupakan sumber daya alam yang sangat langka (scarcity resources) di madura. Air memiliki makna simbolik dan kedudukan sosial yang penting sebagai sumber kehidupan orang madura. Secara simbolik, air adalah identik dengan eksistensi kehidupan orang madura. Oleh sebab itu, gangguan terhadap air merupakan ancaman terhadap eksistensi kehidupan mereka. Dalam perspektif simbolik, perempuan, tanah, leluhur, dan air merupakan kesatuan integral dan menjadi sumber kehidupan utama masyarakat.
Masalah air menjadi perhatian utama orang madura ketika musim kemarau tiba. Kebutuhan air akan meningkat karena pada musim ini air bukan hanya dipakai untuk konsumsi keluarga, melainkan juga untuk ternak dan penunjang pertanian tembakau. Oleh sebab itu, perebutan air sering terjadi di kawasan yang dapat diakses oleh public, seperti sungai dan mata air. Akibat lebih jauh dari perebutan tersebut adalah timbulnya konflik sosial dalam bentuk carok.
Agama menjadi sumber konflik sosial karena kedudukannya yang penting sebagai salah satu unsure pembentuk identitas etnik madura. Sebagai unsure identitas etnik, agama merupakan bagian integral dari harga diri orang madura. Oleh karena itu, pelecehan terhadap agama atau perilaku yang tidak sesuai dengan agama, seperti menganggu kehormatan perempuan dan mengkritik kiai serta mengkritik kerilaku keagamaan orang madura, merupakan pelecehan terhadap harga diri orang madura.
C. Tanah, Makam, Leluhur, dan kekerabatan
Sedumuk bathuk senyari bumi, ditohi pecahing dhadha lan wutabing ludira, demikian pepatah (jawa) lama yang dikiranya sangat tepat untuk mengabarkan arti penting sejengkal tanah. Orang akan mempertahankannya dengan taruhan nyawa. Tanah memang mempunyai arti yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat, terutma pada masyarakat agraris. Tanah memeiliki nilai produktif dan nonproduktif. Tanah produktif, biasanya, berupa tanah-tanah sawah dan tegalan yang digarap dan dijadikan sumber pendapatan keluarga. Tanah nonproduktif, pada umumnya, berupa tanah pekarangan untuk tempat mendirikan rumah sebagai tempat tinggal, disamping ada pula yang dibuat makam bagi keluarganya.
Kondisi tanah dimadura, pada umumnya, kurang menguntungkan untuk dioleh. Selain sarana irigasi masih sangat minim, tanah di madura termasuk tanah kapur bercampur lempung yang menyerap air (higroskopis), serupa dengan tanah perbukitan kapur disepanjang pantai utara pulau Jawa yang secara geologis masih satu deretan (De Jonge, 1989:5-6). Dengan demikian, tanah pertanian dimadura lebih banyak berupa tegalan yang ditanami palawija, seperti singkong, kacang-kacangan, kedelai, dan umbi-umbian.
Secaya umum tanah dimadura tidak memiliki produktivitas tinggi. Akibat sumber daya alam yang terbatas itu, sebagaimana telah dideskripsikan pada bab 2, banyak orang madura memilih melakukan migrasi dan bertempat tinggal diluar pulau madura. Akibat arus migrasi yang deras tersebut, timbul spekulasi pendapat disebagian orang luar madura bahwa orang madura tidak mementingkan tanah. Namun, pada kenyataannya tidak demikian, Orang madura memiliki pandangan tertentu terhadap tanah. Pada kenyataannya, dalam kehidupan orang madura, tanah mempunyai dimensi yang amat luas, sesuai dengan nilai budaya yang berkembang dalam kehidupannya. Tanah tidak hanya dilihat dari nilai ekonomi, tetapi juga dilihat dari nilai-nilai lain yang menyertainya seperti nilai religius dan nilai kekerabatan yang terkait satu sama lain. Gambaran keseluruhan mengenai pandangan orang madura terhadap tanah, pada dasarnya, merupakan gambaran kosmologi yang terkait dengan segala aspek kehidupan yang lebih luas.
1.Tanah dan Leluhur
Masyarakat madura sebagaimana telah dideskripsikan pada subbab A bab 3, dikenal sebagai pemeluk agama islam yang kuat. Dapat dikatakan bahwa islam merupakan identitas orang madura (Maulana, 1992). Agama islam sudah meresap dan mewarnai pola kehidupan sosial, seperti tampak pada cara berpakaian. Mereka (Kaum lelaki) selalu mengenakan songko’ (kopiah) dan sarung, terutama pada saat menghadiri upacara ritual, sholat jumat, bepergian, atau menerima tamu yang belum dikenal. Menonjolnya cirri keislaman orang madura itu ditandai pula oleh banyaknya pondok pesantren, dan lembaga itu menjadi tujuan utama adalah menuntut pendidikan keagamaan. Namun, dalam kategori tertentu, islam dimadura tidak dianggap islam murni, tetapi disebut “islam local” (Woodward, 1989: 69-70), yaitu islam yang bercampur adat, seperti abangan atau agama Adam di Jawa (Geertz, 1989).
Selain melaksanakan ajaran agama dengan taat, orang madura mempertahankan kepercayaan asal yang mempercayai bahwa roh leluhur itu mempunyai kekuatan yang dapat memberikan perlindungan dalam kehidupan manusia. Hanya karena berbeda alam, kontak antara keduanya terbatas. Gejala seperti itu tampak pada kebiasaan masyarakat dalam melakukan upacaya selamatan tanah dan rumah (rokat), upacara mengirim doa melalui sajian makanan dan minuman kepada leluhur yang sebelumnya di beri doa oleh kiai, dan kebiasaan masyarakat mengubur jenazah di pekarangan atau tanah tegalnya.
Orang madura pada dasarnya berorientasi pada dua alam, yaitu alam semesta (makrokosmos) dan alam diri sendiri (mikrokosmos). Demikian halnya dengan dunia yang terbagi dua, yang bersifat berlawanan, yaitu dunia nyata (alam nyata) dan dunia gaib (alam transcendental). Dunia nyata adalah dunia manusia beserta makhluk hidup lainnya, seperti binatang dan tumbuh-tumbuhan, sedangkan dunia gaib dihuni oleh berbagai makhluk halus, termasuk roh leluhur dan tuhan sang pencipta alam. Walaupun alam kehidupan manusia berada didunia nyata, keberadaannya tidak terpisah dari dunia gaib. Keseimbangan hubungan antara kedua alam beserta segala isinya itu harus selalu dijaga supaya selalu tercapai kehidupan yang teratur dan harmonis.
Tanah mempunyai ikatan dengan roh nenek moyang (leluhur) dan lebih dari itu, tanah merupakan bagian dari kekuasaannya. Menurut kepercayaan orang madura, roh nenek moyang datang pada setiap malam jumat untuk melihat keadaan rumah, tanah pekarangan, tanah tegalan. Roh itu datang tiga kali dalam satu malam, yaitu pada saat menjelang magrib, pukul satu, dan pukul tiga dinihari. Saat pergantian siang dan malam (sorop are atau para’ cumpet are) segala roh halus keluar, termasuk yang jahat. Oleh karena itu, anak-anak tidak boleh keluar rumah, terutama bagi giginya belum tanggal, karena dianggap sangat berbahaya. Melalui permohonan kepada roh nenek moyang diharapkan segala ganguan gaib itu dapat ditangkal. Untuk menyambut kedatangan roh leluhur mereka, dupa dibakar menjelang magrib, boleh dilakukan oleh orang laki-laki ataupun perempuan. Pembakaran dupa dapat dilakukan dihalaman rumah (taneam) dan didalam rumah, yang penting asap pembakaran dupa itu merata di seluruh bagian tersebut. Didalam rumah pembakaran dupa dilakukan di salah satu tiang (sesaka) yang terletak ditimur laut (mordhaja). Biasanya, diatasnya diletakkan pusaka atau kitab suci Al-Qur’an.
Hubungan tanah dengan roh leluhur juga terlihat dalam kebiasaan orang madura mengubur jenazah. Setiap keluarga luas (extended family) pada umumnya memiliki kuburan keluarga sendiri. Kuburan itu biasanya, terletak pada bagian timur tanah pekarangan atau ditanah tegalnya. Menurut cerita masyarakat, pada zaman dahulu biasanya orang menguburkan jenazah di dalam rumah. Kemudian, dalam perkembangannya jenazah dikubur di pekarangan dan, sekarang pada umumnya dibagian dari tanah tegalnya. Namun, semua itu tidak menutup kemungkinan untuk mengubur orang yang telah meninggal di tanah kuuran orang lain, tentunya setelah memohon izin kepada pemilik tanah.
Karena hubungan tanah dengan roh leluhur yang begitu erat, penjualan tanah pada dasarnya dianggap sama halnya dengan menjual roh leluhur. Oleh sebab itu, pantang bagi mereka untuk menjual tanah pekarangan maupun tanah tegalan kepada orang luar (bukan saudara). Selain malu terhadap tetangga, penjualan tanah tersebut dapat mengakibatkan ecapok tola atau kenning tola (tidak selamat atau sial). Jika salah seorang anggota keluarga ingin menjual tanahnya, sebagai pembeli biasanya adalah salah seorang anggota keluarga batihnya. Seandainya tidak ada, saudara sepupu atau dua sepupu juga boleh, yang penting pembeli tersebut masih ada hubungan darah. Di dalam melakukan transaksi tidak menggunakan istilah membeli tetapi mengganti. Semua itu untuk menetralisasi keadaan, baik terhadap tetangga maupun yang lebih penting terhadap nenek moyang. Aturan penjualan tanah tegalan lebih lunak bila dibandingkan dengan tanah pekarangan. Hal itu dikarenakan, tanah pekarangan dipandang mempunyai ikatan hubungan emosional yang lebih kuat, mengingat ditempat itu didirikan rumah sebagai tempat tinggal. Dengan demikian, secara rasional, adanya bagian kuburan pada tanah tegalan atau pekarangan akan mengakibatkan penjualan tanah, yang menurut adat, pantang untuk dilakukan. Mereka biasanya, menjual tanah untuk menambah biaya naik haji.
Hubungan antara tanah dan roh leluhur tampak pada upacara ritual pembuatan sumur. Perlengkapan yang diperlukan untuk upacara tersebut adalah tajin (bubur) tiga warna, yaitu putih, hijau, dan hitam, serta air kopi dan dupa. Tajin putih melambangkan kesucian niat orang yang membuat sumur, tajin hijau adalah lambing wana air itu ditujukan kepada Nabi Qidlir (juga Khidlir atau Khaidir) sebagai penguasa air, dan tajin warna hitam diartikan sebagai penolak bala. Adapun air kopi dan dupa dipersembahkan kepada roh nenek moyang yang menjaga tanah yang akan digali agar mendapat perlindungan.
Hubungan antara tanah dan leluhur tampak lagi dalam upacara pembuatan rumah. Sebelum pondasi dipasang, sebuah upacara selamatan diselenggarakan yang dipimpin oleh seorang kiai atau pemika agama. Selamatan diikuti oleh para tukang beserta tetangga yang turut membantu bekerja. Doa yang diucapkan kiai selaku pemimpin upacara ditujukan kepada tuhan, Nabi Muhammad, dan para leluhur mereka agar mendapatkan berkah dan tidak mendapatkan kangguan apa pun terhadap rumah yang sedang dibangun.
3, Tanah danKekerabatan
Sistem kekerabatan yang berlaku pada setiap kelompok etnis (suku bangsa) menunjukkan sebagai variasi, yang mengambarkan bagaimana bentuk jalinan hubungan sosial yang lebih luas. Hal itu, dikarenakan, kerabat merupakan kerangka dasar terbentuknya ikatan sosial yang paling primer, yakni mulai dari keturunan, ikatan perkawinan, system pewarisan, sampai system religi yang diterapkan berdasarkan ikatan kerabat.
Sistem kekerabatan orang madura menganut garis keturunan bapak. Pola hubungan kekerabatan ini dapat dilihat dari prinsip-prinsip keturunan yang dianut baik secara vertical maupun horizontal. Namun, jika dilihat dari system pewarisan, terutama yang berupa tanah pekarangan dan rumah, terjadi ketidakkonsistenan. Berdasarkan adat yang berlaku, yang berhak mendapatkan rumah dan tanah pekarangan adalah anak perempuan. Itu berarti, pola pemukiman berdasarkan adat madura adalah matrilokal genealogis. Hal itu tampak pada pola pemukiman ideal yang berlaku di madura, yang disebut tanean lanjang (berarti ‘halaman panjang’). Jadi, yang dimaksud pola pemukiman tanean lajang adalah susunan rumah berjajar dari barat ke timur sesuai dengan jumlah anak perempuannya dan didepan rumah tersebut terdapat halaman memanjang yang dijadikan tempat untuk kegiatan bersama. Adapun, dibagian ujung paling barat terdapat surau, yang tidak hanya berfungsi sebagai tempat bersembahyang, tetapi juga dijadikan tempat berkumpul bersama atau untuk menerima tamu yang belum dikenal.
Pola pemukiman yang berupa tanean lajang menunjukkan adanya hubungan yang erat antara tanah dan kekerabatan. Bukan sembarangan orang yang tinggal didalam tanean lajang. Penghuni tanean lajang adalah anak-anak perempuan dari sebuah keluarga inti bersama suami dan anak-anaknya. Pola permukiman semacam itu masih tampak jelas di madura, terutama didaerah pedesaan, walaupun tidak seratus persen sesuai dengan pola berjajar ideal sebagaimana digambarkan dalam permukiman tanean lajang (Wiyata, 1989). Yang jelas, pengelompokkan rumah tangga yang membentuk keluarga luas masih tampak sekali. Sebagai contoh, letak rumah tidak beraturan sejajar, tetapi ada yang berhadap-hadapan karena pekarangannya tidak lagi memanjang.
Pola pemukiman tanean lajang yang masih itu memberikan gambaran bahwa system pewarisan tanah dimadura masih sesuai dengan aturan adat yang berlaku. Dalam pembagian warisan menurut adat madura memang terdapat perbedaan antara anak laki-laki dengan anak perempuan. Sesuai dengan adat menetap setelah kawin yang matrilokal, seorang suami mengikuti istrinya dan keluar dari keluarga batihnya sendiri. Oleh karena itu, hanya anak perempuan yang memperoleh bagian dari tanah pekarangan. Kemudian, karena anak perempuan itu nantinya juga akan menerima suami dari luar setelah ia kawin, maka konsekuensinya ia juga harus menyediakan rumah untuk tempat tinggal suaminya. Pola pemukiman seperti itu menunjukkan bahwa ikatan hubungan kekerabatan dimadura lebih kuat pada kaum perempuan.
Sistem pembagian warisan yang berupa tanah pekarangan secara sepintas tidak seimbang, karena anak laki-laki tidak memperoleh bagian dan harus keluar dari keluarga batihnya setelah ia menikah. Keadaan itu, ternyata, berpengaruh terhadap sikap dan perilaku anak laki-laki di madura pada usia menjelang akhil baliq. Mereka tidak betah tinggal di rumah dan lebih cenderung bergabung dengan anak laki-laki lain yang sebaya kalau tidak mondok di pesantren. Keadaan itu, hamper sama dengan yang terjadi pada masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat.
Cara pembagian warisan tanah telagan tidak sama dengan tanah pekarangan. Dalam pembagian tanah telagan antara anak laki-laki dan perempuan mempunyai bagian yang sama. Hubungan kekerabatan yang terbentuk ikatan pewaris yang berupa tanah tegal itu, tampaknya, tidak sekuat ikatan pewaris tanah pekarangan. Apa lagi jika tanah tegal yang diwariskan itu letaknya jauh dari tempat tinggalnya, maka pengaruhnya terhadap ikatan kekerabatan juga bertambah lemah.
Dalam membagi warisan kepada anak-anaknya, baik yang berupa tanah pekarangan maupun tanah tegalan, tempak orang tua cukup kompromis. Maksudnya, walaupun pembagiannya tidak seratus persen sama, anak-anak tetap menerimanya jika hal itu sudah menjadi kehendak orang tua. Mereka pantang sekali berselisih gara-gara masalah tanah warisan dan, cekcok semacam itu, membuat mereka malu terhadap tetangga. Sikap kompromis ini, dipengaruhi beberapa hal, yaitu pertama, mungkin, ada kaitannya dengan masih tebalnya mitos masyarakat bahwa tanah adalah sama dengan nenek moyang (leluhur). Sementara itu, roh nenek moyang sendiri dianggap selalu mengawasi keadaan rumah dan ranah. Kedua, karena besarnya wibawa orang tua terhadap anak-anaknya, dan sebaliknya, besarnya sikap hormat terhadap orang tua karena besarnya tanggung jawab dalam membina anak, mulai membesarkan, sampai mencarikan jodoh, dan bahkan, sampai dapat hidup mandiri, masih menjadi tanggung jawabnya. Dengan demikian, ada perasaan takut dan segan anak terhadap orang tua, bahkan orang tua pula pihak yang kali pertama harus dihormati dalam falsafah buppa’-bhabhu’, ghuru, rato (lihat subbab A bab 3).
Persoalan keluarga akan muncul jika secara kebetulan sebuah rumah tangga tidak memiliki anak perempuan. Jika demikian, pembagian warisan, baik yang berupa tanah pekarangan maupun tanah tegalan, dibagi rata sesuai jumlah anaknya. Jika menerapkan system matrilokal secara konsekuen, akibatnya rumah induk akan kosong karena semua anak-anaknya mengikuti istri masing-masing. Dalam hal ini, biasanya, orang tua menghendaki salah satu anaknya tinggal bersamanya. Mengenai siapa yang harus tinggal bersama orang tua memang tidak ada ketentuan. Pada dasarnya, semua itu, dipertimbangkan beberapa hal menurut ketentuan. Pada dasarnya, semua itu, dipertimbangkan menurut beberapa hal, antara lain siata yang paling dicocoki, keluarga istri dari anak yang mana yang sekiranya dianggap kurang mampu sehingga tidak dapat disediakan fasilitas rumah seperti diharapkan, dan yang lebih penting lagi siapa yang sanggup merawat orangtuanya nantinya. Caranya dimusawarahkan sedemikian rupa sehinghga ditemukan pilihan yang terbaik. Yang penting, rumah induk itu tidak boleh dikosongkan dan harus ada yang menempati. Mengosongkan rumah induk dianggap menelontarkan roh leluhur penjaga rumah dan tanah.
Secara umum, tanah merupakan pengikat utama hubungan kekerabatan. Tanah pekarangan (tanean) berdiri beberapa rumah tinggal keluarga matrilokal yang berfungsi sebgai pengikat hubungan kerumahtanggaan. Dalam kehidupan sehari-hari, kebersamaan antar rumah tangga tampak sekali, mulai dari bercakap-cakap, masak-memasak, sampai membicarakan masalah keluarga dari masing-masing rumah tangga. Lain halnya dengan tanah tegalan. Sesuai dengan fungsinya, tanah tegalan mempunyai kekuatan mengikat dalam budaya pertanianh, terutama kebersamaan dalam bekerja mengolah tanah yang pada umumnya dikerjakan secara bergotong royong.. bentuk ikatan gotong royong, biasanya, berdasarkan kepemilikan tanah yang berdekatan. Para pemilik tanah yang berdekatan itu, biasanya masih satu keluarga sataretan (saudara kandung), hasil dari pembagian warisan (sangkolan).
Fenomena diatas dapat diartikan bahwa tanah pekarangan mempunyai ikatan yang lebih kuat dan mempunyai pengaruh hubungan keluarga lebih intensif jika dibandingkan dengan tanah tegalan yang hanya sebatas hubungan kerja. Perdesaan yang lain, tanah pekarangan mengikat hubungan keluarga matrilokal, sedangkan tanah tegalan lebih luas lagi, yakni termasuk juga keluarga dari saudara laki-laki.
Oleh karena tanah mempunyai daya pengikat hubungan keluarga yang kuat, maka ada pantanganb bagi masyarakat untuk menjual tanah dengan dibumbui mitos-mitos yang berupa resiko yang dapat berakibat fatal bagi yang melanggarnya. Terutama yang berupa tanah pekarangan karena telah membentuk kelompok primodial keluarga dalam tanean lajang, jelas sangat tertutup untuk dimasuki oleh orang dari luar keluarga luasnya.
SERI PENDIDIKAN MULTIKULTURALISME
TOPIK 5 : MENGENAL PULAU MADURA
Dari sudut pandang latar belakang etnis, komposisi demografis penduduk dimadura menunjukkan dominasi suku madura. Namun, kelompok penduduk non madura dapat dijumpai pula, sekalipun secara kuantitatif merupakan minoritas. Pengamatan secara langsung membenarkan realitas itu, meskipun sacara absolute tidak dapat dipastikan jumlahnya karena data sensus penduduk pada periode pascakolonial cenderung meniadakan informasi penduduk berdasarkan latar belakang etnisitas. Disamping kelompok suku madura secara mayoritas, dimadura juga dijumpai penduduk dengan identitas etnis Jawa, Mandar, Bugis, Melayu, Cina, dan kelompok minoritas Eropa juga ditemui keberadaannya.
Keberadaan kelompok masyarakat non-madura justru lebih mudah diketahui pada periode colonial, karena data sensus penduduk menurut asal-usul etnis. Pada tahun 1900, jumlah keseluruhan penduduk madura mencapai 1.758.000 jiwa, dengan tiga kelompok minoritas utama, yakni penduduk Eropa (747 jiwa), Cina (4.381 jiwa), Arab (1.774 jiwa), dan lainnya (111 jiwa). Tiga puluh tahun kemudian, penduduk Eropa menjadi berjumlah 1.051 jiwa dan Cina berjumlah 5.029 jiwa, sedangkan data untuk orang Arab tidak diketahui (Kuntowijoyo, 1980:82). Angka itu menunjukkan bahwa, secara kuantitatif, penduduk non-madura memang merupakan minoritas. Kelompok minoritas terbesar adalah Cina, disusul kelompok Arab pada urutan kedua.
Pada tahun 1930, Residen madura, W.H. Ockers (dalam kartodirdjo, 1978:CLXX), melaporkan bahwa orang bugis dan madura bermukim terutama di madura kepulauan, seperti Kangean, Selambu, dan Bawean. Ockers juga menyebutkan adanya pusat pemukiman orang Kambang dari Sulawesi di Pulau Sapekan. Laporan bupati sumenep pada tahun 1950 juga menyebutkan keberadaan komunitas Bugis di pulau Masalembu (Djawatan Penerangan, 1951:33). Lebih lanjut, kajian Vredenbregt (1990:15) memperlihatkan keberadaan kelompok orang Palembang di pulau Bawean. Seperti umumnya ditemui pada masa sekarang, pada masa lalu orang Cina dan Arab bertempat tinggal diwilayah perkotaan. Komunitas-komunitas non-madura itu dikepalai oleh orang Arab, sedangkan orang Cina dikepalai oleh wijkmeester. Puluhan orang India juga bermukim di Sumenep (Memori Residen Madura F.B. Batten, dalam Kartodirdjo, et al, ed, 1978: CXXXVIII).
Tidak ada data yang secara khusus menunjukkan bagaimana pertumbuhan masing-masing kelompok etnis yang bermukim di madura pada era kemerdekaan. Akan tetapi, secara umum, diketahui bahwa jumlah penduduk madura terus bertambah dalam perjalanan waktu. Menurut kalkulasi Kuntowijoyo (1980:79), berdasarkan data penduduk 1850-1930, pertumbuhan penduduk madura rata-rata mencapai 2,7 persen pertahun, sedangkan tingkat pertumbuhan untuk Jiwa secara umum hanya sebesar 1,9 persen pertahun. Namun, pada periode pendudukan jepang dan Perang kemerdekaan, penduduk madura mengalami pertumbuhan negative. Dalam periode 1941-1950 jumlah penduduk madura berkurang sekitar 400.000 jiwa, sedangkan penduduk jawa bertambah sebesar 2 juta jiwa (De Jogle, 1989:22).
Memasuki periode kemerdekaan, pertumbuhan penduduk madura dilampui oleh tingkat pertumbuhan penduduk di jawa timur. Dalam periode 1980-2000, penduduk madura bertambah dari 2.687.000 jiwa menjadi 3.118.000 jiwa. Dalam periode 20 tahun, rata-rata tingkat pertumbuhan penduduk madura mencapai 0,83% pertahun tahun (jawa timur dalam angka 2000, 2001:51; Niehof, 1985: 26).
Menurut dikotomi wilayah desa-kota, tingkat pertumbuhan penduduk di madura tidaklah bersifat seragam. Menurut Kuntowijoyo (1993:62) atas dasar pengamatan di kabupaten Bangkalan, pertumbuhan penduduk diwilayah pedesaan madura lebih lambat daripada wilayah perkotaan. Penjelasan terhadap fenomena tersebut adalah daya dukung ekonomi wilayah pedesaan yang lebih kecil karena katergantungan kepada sector agraris yang sudah mencapai titik jenuh dibandingkan dengan perkotaan yang masih mungkin menyandarkan aktivitasnya pada sector non-pertanian, khususnya sector perdagangan. Dengan kata lain, wilayah perkotaan dimadura, sekalipun dari arti yang terbatas, masih dapat memberikan dukungan ekonomis lebih besar daripada wilayah pedesaan, termasuk dengan melakukan urbanisasi.
2. Kepadatan
Jika dilihat dari sidut kepadatan penduduk (population density), pda tahun 2000 tingkat kepadatan penduduk madura mencapai 588 jiwa/ km2. selama periode 1995-2000, secara konsisten, kabupaten pamekasan menempati urutan tertinggi dari segi tingkat kapadatan penduduk, yakni sebesar 804 jiwa/km2 pada tahun 1995 dan 851 jiwa/km2 pada tahun 2000. secara konsisten pula, urutan kadua ditempati kabupaten bangkalan, disusul kabupaten Sampang, dan kabupaten Sumenep pada urutan berikutnya. (lihat Tabel 2.3).
Kepadatan penduduk madura menurut kabupaten 1995 dan 2000
Kabupaten 1995 2000
Bangkalan 573 605
Sampang 572 580
Pamekasan 804 851
Sumenep 463 483
Total Madura 564 588
Jawa Timur 703 732
Sumber: jawa dalam angka 2000 (Surabaya: BPS Provinsi Jawa TImur, 2001), hlm. 45.
Tingkat kepadatan penduduk madura tampak tidak selalu parallel dengan besar jumlah penduduk. Hal itu, tentu saja, juga tergantung pada luas territorial masing-masing kabupaten. Kabupaten Pamekasan, yang secara absolute mempunyai jumlah penduduk terendah, ternyata memmpunyai tingkat kepadatan yang tinggi. Sebaliknya, kabupaten Sumenep mempunyai tingkat kepadatan terendah, sekalipun jumlah penduduknya terbesar di antara semua kabupaten di madura.
Di daerah lairan sungai yang mungkin praktik budidaya pertanian pada musim penghujan merupakan daerah yang paling padat penduduk. Di daerah inilah pada masa lalu berdiri pusat-pusat kekuasaan (keraton) yang kemudian pada era kemerdekaan berkembang menjadi berapa ibu kota kabupaten di madura. Hanya daerah semacam itulah yang berpeluang besar mampu menyangga kepadatan penduduk yang tinggi dan memungkinkan berkembangnya kelompok-kelompok masyarakat dengan aktivitas ekonomi non-agraris (De Jogle, 1989). Contoh yang dapat disebut disini adalah Bangkalan dan Arosbaya di kabupaten Bangkalan, Pamekasan dan Bundar di kabupaten Pamekasan, serta Sumenep di Kangean di kabupaten Sumenep.
Kepadatan penduduk yang tinggi juga terdapat didaerah pesisir pantai selatan. Produksi pertanian didaerah ini adalah ketela dan jagung dan, sebenarnya, dibandingkan dengan padi tidak banyak mendukung terjadinya konsentrasi penduduk dalam jumlah besar. Kepadatan kawasan sepanjang pantai selatan hanya dimungkinkan berkat berkembangnya aktivitas penangkapan ikan dan perdagangan yang terjalin dengan kota-kota lain di pantai utara jawa. Tjiptoatmodjo (1989), secara komprehensif, telah menggambarkan ramainya aktivitas perdagangan dikota-kota selat madura hingga pertengahan abad ke-19. sumber tradisional,Babad Sumenep, juga menyebutkan adanya aktivitas pedagang dari jawa di kota-kota madura (Werdisastra, 1996:22).
Berkebalikan dengan kawasan sepanjang pantai selatan, disepanjang kawasan pantai utara madura tingkat kepadatan penduduk lebih rendah. Menurut De Jogle (1989:19), hal itu tidak terlepas dari ketergantungan yang lebih besar dapa aktivitas pokok penangkapan ikan. Kondisi perairan yang bergelombang besar dan teknologi pelayaran yang sederhana rupanya tidak memungkinkan mereka melakukan penangkapan ikan ditempat-tempat yang jauh dari laut jawa. Penangkapan ikan pun hanya dilakukam di musim timur. Kalaupun di masa lalu aktivitas perdagangan juga telah terjalin dengan beberapa kota pantai di jawa. Sulawesi, dan Kalimantan, intensitasnya lebih kecil dan bahkan semakin berkurang pada era kemerdekaan.
Tingkat kepadatan penduduk paling rendah ditemukan di daerah-daerah yang lebih tinggi dengan kondisi alam yang sebagian besar tersusun atas bantuan karang (De jonge,1989:19). Sekalipun kegiatan pertanian tetap di lakukan di kawasan itu, hasilnya jelas tidaklah memadai karena lahan yang tersedia sangat terbatas dan produkvitas lahan pun jauh lebih rendah dibandingkan dengan kawasan madura lainya yang mempunyai sistem irigasi relative lebih baik,khususnya pada musim penghujan.
Secara umum,dibandingkan dengan jawa dan daerah di Indonesia,pulau madura termaksud kategori daerah padat penduduk (density populated region). Bahkan, pada massa kolonial belanda,pulau ini,mempunyai tingkat kepadatan penduduk jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat kepadatan penduduk di jawa pada umumnya. Pada tahun 1815,misalnya,kepadatan penduduk madura adalah 41,2 jiwa per km 2 ,sedangkan kepadatan penduduk di jawa baru mencapai 33,9 jiwa per km 2.dalam priode 1867-1940, kepadatan penduduk madura selalu lebih tinggi di bandingkan dengan jawa.pada tahun 1940,kepadatan penduduk madura meningkat menjadi 414,8 jiwa km 2, sedangkan kepadatan penduduk di jawa hanya 357,2 jiwa per km 2,(De jonge,1989:21).
Pada periode kemerdekaan,kepadatan penduduk di jawa terus berada di atas angka kepadatan penduduk madura yang turun drastis pada priode pendudukan jepang.pada tahun 1955,angka kepadatan penduduk madura berkurang, yaitu 328 jiwa per km 2,sedangkan kepadatan penduduk di jawa secara keseluruhan mencapai 409 jiwa per km 2.pada tahun yang sama,tingkat kepadatan penduduk untuk jawa timur adalah 394 jiwa per km 2 (Reksohadiprodjo dan Hadisapoetro, 1986:319). Meskipun kepadatan penduduk di mdura terus bertambah, dalam kenyataanya,laju pertumbuhan kepadatan penduduk tetap lebih lambat.pada tahun 1971,angka kepadatan di madura adalah 458 jiwa per km 2,sedangkan untuk jawa besar 561 jiwa per km 2 (De jonge,1989:21).sementara itu,pada tahun 2000,kepadatan penduduk madura mencapai 588 jiwa per km 2,sedangkan angka kepadatan untuk jawa timur sebesar 732 jiwa per km 2.
Secara absolute,tingkat kepadatan penduduk madura memang lebih rendah,tetapi terkanan sosial ekonomi penduduk di madura jauh lebih besar5. tetapi hal itu terkait dengan fakta bahwa daya dukung alam madura lebih rendah daripada jawa karena kondisi alamnya yang gersang dan tandus tidak dapat diingkari,produktivitasi lahan pertanian di madura lebih kecil dari pada tingkat produktivitasi lahan pertanian di jawa,seperti tampak jelas, misalnya dalam produksi padi per kapita.sebagai ilustrasi, misalnya,pada priode 1950-1955 di ketahui bahwa produksi besar per kapita di madura rata-rata hanya 39,86 kg per tahun,sedangkan untuk jawa timur saja mencapai 143,14 kg (Reksohadiprodijo dan Hadisapoetro,1986:324). Keadan alam yang gersang dan tandus merupakan penyabab utama rendah tingkat kehidupan sosial-ekonomi masyarakat madura (Wiyata,2002:35).
Rendah tingkat kehidupan sosial-ekonomi tercemin pula dari tingkat pendidikan yang dapat di nikmati masyarakat madura. Dapat di tingkatkan bahwa sampai saat ini tingkat pendidikan di kalangan masyarakat madura masih rendah.berdasarkan data sensus tahun 1971 di ketahui bahwa proporsi jumlah penduduki yang buta hurup (tidak dapat menulis dan membaca)di kalangan masyarakat madura mencapai persentase sangat tinggi,yaakni 68% dengan rincian:69.3% di Bangkala,72,1% di sampang,64,4%di pamekasan,dan 66,5% di sumenep (Niehof,1985>32).berbagai upaya yang telah di tempuh selama priode Orde Baru untuk memajukan pendidikan di madura masih perlu di tingkatkan karena, ternyata,jumlah penduduk yang buta hurup masih tinggi.pada tahun 1995, di kabupaten sampang misalnya,proporsi jumlah penduduk buta hurup masih sangat tinggi, yakni sekitar 53%,lebih besar dibandingkan jumlah penduduk yang bisa baca-tulis (47%) (Suyanto,et al., 1997:21).
Memang benar bahwa pada massa kemerdekaan tingkat kesejahteraan masyarakat madura terus msngalami peningkatan, seperti di tunjukan oleh peningkatan pendapatan per kapita kurang lebih sepuluh kali lipat antara tahun 1970 dan 1990. Namun, secara umum, tingkat pendapatan per kapita penduduk madura kurang dari sepertiga rata-rata pendapatan per kapita penduduk indoinesia (De jonge,1989:43; De jonge,1990:21). Beratnya tekanan kehidupan sosial-ekonomi merupakan faktor pendorong (push factor) yang menggerakkan orang madura melakukan migrasi ke tempat lain di luar madura dan, permasalahan ini, akan di paparkan secara lebih mendalam dalam bagian berikut ini.
C. Madura dalam perubahan zaman
Dalam rentangan sejarah jangka panjang, tidak duragukan bahwa madura dan masyarakatnya mengalami berbagai dinamika, baik politik, ekonomi, sosial maupun budaya. Masyarakat madura yang sekarang adalah masyarakat hasil teransformasi yang telah berlangsung selama berabad-abad. Dalam prose situ dapat disaksikan bukan hanya serangkaian perubahan, melainkan juga sejumlah kesinambungan sejarah masih dapat ditemukan. Dalam konteks ini, cukup releven menengok pemikiran sejarawan besar aliranAnnales, Braudel, yang membedakan sejarah dalam tiga lapisan, yakni lapisan panjang (longe duree, struktur, geografi), lapisan menengah (moyenneduree, kunjunktur, ekonomi), dan lapisan pendek (counte duree, peristiwa, politik) (Braudel, 1972-1973; Ankersmit, 1987:281-283).
Bertolak dari pemikiran Braudel tersebut, mulai dengan lapisan ketiga, counte duree, yang terkait dengan dimensi politik, tampak bahwa madura menampilkan irama perubahan cepat. Hal itu, jelas jika menilik perkembangan sejarah madura mulai dari era prakolonial yang diwarnai dengan perebutan hegemoni antara berbagai pusat kekuasaan local madura, aliansi, dan resistensi terhadap penetrasi terhadap kekuasaan luar, khususnya yang berpusat dijawa dan bali, integrasi dalam kekuasaan colonial belanda, pendudukan jepang, pembentukkan Negara madura, hingga integrasi ke dalam Negara kesatuan republic Indonesia.
Dalam periode kerajaan-kerajaan Nusantara, madura berurut-turut dibawah kekuasaan Kediri, Singosari, Majapahit, Demak, dan mataram (Rifai, 1993:7-40). Penguasaan oleh kerajaan-kerajaan tersebut terntu saja mempunyai pengaruh bagi madura, adapun pengaruh yang paling terasa hungga saat ini adalah yang ditinggalkan oleh kerajaan Mataram. Di bawah kekuasaan mataram, pengaruh budaya jawa semakin mengakar, terutama dengan ditempatkannya panglima pasukan jawa, Tumenggung Anggadipa sebagai penguasa di sumenep dan penerimaan rakyat semenep terhadap kepemmpinannya (Riafi, 1993:52).
Perbedaan antara masyarakat madura barat dan madura timur yang masih dikenali hingga dewasa ini sampai tingkat tertentu merupakan konsekuensi dari dinammika politik di madura pada masa lampau. Dari sudut pandang jarak geografis, agak mengherankan bahwa madura timur yang relative lebih jauh dari pusat-pusat politik dijawa, khususnya kerajaan mataram, justru lebih banyak mendapat pengaruh budaya jawa. Hal itu, tampak jelas jika dilihat dari sudut pandang linguistic. Masyarakat madura timur mengenal adanya tingkatan bahasa (kasar-halus), mirip seperti pola yang berlaku dalam bahasa jawa. Sebaliknya, dimadura barat cemacam itu tidak banyak ditemukan karena bahasa yang digunakan dalam masyarakat madura barat ternyata masih egaliter, yang agaknya mengesankan bahwa masuarakat madura barat lebih kuat mencerminkan budaya rakyat madura kebanyakan. Bahkan, sampai paruh kedua abad ke-19, nama madura memang hanya merujuk pada bagian barat pulau tersebut, yang sekarang merupakan kabupaten Bangkalan dan sampang (Niehof, 1985:23; De Jogle, 1990:3).
Penetrasi kekuasaan belanda ke madura diawalai oleh permintaan bantuan dari penguasa sumenep untuk membebaskan diri dari kekuasaan Mataram. VOC yang menjadi embrio pemerintah kolonoal belanda memandang madura penting semata-mata dengan pertimbangan keamanan aktivitas perdagangan yang mereka lakukan, padipada ketertarikkan pada potensi ekonomi yang dimiliki madura (Rifai, 1993:41). Keberhasilan VOC memadamkan pemberontakan Ke Lesap yang berlangsung beberapa decade berikutnya semakin memperkuat kedudukan belanda di madura. Di bawah kekuasaan VOC, pengelolaan madura barat dan timur dilakukan dengan cara berbeda. Pemekasan dan Sumenep (madura timur) dikelola sebagai daerah swapraja sehingga pengangkatan bupati dilakukan melalui pendatanganan kontrak ikatan politik. Sebaliknya, madura barat diperlakukandengan pendatanganan janji syarat (Rifai, 1993:46).
Namun, pada paruh ekdua abad ke-19, pemerintah kolonial belanda berangsur-angsur menghapus swapraja di madura, dengan diwakili dari Pemekasan (1858). Pengelola wilayah madura secara langsung ditangani sendiri oleh pemerintah colonial hindia belanda sehingga akhir kekuasaannya dengan membentuk madura sebagai daerah keresidenan (Abdurrachman, 1971:57). Dalam mengelola wilayah, residen madura dibantu oelh beberapa orang asisten residen yang wilayah kerjanya tumpang-tindih dengan daerah kekuasaan bupati. Konsekuensi reformasi administratif tersebut adalah menguatkan hak-hak ekonomi belanda di satu sisi dan hilangnya privilege yang sebelumnya memiliki kaum ningrat madura, misalnya menyangkut penarikan pajak, upeti, percaton, dan pancen (Kuntowijoyo, 1993:89-94).
Bagi masyarakat kebanyakan,reorganisasi admistrasi pemerintahan madura dinilai membawa banyak dampak positif. Penghapusan kerajaan mengurangi konflik antar penguasa lokal madura sehingga kesengsaraan rakyat berkurang. Rakyat biasa tidak segan membuka lahan pertanian baru karena tidak ada kekuatiran bahwa lahan yang dibuka dengan susah payah akan diklaim oleh raja seperti masa sebelumnya (Rifai, 1993:59). Dengan kata lain, dibawah pemerintahan langsung, hak milik individual atas tanah yang mereka peroleh, baik lewat hak waris tertentu maupun hak yasan, diakui dan dikodifikasikan menurut hukum barat sehingga lebih terjamin. Disamping itu, secara langsung, rakyat biasa akan merasakan beban mereka menjadi lebih ringan berkat digantikannya pajak tanah dan pajak rumah tangga oleh iuran baru yang lebih ringan, termasuk penghapusan kerja wajib (pancen) yang dahulu diberikan para keluarga bangsawan (De Jogle, 1990:12-13).
Dalam lapisan sejarah madura jangka menengah (menyangkut dimensi ekonomi), irama perubahan berlangsung lebih lambat. Pandangan demikian, setidak-setidaknya, menemukan pembenaran dalam gambaran umum mengenai masyarakat madura bahwa karakteristik masyarakat agraris masih tetap melekat. Meskipun dalam proporsi yang berubah, kenyataannya masyarakat penduduk madura masih menguntungkan kehidupannya, baik secara keseluruhan maupun sebagian besar, pada sector pertanian (De Jogle, 1998b). masih dominannya sifat agraris seakan mengilustrasikan betapa lama rentang waktu yang panjang masyarakat madura tidak banyak mengalami perkembangan yang signifikan. Bahasa Kuntowijoyo (1993:62), “madura sekarang ini masih merupakan daerah masa lalu”.
Data sensus tahun 1971 menggungkapkan sekitar 80% dari total angkatan kerja dimadura, sebesar 911.000, mengeluti sector agraris (termasuk nelayan) untuk menopang kehidupannya. Persentase tertinggi terdapat dikabupaten Pamekasan, yakni 88,2%, sehingga diketiga kabupeten lainnya masing-masing: Sampang (77,4%), Sumenep (78,2%), dan Bangkalan (76,9%) (Niehof, 1985:19).Data struktur penduduk menurut mata pencaharian di madura tahun 1992 menyebutkan bahwa 64% penduduk berkerja di sector pertanian,di susul kelompok penduduk dengan mata pencaharian di sector perdagangan sebesar 11%,dan industri kurang lebih 9% (jawa timur membangun,1993). Secara lebih mendetail,sekitar 60% penduduk pamekasan adalah petani dan buruh tani,sedangkan di kabupaten sampang,211.000 orang (sekitar 85%) dari 261.000 orang jumlah angkatan kerja bermata pencaharian sebagai petani (tim LIPI,1995:17).
Sebagai perbandingan,pada akhir abad ke-19 residen madura,luplink weddik,mencatat bahwa sector pertanian merupakan tulang pungung kehidupan mayoritas masyarakat madura (niehof,1985:28).
Dalam kegiatan pertanian,tanah merupakan factor penting karena menjadi pondasi bagi berlangsungnya kegiatan ekonomi tersebut. Perubahan yang terjadi menyangkut persediaan dan cara lahan pertanian digunakan merupakan petunjuk penting mengenai arah perkembangan sector pertanian. Data statistic mengenai areal tanah pertanian madura paling tua yang berhasil di peroleh adalah sejak tahun 1886. untuk periode sebelumnya, data tidak tersedia. Namun ,secara umum,dapat di duga bahwa areal tanah pertanian pada priode sebelumnya cendrung meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk. Berdasarkan pada data yang tersedia, dapat di tampilkan secara kronologis perkembangan lahan pertanian di madura pada era colonial.
Berbeda dengan jawa, yang pertanianya secara dominant di lakukan pada lahan sawah pertanian madura sebagian besar dilakukan pada lahan tegalan. Dominasi tegalan dalam pertanian boleh di katakana belum beriubah. Meskipun selama priode pemerintahan orde baru dengan di lancarkan kebijakan pertanian yang popular dengan sebutan revolusi hijau di antaranya melalui pembangunan sistem irigasi lahan sawah dengan irigasi teknis di madura tetap sama saja,sempit, dan terbatas. Program revolusi hijau dengan target peningkatan produksi beras ternyata tidak membawa pengaruh besar terhadap sector pertanian madura,khususnya dalam hal produksi padi. Hal itu,di sebabkan program tersebut lebih di rancang untuk menerapkan di daerah-daerah dengan sector pertanian sawah dari pada ekosistem yang lain. Seperti di kemukakan Palte (1989:12). Terdapat bias sawah dalam kebijakan pemertitah orde baru di sector partanian. Dengan demikian,program tersebut kurang cocok, baik bagi pertanian di daerah dataran tinggi maupun di daerah dengan karaktistik fisik berupa ekologi tegalan, seperti madura.
Mengacu pada pikiran Braudel mengenai sejarah lapisan jangka panjang, secara structural,madura tidak banyak berubah. Ekologi tegalan masih mempengaruhi cara kegiatan-kegiatan ekonomi di lakukan. Dengan dominanya lahan tegalan aktivitas pertanian padi hanya dapat dilakukan di areal tanah yang relatif terbatas. Kalaupun aktivitas penanaman padi di selengarakan,sebagian besar penanam hanya di lakukan setahun sekali,yakni saat musim penghujan.hal tersebut untuk menjamin tercukupinya kebutuhan irigasi dengan pertimbangan sangat terbatasnya persediaan air irigasi di daratan madura. Sehubungan dengan itu,tanaman pertanian yang lebih dominant dalam ekologi tegalan madura adalah jagung,tenaman yang tengkat kebutuhan irigasinya lebih kecil dari pada tanaman padi. Namun,selain jagung masih mdi jumpai pula berbegai jenis tanaman lainya,seperti ketela, kacang-kacangan, kedelai, umbi-umbian dan tembakau.
Lebih dominanya tanaman jagung di bandingkan dengan padi dalam pertanian di madura secara eksplisit tercemin dalam luas areal penanaman. Data statistic colonial untuk tahun 1920 menunjukan bahwa total penanaman padi hanya mencapai 81.100 hektar,sedangkan penanaman jagung mencapai 371.900 hektar. Pada tahun 1940,area pananaman padi,meningkat sedikit menjadi 86.300 hektar,sedangkan untuk penanaman jagung terjadi peningkatan lebih besar,yakni menjadi 309.700 hektar (boomgaard dan van zanden, 1990:96-97). Pada tahun 2000,luas panen padi di seluruh madura sebesar 120.000 hektar, sedangkan luas panen jagung mencapai 377.800 hektar (jawa timur dalam angka 2000,2001:140,144).
Akibatnya,meskipun mempunyai corak agraris,dalam segi pemenuhan kebutuhan pangan, madura sangat tergantung pada impor beras dari luar pulau. Kekurangan dalam persediaan kebutuhan bahan pangan,khususnya beras,harus di tutup mendatangkan dari daerah lain, baik dari jawa maupun bali,yang secara histories di kenal sebagai daerah lumbung padi,termasuk di antaranya adalah keresidenan besuki. Tidak mengherangkan,inpor beras bagi madura merupakan fenomena yang mencolok dan sudah berlangsung lama. Pada tahun 1866, dilaporkan bahwa pamekasan mendatangkan beras sebesar 41.119 pikul beras dan 98.178 pikul padi ( kuntowijoyo, 1980:98) dapat di duga bahwa kegiatan memasukan beras dan padi dari luar terus berlangsung sepanjang tahun karena penduduk madura juga terus bertambah. Besarnya infor berfluktuasi dengan di jadikanya bahan pengan non beras, utamanya jagung,sebagai salah satu bahan makanan pokok. Bagi masyarakat madura,konsumsi jagung sebagai bahan pangan pokok merupakan kebiasan yang mempunyai akar histories panjang dan sebagian bentuk adaptasi cultural dengan kondisi limgkungan fisik yang mereka hadapi di madura ( manggistan, 1986:99).
Bukti kualitatif juga banyak menggambarkan adanya impor beras dari luar ke madura. Sumber-sumber arsip colonial, khususnya memori residen madura, selalu menyebutkan adanya impor beras. Residen betten (dalam kartodirdjo, et al, ed., 1978:CXLI) pada tahun 1923 menulis bahwa madura setiap tahun harus mendatangka beras dari jawa. Demikian pula, kontrolir Sampang, Van Mourik (dalam Kartodirdjo, et la, ed., 1978:CLXXVI), pada tahun 1924 menyebutkan bahwa setiap tahun harus didatangkan bahan pangan beras dalam jumlah cukup besar. Residen madura pada era kemerdekaan, R. Soeharto Hadiwidjojo, pada tahun 1951 menyatakan bahwa produksi bahan pangan di madura hanya mencukupi untuk periode 7,8 bulan hingga kekurangannya harus dipecahkan dengan mendatangkan dari daerah lain (madura membangu, 1951:18).
Pada periode orde baru, ketergantungan terhadap beras yang didatangkan dari luar pulau tampaknya semakin bertabah besar, karena disamping jumlah penduduk terus meningkat, dikalangan masyarakat madura telah terjadi peralihan bahan makanan pokok secara signifikan dari jagung ke beras, bahkan di Bangkalan hal ini sangat dianjurkan (Bangkalan Ceria, 1993: 106). Kecenderungan yang sama juga berlangsung didaerah-daerah lain di Indonesia, sebagaimana ditengarai oleh Van Der Eng (Van der Eng, 1996:205; Subaharianto dan Nawiyanto, 2002:C). dengan semakin merosotnya ketahanan pangan seperti ditunukkan dengan pentingnya katan impor beras dewasa ini, serangkaian upaya ditepuh di madura untuk mendorong msyarakat madura menguangi ketergantungan pada bahan pangan beras dan menganjurkan mereka kembali mengkonsumsi bahan pangan jagung lebih banyak.
Komoditas pertanian di madura yang mempunyai arti paling penting secara komersial hanyalah tembakau. Posisi strategis tembakau bagi perekonomian masyarakat madura baru mulai terjadi terutama sejak decade pertama abad ke-20. perluasan budidaya tenaman tembakau tidak terpisahkan dari sepak terjang kaum migrant madura yang bekerja di perkebunan tembakau di jawa, khususnya di Besuki, sebagai salah satu dari tiga pusat perkeunan tembakau terpenting pada era Indonesia colonial, selain Deli Sumatera Utara dan Vortenlanden (Yogyakarta dan Surakarta). Pada saat kembali kemadura dari siklus migrant musiman, mereka mempraktikkan pengetahuan dan pengalaman yang didapat dalam penanaman tembakau pada lahan yang mereka miliki. Tanaman itu dibudidayakan pada lahan-lahan kering yang sebelumnya tidak pernah ditanami pada saat musim kemarau (De Jogle, 1990:15).
Perluasan tanaman tembakau di madura semata-mata merupakan bentuk usaha pertanian rakyat yang di9lakukan dalam skala kecil dan meibatkan banyak keluarga petani, daripada merupakan usaha dalam skala besar yang dikembangkan oleh para pengusaha swasta barat. Dari beberapa rintisan usaha perkebunan, madura dianggap tidak memberikan keuntungan secara memadai sehingga para pengusaha barat tidak tertarik melakukan investasi lebih lanjut. Rintisan usaha perkebunan yang dilakukan pun pada akhirnya ditinggalkan (Kuntodirdjo, 1980:59-6).
Produksi tembakau hanya sebagian kecil digunakan di madura, sebagian besar produksi tembakau di jual ke jawa sebagai tembakau rajangan atau tembakau kerosok (Memory Residen F.B. Batten, dalam Kartodirdjo, et la, ed. 1978:CXLI). Produk tembakau y7ang dihasilkan di madura sebagian dibeli oleh pabrik-pabrik rokok yang banyak berdiri diberbagai kota di jawa, sebagian lagi diekspor ke laur negeri (Memory Residen J.G. van Heyst, dalam Kartodirdjo, et la, ed. 1978:CXLVI). Meningkatnya persaingan dalam pasar tembakau membuat sebagian pengusaha pabrik terpaksa membeli bahan baku tembakau dari wilayah marginal yang harganya lebih murah. Factor inilah yang mempengaruhi penerimaan tembakaumadura yang dari segi kualitas sebenarnya jauh dibawah tembakau jawa (Vleming, 1925:167).
Sejak tahun 70-an, areal penanaman tembakau mengalami peningkatan secara signifikan dengan jangkauan pasar yang semakin luas dan melibatkan jaringan pedagang yang semakin banyak (De Jogle, 1990:21). Kekacauan yang berlangsung di daerah produsen tembakau di jawa sesudah proklamasi sebagai akibat kasus-kasus sengketa tanah antara perkebunan dan petani memungkinkan tembakau madura masuk ke pasar tembakau secara lebih cepat. Dalam decade berikutnya, areal penanaman terus menunjukkan kacenderungan kearah perluasan. Tembakau madura merupakan salah satu baku penting bagi industri rokok di Indonesia, khususnya rokok kretek (Hartodi, 1990:1). Meningkatnya permintaan bahan baku, seiring dengan ekspansi industri rokok pada era kemerdekaan memberikan rangsangan bagi petani madura untuk memperluas penanaman tembakau. Seperti tampat dalam tabel 2.6, areal penanaman tembakau meluas secara signifikan dari 19.400 hektar pada tahun 1975 menjadi 37.000 hektar pada tahun 2000.
Tabel 2.6 luas penanaman tembakau di madura
Tahun Area (Ha)
1900 2.593
1920 3.551
1935 5.507
1965 13.241
1975 19.402
1995 32.050
2000 37.079
Sumber: jawa timur dalam angka 2000.
Berdasarkan data luas area penanaman seperti tampak dalam tabel 1.6, daerah produksi tembakau yang terpenting dimadura adalah kabupaten Pamekasan, diikuti oeh kabupaten Sumenep. Dalam area yang lebih kecil, penanaman juga dilakukan di kabupaten Sampang, sedangkan dikabupaten Bangkalan secara praktis dapat dikatakan tidak signifikan. Demikian juga, secara umum, tembakau lebih penting bagi perekonomian masyarakat di madura timur daripada di madura barat. Penjelasan itu menyangkut perbedaan kondisi tanah dan kalim antara kedua bagian wilayah, karena tanaman tembakau tidak dapat ditanam di sembarang tempat. Untuk mendapatkan tanaman tembakau yang berkualitas diperlukan sejumlah persyarakat khusus menyangkut kondisi tanah dan iklim karena tembakau termasuk tanaman yang sangat rentan dan beresiko tinggi.
Tabel 2.7 areal penanaman tembakaudi madura, 1995-2000 (dalamhektar)
Kabupaten Tahun
1995 2000
Bangkalan - 20
Sampang 4.185 6.035
Pamekasan 18.032 18.347
Sumenep 9.833 12.617
Total Madura 32.050 37.019
Jawa Timur 93.603 98.380
Sumber: jawa timur dalam angka 2000
Di luar aktivitas sector pertanian, sebagian penduduk madura menyandarkan kehidupannya pada sektor perdagangan,peternakan, dan maritime, khususnya perikanan, dan garam. Perkembangan sector non-pertanian merupakan salah satu konsekuensi dari keterbatasan dan ketidakmampuan sector pertanian di madura dalam menjamin kehidupan seluruh penduduk madura. Perdagangan dari madura terutama terkait dengan berbagai hasil bumi yang dihasilkan di wilayah itu. Di samping itu, selain terkait dengan produk-produk pertanian, ternak khususnya lembu,juga merupakan barang daganganyang menonjol dari daerah madura (memory residen F.B. Batten, dalam Kartodirdjo, et la, ed., 1978:CXLI).
Peternakan lembu memberikan konstribusi sangat signifikan bagi perekonomian masyarakat madura, karena banyak ternak lembu dikirim ke luar daerah terutama Jawa untuk diprdagangkan, baik aebagai sapi pemancek maupun untuk pemenuhan kebutuhan pasar daging. Pada era colonial, diperkirakan madura mengirim puluhan ribu lembu sebagai lembu potong. Pada tahun 1926, misalnya, dikirim hamper 80.000 ekor lembu potong, sedangkan pata dahun 1927 sebanyak 70.000 ekor (memory residen J.G. van Heyst, dalam Kartodirdjo, 1978:CLXIII). Begitu pentingnya sapi bagi orang madura, bukan saja tercermin dari segi ekonomis melainkan juga dalam aspek sosiologis. Bagi orang madura, sapi juga merupakan symbol status dan karapan sapi melekat sebagai salah satu identitas masyarakat madura hingga sekarang (Robnson, 1977: 22-23).
Sector perikanan juga telah lama dan secara tradisional digeluti sorang madura. Laporan colonial menyebutkan bahwa madura mengirim sejumlah besar ikan asin ke jawa dan bali. Disamping itu, produk ikan asin, sector perikanan madura juga menghasilkan tripang dan terasi. Terasi terutama dikirim ke bali, sedangkan tripang dikirim kesingaura. Sector ikan dan sector garam di madura merupakan dua usaha yang saling melengkapi. Pasa saat musim penghujan, tampak dan talangan terndam air sehingga yang mengring dipergunakan untuk areal pembuatan garam.
Industri garam di madura agaknya jauh lebih menonjol daripada sector perikanan. Hal itu, setidak-tidaknya, tercermin dari atribut yang telah lama dilekatkan pada madura sebagai pulau garam. Produksi garam di madura tersebar diberbagai tempat, baik di Pamekasan, Sampang, maupun Sumenep (memory residen F.B. Batten, dalam Kartodirdjo, et la, ed, 1978:CXLII-CXLV). Garam di madura tidak hanya dihasilkan oleh pemerintah, tetapi juga diproduksi oleh rakyat. Posisi garam akyat sangat penting seperti diindikasikan oleh kualitas produksinya, sampai-sampai pemerintah colonial merasa perlu untuk melakukan pembatasan terhadapgaram rakyat. Bahkan, kemudian, pemerintah colonial melakukan monopoli garam (memory kontrolir sampang, F. van Mourik,dalam Kartidirdjo, et al, ed., 1978: CLXXXVI).
Terlepas dari beberapa potensi ekonomi tersebut, jumlah penduduk madura yang padat dan lahan pertanian yang terbatas serta kurang suburmembuat beban kehidupan penduduk menjadi semakin berat. Peluangmenjadikan sector pertanian sebagai andalan untuk menopang kesejahteraan masyarakat madura dapat dikatakantertutup. Hal itu sjajar dengan kesimpulan ahan (1996:147-28) bahwa kondisi tanah yang kering dan pemilikan lahan yang semakin sempit tidak akan mampu memberikan penghidupan yang layak bagi rumah tangga petani madura, sedangkan industrialisasi, khususnya yang mempunyai kapasitas menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar, merupakan satu-satunya pilihan untuk membangun kehidupan masyarakat madura yang lebih baik. Diabaikannya pilihan ini hanya akan melestarikan wajah muram adura sebagai asalah satu daerah miskin dan terbelakang di Indonesia.
Madura Barat Vs Madura Timur
Antara kiai di Madura Barat (Bangkalan) dan kiai di Madura Timur (Sampang, Pamekasan, dan Sumenep) agak berbeda (Mutmainnah, 2002). Seluruh kiai di Bangkalan masih terikat dalam jaringan kekerabatan yang luas dengan ulama karismatik di Jawa dan Madura, yakni Sjaikhona Kholil. Ia dalah pendiri pondok pesantren Sjaikhona Kholil di Bengkulu pada tahun 1875. Di pesantren itu, pendiri NU, K.H. Hasyim Asyari atau sesepuh NU, alm. K.H. As’ad Sjamsul Arifin, dan bung karma pernah belajar ilmu agama. Karena aspek histories itu, hubungan antar kiai bersifat hierarkis. Baik secara sosial maupun secara politik (kekuasaan local), kiai memainkan peranan yang dominan dalam kehidupan masyarakat Bangkalan. Dalam kekuasaan politik local, peranan birokrat dan lembaga legislative local, serta blater bersifat subordinasi terhadap kedudukan kiai.
Di Madura timur, secara umum, hubungan sosial antar kiai tidak diikat oleh jaringan kekerabatan yang luas seperti di Bangkalan. Hubungan antar kiai tidak bersifat hierarkis. Massing-masing kiai bersifat otonom, khususnya dalam hubungan dengan umatnya dan dengan lembaga sosial yang lain, seperti birokrat dan legislative. Dalam sturktur sosial, kiai memiliki hubungan sosial yang dominant dengan umatnya, tetapi dalam sturktur politik/ kekuasaan local, kiai di Madura Timur merupakan salah satu kekuatan sosial politik, disamping lembaga eksekutif (bupati) dan lembaga legislative (DPRD). Distribusi kekuasaan mereka relative seimbang, tidak saling mendominasi.
Dari berbagai sumber
Jumat, 06 Juni 2008
Mengenal Karakteristik Madura
Diposting oleh sunawar di 23.09
Label: Pendidikan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar