Di Rasa Di Roso Di Tarah Di Kakap

Senin, 14 April 2008

RELIGI TRADISIONAL DAYAK SELAKO DAN LINGKUNGAN HIDUP

Oleh : Simon Takdir

A. Latar Belakang
Merosotnya kualitas lingkungan hidup kita dewasa ini telah menjadi kenyatan yang tidak dapat dipungkiri lagi. Kita sendiri mengalami kenyataan itu dalam kehidupan sehari-hari misalnya terjadinya perubahan cuaca dan suhu udara, berkurangnya sumber air bersih, sering terjadi bencana alam, dan timbulnya beraneka ragam penyakit baru yang menyerang manusia maupun yang non-manusia (binatang dan tumbuhan). Orang tradisional menyatakan bahwa ketidakharmonisan dan ketidakseimbangan antar kehidupan dalam kosmos ini telah terjadi.
Tindakan manusia yang predatoris terhadap alam semesta telah mengakibatkan tidak normalnya kolerasi antar unsur dalam sistem kehidupan ini. Walaupun bukan satu-satunya faktor penyebab, timbulnya permasalahan itu – merosotnya kualitas lingkungan hidup – sekurang-kurangnya tidak dapat dipisahkan dari adanya pandangan kosmologi tertentu yang sangat antroposentris, yag dalam kenyataan telah menimbulkan sikap eksploitatif dan destruktif – sikap manusia yang predatoris – terhadap alam. Manusia sebagai salah satu unsur dalam sistem kehidupan ini bukan lagi sebagai penyeimbang antar unsur dalam sistem itu, namun telah bergeser menjadi “predator” yang dahsyat yang menyerang unsur-unsur lain demi kepentingan dirinya sendiri tanpa menyadari akibat-akibat kerusakan dari unsur-unsur lain tersebut. Pandangan tersebut – antara lain, materialisme Mekanistis – telah mempengaruhi sikap manusia terhadap alam yang selanjutnya menimbulkan konflik berkepanjangan antara manusia dengan bumi (Sudarminta : 2006).
Pakar ilmu sosial – filsafat dan agama – yang prihatin dengan terjadinya degradasi lingkungan hidup ini telah menyampaikan perspektifnya masing-masing dalam usahanya menghadapi situasi ini. Mereka berusaha menyampaikan pemikiran-pemikiran mereka tentang bagaimana manusia seharusnya bertindak agar kelestarian dan keutuhan lingkungan hidup tetap terjaga dengan baik. Dalam hal ini pemikiran etika lingkungan hidup semakin perlu mendapat perhatian dari kita semua.
Tulisan ini berupaya menyulas pandangan suku dayak selako terhadap alam dari segi religi tradisionalnya. Dalam religi itu terkandung etika atau adat lingkungan yang mengajarkan sikap hormat dan bersahabat terhadap alam. Dengan kata lain, apa peran religi tradisional suku Dayak selako dalam hubungannya dengan pelestarian lingkungan hidup yang terdapat dalam religi tradisionalnya yang kini semakin memudar – khususnya dikalangan generasi muda suku Dayak Selako – saya mau mengingatkan kembli dan mengajak kita semua untuk berperan serta dalam menjaga kelestarian lingkungan hidup ini. Walaupun kita sekarang hidup di era global dan berpikir secara global, tidak da salahnya kalau tindakan kita masih tetap lokal. Selain itu, hadirnya tulisan ini akan semakin memprkaya khasanah perspektif yang sudah ada dalam konteks mengubah pandangan manusia untuk bersikap bersahabat dan hormat dengan alam. Bagaimanapun juga, tidak ada satu tradisi religius atau perspektif filosofispun yang mempunyai solisi ideal (terbaik) bagi krisis lingkungan (Tucker & Grim : 2003).
Sebagian besar dari yang apa saya paparkan dalam tulisan ini bukanlah murni dari pikiran saya sendiri, namun merupakan pendapat yang sesungguhnya telah ada dalam kehidupan suku Dayak Selako- itu sendiri, serta dipadukan dengan pendapat-pendapat pakar ilmu sosial yang memang telah lebih dulu berkecimpung dalam bidang ini, khususnya perspektif filsafat organisme dari Alfred North Whitehead melalui tulisan J. Sudarmita, SJ. Yang saya gunakan sebagai kerangka berfikir dalam mengulas topik tulisan ini.

B. Religi suku Dayak Selako

Masyarakat Dayak Selako yang hidup berpencar-pencar di desa mereka masing-masing secara umum dikategorikan dalam masyarakat horticultural (Kottak : 1974). 1 Maksudnya masyarakat yang subsistensi utamanya adalah menanam padi diladang dan di sawah guna memenuhi kebutuhan konsumsi keluarga dalam jangka waktu satu tahun. Diladang yang sama ini juga – bersama padi – mereka menanam tanaman-tanaman lain sebagai pangan penyangga kebutuhan sehari-hari rumah tangga seperti sayur-mayur, jagung, keladi, ubi, pepaya, tebu, dan lain-lain. Bentuk subsistensi ini masih didukung lagi oleh hasil-hasil lain seperti berburu, hasil dari hutan, tanaman karet dan pohon buah-buahan. Bentuk subsistensi yang demikian itu bukan untuk mengkasilkan produk yang surplus (pasar oriented), namun hanya untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga saja. Bentuk subsistensi yang ekstensif ini sepenuhnya masih bergantung pada alam.
Masyarakat ini dalam menjalani rutinitas kehidupannya tidak lepas dari praktek religius tradisionalnya – Religi Neolitikum – yang diwarisi oleh para leluhurnya, terutama dala interaksinya dengan alam lingkungan hidupnya (Hofes: 1983). 2 mereka percaya bahwa dalam usaha mendapatkan rejeki, kesehatan dan keselamatan dalam kehidupan ini tidak hanya bertumpu pada usaha kerja keras saja, tetapi juga pada harapan adanya campur tangan dari “apa” yang mereka yakini. Dengan kata lain, religi tradisionalnya mengajarkan bahwa segala sesuatu yang mereka dapatkan dalam kehidupan mereka – baik dan jahat – selalu ada campur tangan dari unur-unsur lain di luar manusia.
Kecenderungan memiliki kata religi dalam tulisan ini karena istilah religi – para antropolog lebih menyenangi istilah ini – dianggap lebih tepat untuk menamakan praktik religius di luar dari apa yang dimaksud dengan istilah agama sekarang ini. 3 Dunselman dalam

¬_______________________
1 Holticulture is a type cultivation found in a non-industrial society. This type of cultivation makes intensive use of none of the factors of prodaction land, labour, capital and machinery. Horticulturalists use simple tools such as hoes and digging sticks to grow their crops. Their fields are not permanent propert and lie fallow for varying lengths of time.
2 Religi Neolitkum – jika dibandingkan religi manusia Neandertal dan Cro-Magnon – maksudnya religi yang berkembang ketika manusia mulai hidup menetap (semi menetap) dengan mata pencaharian bercocok tanam dan memelihara ternak. Pada saat itu manusia mulai bergantung pada kesuburan alam. Manusia mulai menyadari adanya keteraturan alam, musim sehingga mereka dapat memprediksi tahun dengan panen melimpah dan yang kekurangan. Orang-orang Neolitkum membangun religi mereka berdasarkan kesuburan tanah, manusia dan ternak. Hal-hal tersebut membuat mereka menciptakan mitologi-motologi dalam mana mereka mempersinofikasikan alam menjadi dewa-dewa mereka. Adapun ciri-ciri umum dari religi ini antara lain, adanya bentuk-bentuk animisme (setiap benda mempunyai jiwa/roh) magis, rama/firasat tabu (amai’) totem, kurban persembahan, ritual-ritual peralihan, pemujaan arwah para leluhur (Hofte, 1983)
3 Agama menurut pengertian Orde Baru di Indonesia adalah bentuk kepercayaan yang memiliki wahyu dan kitab suci sebagai dasar ajarannya yang selanjutnya diakui dan dianjurkan oleh pemerintah Orde baru, yaitu agama-
Artikelnya di tahun 1950-an pernah menggunakan istilah agama-agama Dayak untu menyebut praktek religius seperti ini (Dunselman : 1950). Istilah religi dalam konteks ini menyangkut pengertian yang menyangkut semua praktek religius yang masih hidup dan dilaksanakan namun sudah tidak sepenuhnya- oleh kelompok masyarakat hortikultur Dayak Selako dalam kehidupannya.
Religi – berasal dari bahasa Inggris relogion dengan akar kata bahasa latin yaitu Religare – berarti menyatukan (to bind together) tanpa memiliki pengertian Wahyu dan Kitab Suci (Johnstones : 1975) karena religi ini merupakan kebiasaan yang diwariskan oleh para leluhur secara turun-temurun dalam kehidupan masyarakat non- literate ini, selanjutnya disebut Religi Tradisional yang dalam bahasa Dayak Selako disebut adat. Hal ini dapat dilihat dari doa dalam setiap acara ritual yang disampaikan oleh penyangohotn (imam):

“Bukotnnyo unang i-mantabok i-marompokng adat aturan anyian, io inurunan ampet i ne’ Unte’ i kaimantotn, ne’ ancino i Tanyukng Bungo, ne’ Sarukng i sampuro, ne’ Rapek i sampero’, ne’ Sai i sabako’, ne’ ramotn i saa’u, ne’ ranyoh i gantekng siokng. Angkowolah angkenyo kami anak parucu’e make io dah tingor-kamaningor, dah pahiyak dah goehotn kami ihane.”
(terjeahan bebas: bukanlah adat dan aturan ini hasil rekayasa semata-mata, namun dia diturunkan oleh mereka (para leluhur) yang bernama Nek Unte’ yang tingggal di kaimantotn, Nek Bancino (leluhur dari etnis cina) di Tanyukng Bungo, Nek Sarukng di bukit sampuro, Nek Rapek di sungai Sapero’, Nek Sai di bukit Sabako’, Nek Ramotn di bukit saba’u Nek Ranyoh di Gantekng Siokng. Karena itu generasinya menggunakannya yang diwarisi dari generasi yang menjadi tuntutan kehidupan kami).4

Dalam adat (religi tradisional) ini terkandung segala aturan, norma dan etika yang mengatur korelasi manusia dengan manusia, manusia dengan unsur-unsur yang non-manusia (nature and supranature) dalam sistem kehidupan ini. Religi tradisional ini merupakan suprastruktur dalam sistem sosiokultural masyarakat hortikultural Dayak Selako yang prakteknya selalu disesuaikan dengan lingkungan tempat tinggal mereka (Sanderson : 1981). Penyesuaian ini berimplikasi terhadap perbedaan kecil dalam bentuk-bentuk doa, kurban persembahan (bahasa Dayak Selako: buis bantotn) – misalnya posisi ayam kurban, jenis daun ritual – dan tempat-tempat mitis dari setiap desa. Sesuai dengan namanya, religi tradisional atau adat ini bersifat non proselytizing, artinya tidak mencari penganut di luar komunitas, hanya untuk kalangan sendiri (Spier : 1981).
Ajaran tentang adat (etika) lingkungan hidup yang mengatur korelasi antara manusia dengan alam ini didasarkan pada pandangan dunia (world-view) masyarakt holtikultural Dayak Selako itu sendiri yang termuat dalam religi Tradisionalnya dan terpelihara dalam mitos-mitosnya.


__________________
agama kristen Katolik dan Protestan, Islam, Hindu dan Budha. Di luar dari itu bukan agama. Untuk lebih jelas baca teori antropologi Budaya 1 (hal. 31-35) oleh J Van Bal, 1987.
4 Kaimantotn, Tanyukng Bungo, Sampuro, Saper’, saako’, Saba’u, dan gantekng Siokng (sebanyak tujuh tempat) merupakan tempat mitis dalam religi suku Dayak Selako Kaimontotn diartikan kalimantan, tempat yang pertama kali dihuni oleh manusia Dayak yang bernama Nek Unte’. Sedangkan tanyukng Bungo adalah daerah bagian pantai yang berbukit di sepanjang pasir panjang hingga sungai raya. Bukit Sampuro berada di daerah Semangkak (samalantan), sapero’ nama sungai di pasuk kayu, sabako’ nama bukit dekat kalumpe, saba’u nama bukit di samalantan desa, gantekng siokng nama pertemuan (celah) antara dua buah bukit di ranto. Enam tempat mitis tersebut berada di wilayah kabupaten sambas yang dulu (sebelum terjadi pemekaran daerah jaman reformasi).
World-view dan Praktik Religius
World-view (pandangan dunia) masyarakat horticultural Dayak Salako memahami alam semesta (kosmos) ini sebagai suatu bentuk kehidupan bersama antara manusia dan yang non-manusia, diluar alam para Jubato (dewa) dan Awo Pamo (arwah para leluhur) yang berada di Subayotn.5 Bentuk kehidupan itu merupakan suatu sistem yang unsur-unsurnya terdiri dari unsur alam manusia dan alam non-manusia (organisme dan no-organisme) yang saling berkolerasi. Sistem kehidupan itu sendiri merupakan lingkungan hidup manusia dimana manusia hidup dan berkolerasi secara harmonis dan seimbang dengan para “tetangganya” unsur-unsur lain yang non- manusia. Hubungan yang harmonis dan seimbang dalam sistem khidupan ini harus dibangun oleh manusia melalui praktik-praktik religi mereka.
Manusia sebagai bagian dari alam memiliki unsur-unsur alam, misalnya, udara, air, dan zat lainnya dalam dirinya (Sudarminta : 2006). Manusia merupakan mikrokosmos (bagian dari dalam sistem kehidupan (kosmos) ini (Priyono : 1993). Setiap unsur dalam sistem itu masing-masing memiliki nilai dan fungsinya yang saling mendukung dalam satu kesatuan untuk mencapai suau tujuan,kehidupan yang harmonis dan seimbang.
Sikap manusia dalam korelasinya bersama unsur-unsur lain dalam sistem kehidupan itu menentukan kehidupan manusia bersama lingkungannya, baik secara individu maupun komunitas. Sikap manusia yang mau menghargai, menghormati dan bersahabt dengan alam akan memberikan permusuhan dan kesengsaraan bagi manusia memisahkan diri dan beroposisi dengan alam.
Pemahaman masyarakat Dayak Salako terhadap manusia sebagai bagian dari alam didasarkan atas adanya korelasi tersebut. Korelasi ini dipahami sebagai bentuk komunikasi yang dijelaskan oleh mitos-mitos yang berkembang ditengah kehidupan masyarakat ini (van Baal : 1987). 6 Alam berkomunikasi dengan manusia antara lain melalui tanda-tanda yang diberikan. Sebaliknya bentuk komunikasi manusia dengan alam melalui praksis (tindakan nyata dan disadari) dan praktik religiusnya.
Beberapa contoh bentuk pemahaman manusia sebagai bagian dari alam yangberkolerasi dalam sistem itu diuraikan disini. Pertama, kematian dipahami sebagai peristiwa kembalinya dan menyatunya jasad manusia dengan alam dunia (taino) serta sengat atau ayu (jiwa) dengan Subayotn. Saat manusia akan meninggalkan dunia, alam mengkomunikasikannya pada mnusia berupa tanda dalam bentuk suara dari sejenis mahluk alam yang disebut Tirantokng. Suara itu menyerupai bunyi sebuah parang besar beradu dengan alas kayu terjadi pada malam hari antara pukul 10.00 hingga 12.00.7 tanda



______________________
5 Subayotn adalah tempat bermukim khusus arwah yang baik setelah kematian. Jubato nampaknya memiliki tempat tinggal tersendiri di luar Subayotn yang biasanya disebut Kayangan. Beberapa diantara para Jubato itu memiliki wilayah kekuasaan di dunia (bhs. Dayak Salako: Taino), misalnya, Jubato Bukit Bawokng (gunung bawang) adalah Nek Opo, Jubato bukit Rayo (gunung Raya) adalah Buuk Baso’ bukit poteng adalah si Rijab, dan sebagainya. Orang yang semasa hidupnya di Taino hidup tidak sesuai dengan adat (bersikap jahat) ketika meninggal dunia arwahnya tidak masuk Subayotn. Arwah itu menjadi hama, penyakit, hantu (pujut) dan gentayangan di Taino menggangu kehidupan manusia. Manusa akan terhindar dari gangguan mereka kalau dibangun relasi yang baik (sikap hormat dan bersahabt) melalui ritual (doa dan kurban).
6 Menurut J. Van Baal mitos merupakan kebenaran religius dalam bentuk cerita. Atau cerita di dalam kerangka sistem suatu religi yang dimasa lalu atau dimasa kini telah atau sedang berlaku sebagai kebenaran keagamaan.
Ini diartikan bahwa hantu telah memotong-motong badan orang itu hingga meninggal. Orang segera tahu bahwa dalam beberapa hari akan ada yang meninggal dunia di desanya atau desa sekitarnya.
Saat orang itu akan menghembuskan nafasnya yang terakhir (ngooh), pada malam sebelumnya suara riuh rendah dari mahluk malam di rimba terdengar tidak seperti biasanya. Peristiwa ini bisa dialami oleh mereka yang menunggu durian atau berburu pada malam hari (nereng). Orang menafsirkannya bahwa alam bersorak-sorai menyambut kedatangan manusia yang akan menyatu kembali dengannya.
Tidak ada kebiasaan membersihkan dan menyembahyangi dalam kehidupanmasyarakat Dayak Salako. Pohon-pohon dan semak dibiarkan tumbuh lebat disekitar kuburan. Masyarakat takut untuk membersihkannya karena arwah manusia yang dikubur itu akan marah dan menyakitinya. Ketika jenasah itu dikubur atau dibakar (dikremasi), selanjutnya orang tidak pernah mengenali dimana letak kuburan manusia yang meninggal itu. Dia dikubur tanpa nisan.
Rangkaian peristiwa kematian yang dialami dalam kehidupannya membuat masyarakat Dayak Salako berkesimpulan bahwa manusia itu betul-betul telah kembali danmenyatu dengan alam karena dia sesungguhnya berasal dri alam. Religi tradisionalnya mengatakan manusia yang sudah momo’ (meninggal dunia) itu sesungguhnya telah kembali ke binuo (tempat) asalnya. Sejalan dengan itu, dalam tataran evolusi kehidupan, manusia secara bertahap berkembang dari bentuk-bentuk kehidupan yang lebih rendah (Darwin : 2002).
Kedua, manusia dalam melaksanakan aktivitasnya akan terhindar dari marabahaya ketika suara mahluk tertentu (rasi) berbunyi pada situasi yang tidak biasa. Tanda ini dipahami sebagai “alam” (bhs. Dayak Salako: palangkahan) bagi manusia agar memilih waktu (jam, hari) yang tepat dalam melaksanakan kegiatan diluar rumah. Pemahaman ini dijelaskan dalam kasus Kulikng Langit, tokoh dalam mitos manusia mendapatkan pelangkahan dari para rasi akan nek Baruang kulup.8 kasus lain sebagai contoh yaitu sebuah mitos maniamas yang melanggar suara rasi dari kijokng (kijang) – sebuah rasi keras, rasi orang mati berdarah.
“Ketika maniamas hendak menebang pohon besar diladangnya, tiba-tiba terdengar suara kijang dari semak disekitar rumahnya. Walaupun dia tahu rasi itu, ia tidak perduli dan tetap melanggarnya. Dia keluar dari rumah dan pergi ke ladang. Begitu dia selesai menebang pohon itu, di sebelahnya telah menanti musuhnya, Leo Baja, dari kampung Barangan, Leo Baja langsung melemparkan boekng (tombak)-nya ke arah maniamas, Maniamas Nyingkubokng (melompat) tiga kali melengakannya. Begiru Maniamas berdiri kembali ketanah, Leo Baja langsung menyerangnya dengan tangkitn (sejenis parang khusus untuk menganyau). Maniamaspun langsung menghunus tangkitnnya. Mereka saling memyerang, memotong, menebas. Keduanya sama-sama kuat. Tiba-tiba kaki Maniamas terikat oleh kayu dan terjatuh. Saat itu juga tangkitn Leo Baja menyambar batang lehernya. Darah menyucur dan kepala terlepas. Leo Baja puas. Dia pulang dengan menintng kepala Manianas. Bagaimana cara kamang pulang bakayo, begitu juga adat yang diikutinya. Ini akibat melanggar rasi keras, rasi orang mati berdarah.”
Selanjutnya, kesuburan semua mahluk dalam kosmos ini tidak luput dari campur tangan burung Tingkakok dan burung Bungkikik. Kedua burung Jubato ini dengan suaranya yang khas menimang agar semua mahluk hidup timbuh subur, berbuah, berkembang biak dan berketurunan. Manusia mendapatkan kebaikan dari kedia burung ini. Berkat timangan burung ini manusia dapat berketurunan, segala ternak di rumah,
____________________
7 Tanda ini muncul pada malam hari. Malam adalah kegelapan, kesedihan yang identik dengan kematian. Kulikng Langit adalah anak Nek Kulub dengan manusia di Taino. Dia meninggal karena jatuh dari pohon Sibo (sejenis rambutan hutan) akibat melanggar siara rasi.

Hewan disungai dan dihutan berkembang biak, dan tanaman padi dan pohon buah-buahan mengeluarkan buah yang lebat. Pada acara ritual kedua burung ini disapa dan di beri sesajian dalam bentuk Patek. Doanya sebagai berikut.

(patek diambil dari dalam cangkir dan ditaruh dalam genggaman sambil berdoa)
“Au’ unang nyian patek tampi paribaso si ane’ (sebut nama pemilik kurnan) mirikngi’ kito’am badamo Tingkakok burukng Jawo, Bungkikik, burukng matan. Kito’ an dingaso’an dingarap, ingampioh am batimang. Ame kito’ batimang jawi’, batimang jaji ka manosio, jaji ka piarootn,jaji padi ka umo ka tahutn, jaji ka banir buoh. Kurrra’ patek tampi (pada sat itu patek dilambungkan keatas dengan posisi di atas kurban)”

(Terjemahan bebas: inilah sesajian patek, yang pertama datang sebagai adat dari si Anu (sebut nama si pemilik kurban) yang mengirimi kalian bernama Tingkakok burung jawa. Bungkikik burung matan. Kalian yang diharapkan untuk menimang segala mahluk hidup agar tumbuh subur, berbuah, berkembang biak dan berketurunan. Janganlah menimang tidak berhasil. Bertimanglah yang berhasil, manusia beranak pinak, hewan dihutan dan ternak dirumah berkembang biak, tanaman padi dan pohon buah-buahan lainnya berbuah lebat. Terima kasih atas itu bersama patek tampi ini).

Beberapa contoh pernyataan nyata manusia sebagai bentuk kepedulian mereka terhadap alam terlihat dalam hal-hal yang berikut. Pertama, ketika alam mengalami musibah misalnya, tanoh rantak (tanah longsor), pembangunan berskala besar, perbuatan berjinah dan pembunuhan manusia-manusia membuat upacara ritual besar dan lengkap. Upacara ritual seperti ini disebut ngadati ai’ tanoh, paayo paansar, tumpuk tampat kediaman (mengadati air dan tanah, wilayah kerja untuk mendapatkan rejeki, tempat tinggal) ritual ini merupakan tanda komunikasi dari manusia agar hubungan antara manusia dan alam yang telah rusak itu dipulihkan kembali. Tanah yang longsor, tanah yang rusak, tanah yang kotor karena perbuatan manusia dipahami sebagai alam yang “sakit”. Kondisi alam seperti itu merupakan tanggungjawab manusia sebagai “tetangga alam” untuk memulihkannya. Ini semua dilakukan agar kekotoran dan kerusakan alam tidak berlarit-larut sehingga menyiksa dan menyengsarakan manusia. Sebagai sebuah sistem, ketika salah satu unsur mengalami kerusakan, maka unsur-unsur yang lain secara otomatis tidak dapat berfunfsi dengan baik.
Selanjutnya lahan yang digarap untuk bercocok tanam harus “diobati” karena lahan tersebut dianggapmenderita. Melalui persembahan yang disebut petak (kamoh di dalam cangkir manusia “mengobati alam”, yakni dengan menyampaikan penghargaan, sikap hormat dan bersahabat atas pengorbanan lahan yang telah digunakan mereka untuk mendapatkan rejeki kehidupan sehingga korelasi itu kembali normal, dan kelak kemudian hari manusia dengan mudah mendapatkan rezeki dari setiap lahan yang digarapnya.9
Dalam upacara ritual itu lahan ladang dan sawah yang meliputi tanah, mahluk hidup yang ada di atasnya, dan semua jenis tumbuh-tumbuhan seperti rumput (rumput ratai), pohon besar dan kecil (kayu kayan), serta rotan dan tumbuhan merambat (ui bararotn) lainnya, yang ditebas, ditebang dan kemudian dibakar-disapa melalui doa dan diberi sesajian oleh manusia
___________________
9 patek adalah nama salah satu bagian dari sesajian dalam kurban persembahan yang diambil dari kamoh (sesajian yang dibungkus dengan dau minyak/laying) dan ditempatkan dalam gelas/cangkir. Kamoh terbuat dari campuran bontokng (nasi yang dimasak dalam daun), garetotn (pulut yang di asak dalam buluh), kobetotn (daging dan hati ayam kurban), dan telur ayam kampung, yang diambil serba sedikit dan dibungkus dengan daun minyak/laying. Ada tiga jenis patek, yaitu patek tampi, patek tangoh dan patek puokng (pulang/penutup), yaitu patek untuk rumoh tango’ lawokng karamigi (rumah tangga).


Agar jangan sampai “mereka” marah berkepanjangan, dan dendam sehingga “mereka” menyiksa dan menyengsarakan manusia yang hidup dari berladang dan bercocok tanam. Petikan doanya adalah sebagai berikut:
(cara memberikan sesajian patek tengah (tangoh) ini sama dengan patek tampi).
“Au’ anyian patek tangoh mirikngio’ tanoh, rumput ratai, kayu kayan, ui bararotn an dimangas, dinabokng, dinunu, dimumputn, ame sampe kito’ bero, ngaapat, ngaraju’, antas nyikso nyangsaro manusio am baumo batahutn, bacocok tanam. Au’ kito bujokng Pabaras, Manyang Pabawar, kito’ an dingarap, ingaso’, ingampioh, urokng an jajokng pantas painyuokng, ngantato’ pirikng si Anu (sebut nama yang melaksanakan ritual) mirikngi’ kito’. Ampar bide, tutukng pulito’ pao’ canang babagi baongko’ ka paranak ucu’ kito’. (Lambungkan patek itu di atas kurban sambil berkata: Kurrra’ patek tangoh).”10
Adanya korelasi dalam sistem ini masyarakat Dayak Salako memahami bahwa alam selalu siap membantu kehidupan ”teman”-nya manusia disetiap saat. Bahkan alam akan memberikan bantuannya ketika manusia menghadapi kesulitan yang paling berbahaya, misalnya perang suku. Manusia Dayak selalu meminta alam melalui upacara ritualnya memberikan kebaikannya agar membantu dan melindunginya dalam menghadapi lawannya.

Praktik Religius
Praktik religius dalam upacara ritual suku ini merupakan bentuk usaha manusia dalam membangun relasi yang baik dengan unsur-unsur yang non-manusia agar keseimbangan dan keharmonisan dalam sistem kehidupan tetap berlangsung. Usaha itu dapat kita saksikan dalam bentuk doa dan kurban yang tidak hanya ditujukan kepada para Jubato (dewa), awo pama (arwah para leluhur) dan roh-roh lainnya (hantu, setan, iblis), namun juga terhadap segala bentuk organisme (hewan, tumbuhan) dan non-organisme (misalnya besi, karat besi/tagar, petir, dan sebagainya yang dianggap memiliki spirit) dalam kehidupannya.11
Seperti agama mototheis – agama kristen katolik Roma – upacara ritual dalam religi tradisional ini (politheis) memiliki dua unsur yang nyata dalam prakteknya, yaitu doa (bhs. Dayak Salako: sampado, sampokng, bamang) dan kurban persembahan (buis bantotn). Doa merupakan bentuk komunikasi nyata dari manusia dengan unsur-unsur lain yang dianggap memiliki kekuatan seperti manusia, bahkan lebih, dalam sistem kehidupan ini.
Kurban persembahan – dari hasil karya yang terbaik – merupakan bentuk paribaso (sikap hormat dan bersahabat) dari manusia terhadap unsur-unsur lain dalam sistem kehidupannya. Melalui kurban ini manusia tidak hanya menanamkan budi baiknya, tetapi juga untuk memenangkan unsur-unsur non-manusia yang marah atas perbuatan manusia yang salah sehingga hubungan yang rusak dapat dinarmalkan kembali.
Berkomunikasi (doa) dengan alam yang tidak disertai dengan paribaso dalam religi tradisional masyarakat Dayak Salako adalah sengko’ (timpang), dan ini amai’ (tabu) dilaksanakan. Mengapa alam sebagai sahabat harus ada paribaso, sebagai wujud nyata dari rasa hormat dan tali persahabatan yang dinginkan oleh manusia. Berkomunikasi tanpa adanya hormat dan tali persahabatan yang dinginkan oleh manusia. Berkomunikasi tanpa adanya sesuatu yang melengkapi komunikasi itu (sesuatu yang diberikan) dikatakan berkomunikasi.
________________________
10Upacara ritual dalam konteks ini biasanya dilakukan dalam upacara ritual yang berhubungan dengan pertanian misalnya, ketika nurutnni’ (sembahyang padi baru) dan Nyabayotn (sembahyang tutup tahun).
11 Menurut Leslie Spier bahwa ritual merupakan alat berkomunikasi manusia dengan alam dalam sistem kehidupan.

Dengan ai’ iur bari’ (air liur basi), artinya hanya omong kosong saja. Bentuk paribaso yang paling sederhana sebagai pelengkap komunikasi itu adalah antek (selembar sirih yang sudah diolesi kapur, irisan pinang dan gambir serta rokok daun dan tembakau).
Perilaku ini terbawa dalam interaksi antar manusia Dayak dalam kehidupannya ketika mengunjungi kerabat atau temannya. Seseorang biasanya akan membawa ole-oleh berupa kueh – walaupun sederhana namun bermakna – untuk anak-anak keluarga yang dikunjunginya dengan tujuan untuk menbina ikatan ekosional yang kuat antara kedua belah pihak.
Melalui upacara ritualnya (doa dan kurba) manusia mengundang semua unsur-unsur non-manusia itu untuk hadir, mendengarkan permohonan manusia, dan menikmati kurban persembahan yang telah disiapkan untuk mereka. ”Mereka” – menurut pemahaman masyarakat Dayak Selako menikmati persembahan kurban itu dari aroma (sau)-nya saja. Sebaliknya, manusia menerima berkat berupa rejeki, kesehatan dan keselamatan dari ”mereka” dengan menikmati kuran persembahan itu. Manusia meakan ”sisa” makanan yang mengandung berkat ”mereka”. Manusia mendahulukan ”mereka” menikmati kurban persembahan yang masih utuh dan sebalikny manusia memakan ”sisa” dari ”mereka” dalam upacara ritual itu menandakan bahwa manusia bersikap hormat dan bersahabat dengan alam. Hal itu dapat dilihat dari petikan doa penutup ritual (ngangkat buis) yang diucapkan oleh panyangohotn (imam):
”Au’ nyian unang buke’nyo barapat, baraju’. Maabotn dan rinso, sampo’ dah masak, kito’pun dah ako makotn sau’e, makotn kukuse, makotn baue. Nyian unang si Ane’ (sebut nama keluarga pemilik kurban persembahan) dah makatnno’ siso’, makatnno’ labih, katepokng sampo’, kaimpapu kito’. Kade’nyo se makotn, jaji daging, jaji amak, jaji manse , jaji sajuk, jaji dingin, jaji sedo,jaji sanang, jaji baruntukng batuoh barajaki ka manusio, ka piarootn, ka padi baras ka lawokng karamigi, ka umo k pathunan. Io ngangkat buis bntatn ne nyian ampo ngangkat sumangat padi, sumangat uang, sumangat taro, sumangat amas perak. Angkat ka pucuk, angkat ka atas, angkat untuknge angkat tuhe.
So, duo, tau, ampat, imo, anam, tujuh, Kurrra’ sumangat buis bantotn lowokng karamigi si Ane’ (sebut nama sipemilik kurban, dan upacara ritual selesai).”

(terjemahan bebas: Ini bukanlah kami marah ataupun merajuk. Segala-galanya sudah sempurna dan kalian sudah selesai bersantap. Kini saatnya bagi si Anu (sebut nama pemilik kurban) akan menerima berkat kalian dari sisa-sisa santapan kalian. Semoga sisa santapan ini menjadi berkat rejeki, kesehatan dan kesehatan bagi keluarga yang menyamtapnya).

Dalam riyual ini secara kohesi manusia alam diikat dan dipererat. Kohesi itu selalu diperbaharui dan dipertegas dalam setiap upacara ritual – misalnya, dalam, upacara ritual padi Nurutni’ dan Ngabayotn.

Lingkungan Hidup
Lingkungan hidup tempat tinggal manusia bersama dengan segala yang ada di sekitarnya yang memungkinkan manusia itu hidup, beraktivitas dan berketurunan. Lingkungan hidup dalam bahasa Dayak Salako disebut Paayo’ paansar (wilayah tempat mencari rejeki kehidupan) dan tumpuk tampat kadiaman (tempat kehidupan bersama, atau kampung). Wilayah paayo’ paansar dan tumpuk tampat kadiaman ini diwarisi dari nenek moyang mereka – para pendiri kampung mereka – yang selanjutnya menjadi Ancestral Dominan (wilayah hak adat mereka). Dalam wilayahini manusia Dayak hidup bersama dengan unsur-unsur non- manusia yang diatur oleh adat (religi, norma, aturan, etika) dan diperjelas oleh mitos-mitos yang diwarisi dari para leluhur mereka.

Peranan Religi dalam Pelestarian Lingkungan Hidup
Adat merupakan produk budaya manusia yang berasal dari akumulasi pengalaman dari adaptive strategy manusia itu sendiri terhadap lingkungan hidupnya agar supaya tetap survive (bertahan hidup) dan diwariskan secara turun-temurun pada generasinya sehingga menjadi pedoman hidup mereka (human being), alam (nature) dan roh (supernature) dalam suatu bentuk sistem kehidupan ditengah masyarakat horticultural dan egaliter Dayak Salako.
Adat mempengaruhi dan membentuk sikap serta perilaku masyarakat Dayak itu sendiri dalam berinteraksi dengan sasama manusianya, dengan alam yang supernatural. Sikap dan perilaku masyarakat Dayak yang kehidupannya dipengaruhi dan dibentuk oleh adat itu berimplikasi pada pandangan mereka terhadap alam. Mereka memandang manusia sebagai bagian dari alam dimana mitos-mitos meeka berperan dalam memperjelas pandangan itu.
Pandangan itu selanjutnya membuat masyarakat Dayak Selako itu bersikap menghargai, menghormati, dan bersahabat dengan alam. Dengan sikap dan perilaku masyarakat yang demikian konsep etika lingkungan hidup telah dibangun sehingga kehidupan berkelanjutan (sustainable life) terealisasi. Dengan kata lain, adat memainkan peranannya dalam usaha mencegah kemerosotan kualitas lingkungan hidup.
Adat sebagai aturan yang berfungsi mengontrol sikap dan perilaku manusia dalam sistim kehidupannya memiliki kekuatan memaksa (coersive power) baik secara spritual maupun sosial. Ketika manusia melakukan suatu perbuatan yang baik terhadap sesamanya – manusia dan alam dalam lingkungan hidupnya, manusia itu akan mendapatkan sanksi spritual dan sanksi sosial. Perbuatan manusia yang salah itu telah merusak hubungan yang harmonis dan seimbang dalam sistem kehidupan masyarakat itu.
Sanksi spiritual adalah sanksi yang akan didapatkan oleh manusia baik dari ala sendiri maupun supernatural karena perbuatannya. Jika kehidupan manusia itu baik-hidup yang beradat – manusia akan mendapatkan rejeki yang mudah dan berlimpah serta kesehatan dan keselamatan di sepanjang hidupnya. Sebaliknya, manusia akan mendapatkan tuoh (tulah) dan papo (papa, sengsara)karena perbuatannya yang tidak baik hidup yang tidak beradat. Ini biasanya disebut dengan hukum karma. Masyarakat percaya bahwa manusia yang hidupnya tulah dan papa sulit untuk mendapatkan rejeki kehidupan walaupun sudah bekerja keras. Pengalaman kehidupan masyarakat itu menunjukan bahwa walaupun seseorang dalam kehidupannya mendapat rejeki yang melimpah, namun salah satu anggota keluarga tidak mendapat kesehatan – sakit yang saling silih berganti mengakibatkan rejeki yang diperoleh itu akan habis juga.
Sanksi sosial mengacu pada sanksi yang diatur oleh adat dan dikenakan oleh kelompok masyarakat yang memiliki adat tersebut – melaluipengurus adatnya – kepada anggota masyarakat yang perbuatannya melanggar adat. Sanksi sosial itu berupa pembebnan beaya untuk menyiapkan materialkurban persembahan dan beaya-beaya lain (kalau ada) kepada yang bersalah. Ukuran sanksi sosial yang dikenakan pada manusa yang bersalah itu disesuaitka dengan jenis kasus yang diperbuatnya. Selain itu, manusia yang bersalah itu mendapatkan cap kehidupan ”si pelanggar adat” di sepanjang kehidupan generasinya dalam komunitasnya. Dia menjadi buah bibir dan contoh perbuatan yang salah bagi generasi lain dalam komunitasnya.

Kelompok masyarakat menjatuhkan sanksi adat pada anggotanya yang bersalah baik terhadap manusia maupun alam bertujuan untuk memulihkan kehidupan yang telah rusak karena perbuatannya agar menjadi normal kembali, dan merehabilitasi manusia yang bersalah itu agar hidup beradat lagi. Pelaksanaan sanksi adat itu selalu disertai dengan upacara ritual. Upacara ritual itu selain merupakan ujud nyata dari bentuk pelaksanan adat itu sendiri (sanksi sosial), juga merupakan wujud nyata untuk menghapus sanksi spiritual. Pelaksanaan sanksi adat – sanksi spritual dan saksi sosial – akan syah di depan masyarakat (manusia), alam dan supernatural ketika upacara ritual selesai dilaksanakan. Dengan demikian, melalui upacara ritualnya manusia memberikan sikap hormat dan bersahabat terhadap alam agar apa yang dilakukannya di waktu mendatang sawokng (tanpa halangan) dan manusia itu sendiri – baik individu maupun komunitas – sunio (selamat).

Tanpa pelaksanaan upacara ritual komunitas akan terus merasa khawartir akan sanksi spritual itu. Mereka percaya bahwa sanksi pritual itu akan berjangkit pada kehidupan mereka. Sanksi sritual atas suatu kesalahan yang belum “ditebus” secara adat akan ba bangkawo’-ba bangkawar dan ba badi ba idab. Keadaan ini akan berdampak pada kehidupan komunitas dalam hal rejeki, kesehatan, keselamatan. Apa pun yang mereka lakukan demi kehidupan mereka tidak akan sawokng (tanpa halangan) dan tidak akan Sunio (selamat).

Adanya pandangan kosmologi dan adat yang dimiliki oleh masyarakat. Dayak Salako dalam kehidupan membuat masyarakat ini tidak dapat mengeksploitasi alam dengan semau-maunya demi kepentingan ekonominya. Adat (etika) mengajarkan bahwa amai’ (tabu).14 kalau manusia bersikap bongko’ karongo, oso dan piroro terhadap alam. 15 karena itu manusia harus menyadari bahwa dia merupakan bagian dari alam dan dapat survive (bertahan hidup) karena dia mendapat dukungan kehidupan dari alam itu sendiri.

0 komentar: