Kebudayaan Dayak
Oleh Dr. Fridolin Ukur
Pendahuluan
Tidaklah mudah untuk berbicara tentang kebudayaan Dayak, yang mencakup lebih dari 450 suku yang tersebar di seluruh Kalimantan ini, termasuk mereka yang ada di Negara tetangga seperti Malaysia. Namun banyak penelitian yang telah diadakan mengenai suku-suku dayak di Kalimantan ini kita berkesimpulan bahwa tidak ada pulau besar lain di Indonesia ini yang dapat dikatakan memiliki semacam kesatuan budaya seperti Kalimantan. Tulisan ini bermaksud mengemukakan cirri-ciri pokok yang memperlihatkan kesamaan budaya di antara suku-suku Dayak sehingga kita bisa berbicara tentang kebudayaan Dayak sebagai satu kesatuan budaya.
Suatu hal tidak boleh kita lupakan apabila kita berbicara tentang kebudayaan suku, tidak mungkin kita menganggapnya sebagai sesuatu yang masih utuh, lengkap dan tanpa perubahan. Karena kita tahu bahwa kita ada kebudayaan yang tidak mengalami perubahan. Karena kita tahu bahwa tidak ada kebudayaan yang tidak mengalami perubahan, apalagi dengan kian majunya perkembangan pembangunan nasional ditambah lagi dengan arus gelombang globalisasi.
Asal-Usul Penamaan Suku Dayak
Teori yang secara umum diterima bahwa suku-suku pribumi penduduk Kalimantan berasal dari daratan Asia, dari wilayah Cina Selatan (Propinsi Yunan) yang ikut dalam arus perpindahan (migrasi) besar-besaran antara tahun 3000-1500 sebelum masehi. Dari rombongan yang tida di Indonesia, mereka termasuk rombongan yang pertama (disebut Proto Melayu). Ada teori yang mengatakan bahwa perjalanan tersebut terbagi dua arah: yang satu bergerak melalui Indo Cina dan terus ke jasirah Malaysia dan terus ke Kalimantan; sedangkan rombongan lainnya melalui Taiwan dan Filipina.
Pada waktu penyebrangan ke Kalimantan dimudahkan karena permukaan air laut pada jaman es turun secara drastic. Namun ada pula teori yang mengatakan bahwa pada waktu itu Kalimantan masih belum berwujud pulau, tetapi menyatu dengan Sumatera dan daratan Asia. Hal ini dibuktikan dengan jenis ikan sungai yang terdapat di Kalimantan hamper semuanya terdapat di Sumatera.
Tentang pemakaian istilah “Dayak” untuk menandai suku-suku pribumi di Kalimantan ini terdapat beberapa teori. Ada yang berpebdapat, karena tersebut dupergunakan karena memang sudah ada dalam bahasa Iban berarti manusia; dalam bahasa Tanjung dan Benua, kata itu berarti hulu sungai seperti umpamanya Mahakam Dayak berarti Hulu Mahakam. Di Kalimantan Timur ada suku yang bernama Lun Daye, yang berarti orang dari daerah hulu. Di dalam bahasa Ngaju ada jenis padi yang bernama “parei dayak”, yang pohonnya lebih rendah dari padi yang biasa.
Ada pula yang berpendapat, dan pendapat ini yang banyak dianut, bahwa istilah iti siberikan untuk membedakan penduduk pribumi (asli) dengan penduduk pribumi yang datang datang kemudian dan bermukim di pantai dan yang telah memeluk agama Islam. Dan orang dayak sendiri cenderung menyebut penduduk pantai pantai tersebut sebagai orang Melayu. Jadi nama ini diberikan untuk menandai penduduk pribumi di pedalaman atau penduduk pegunungan yang bukan Islam, dan sebab itu ekuivalen dengan kata/nama Toraja (Encyclopaedia der Nederlandsch Indie, Jilid I, A-G, 1917).
Orang Dayak yang kenudia memeluk agama Islam tidak lagi menyebut dirinya orang Dayak tetapi menjadi orang Melayu, demikian pula bahasa yang digunakanpun bukan lagi bahasa Dayak, tetapi bahasa Melayu. Jadi sebenarnya di antara orang Melayu itu banyak terdapat orang Dayak. Di sini kita melihat bahwa penduduk yang asalnya serumpun itu bisa menjadi berbeda karena agama dan bahasa baru yang diikuti dan diamutnya. Ada kesan pada waktu itu bahwa kata Dayak itu mengandung nada ejekan atau hinaan terhadap mereka yang dianggap masih belum maju.
Lambat laun kesan negative tadi kian menghilang terutama setelah sebagian besar penduduk sudah mengecap pendidikan, ditambah pula dengan berkembangnya kesadaran kebangsaan. Hal ini nampak di tahun tigapuluhan dengan lahirnya Pakat Dayak, suatu organisasi social budaya masyarakat Dayak yang berpusat di Banjarmasin, yang anggotanya terdiri dari semua penganut agama-agama. Lebih terasa lagi kemudia di tahun limapuluhan, ketika terbentuk Partai Dayak yang berpusat di Pontianak dengan cabang-cabangnya di seluruh Kalimantan. Penamaan ini diterima sebagai identitas bersama secara social budaya.
Dari segi penulisan, terdapat 3 bentuk: Dayak, kedua Daya dan Dyak. Yang terakhir ini yaitu bentuk Dyak biasanya dijumpai dalam literature bahasa Inggris terutama tulisan-tulisan mengenai suku-suku di Malaysia Timur. Ada sementara kalangan yang enggan memakai kata Dayak (dengan huruf k) karena katanya penulisan tersebut mengandung makna kurang baik. Mengingat ada perkataan di salah satu suku di Indonesia, yaitu kata “dayak-dayakan” yang berarti gila-gilaan atau yang senada. Menurut hemat saya alas an ini terlalu naïf, karena terlalu banyak kata yang sama bunyinya tetapi mengandung arti yang sangat berbeda di dalam bahasa lainnya. Kata yang serupa dalam bahasa Ngaju (dayak-dayakan atau dadayakan) berarti berjalan sempoyongan, seperti anak kecil yang baru belajar berjalan. Ini bisa saja diartikan secara negative tetapi juga positif. Kalau kita secara objektif menilai semua ini, rasanya tidak ada alas an untuk menolak penulisan tersebut, seperti Ensklopedia Indonesia.
Pengelompokan suku-suku dayak
Suku-susku Dayak yang tersebar di seluruh pulau Kalimantan ini memang cukup banyak jumlahnya, ada yang besar, sedang ataupun kecil. Keadaan dan geografi dan demografi telah mengakibatkan suku-suku ini terisolasi dan terpisah, sehingga walaupun semula merupakan satu runpun tetapi setelah ribuan tahun tampaknya seolah-olah tidak mempunyai hubungan satu sama lain. Tidak heran kalau ada yang berpendapat bahwa nama umum “Dayak” tidak boleh dijadikan alas an untuk memandang semua suku Dayak itu sebagai satu kesatuan antropologis dan cultural. Tetapi menurut pendapat saya justru digunakannya nama Dayak itu untuk memberikan identitas bersama, karena memang ada raut dasar yang menunjuk kepada kesamaan.
Untuk memudahkan memperoleh gambaran yang lebih memadai telah diusahakan membuat pengelompokan suku-suku Dayak ini berdasarkan pada kesamaan-kesamaan tertentu, seperti kesamaan hokum adapt, ritus-ritus, bahasa, dsb. Sampai sekarang ada 3 (tiga) pengelompokan yang telah ditampilkan pada penelitian ilmiah yang cukup dapat diandalkan. Pertama, yang diadakan oleh H.J.Mallinckrodt, berdasarkan kesamaan hokum adapt (Het Adatrecht van Borneo, Leiden, 1928). Ia membedakan enam rumpun suku yang disebutnya Stammanras: (1) Kenya-Kayan-Bahau, (2) Ot Danum, (3) Iban, (4) Murut, (5) Klemantan, (6) Punan. Kedua, diadakan oleh W.Stohr (Das Totenritual der Dajak, Ethnologica,, Koln.1959) dengan melihat dari segi ritus kematian. Ia memang bertolak dari pembagian yang telah dilakukan oleh Mallinckrodt, lalu mengadakan penyempurnaan-penyempurnaan sesuai dengan criteria yang di pakai, yaitu ritus kematian. Menurut Stohr ada 6 kelompok besar: (1) Kenya-Kayan-Bahau, (2) Ot Danum, yang dibagi menjadi: a. Ot Danum-Ngaju, b. Maanyan-Lawangan, (3) Iban, (4) Murut, yang mencakup: Dusun Murut-Kelabit, (5) Klemantan, meliputi: a. Klemantan, b. Dayak Darat (Land Dajak), (6) Punan. Ketiga, diadakan oleh A.D.Hudson yang membaginya menurut bahasa. Penelitian hanya terbatas pada suku-suku yang berada dikalimantan tengah dan selatan serta sebagian di Kalimantan timur yang berbatasan dengan Kalteng. Ia mengambil batasan wilayah kesebelah utara sampai pegunungan Schwaner-Muller dengan sungai-sungai busang, murung dan mahakam; ke sebelah barat di daerah sungai mentaya dan sebelah selatan dan timur sampai ke daerah pantai di laut jawa dan selat makasar. Wilayah ini dihuni oleh kelompok Ot Danum (kalau kita lihat versi Mallinckrodt dan Stohr, pen.). menurut Hudson, kelompok ini secara bahasa ia golongkan sebagai keluarga Barito (Language of the Barito Family).
Cirri-ciri pokok kebudayaan dayak
Adanya pembagian suku-suku dayak dalam kelompok-kelompok besar berdasarkan kesamaan hokum adapt, bahasa ataupun ritus kematian memperlihatkan adanya keragaman yang cukup alami mengingat kondisi geografis dan demografis Kalimantan. Namun kita dapat menelusiri beberapa ciri pokok yang sifatnya khas yang memperlihatkan kesamaan kebudayaan di antara semua suku Dayak di Kalimantan.
1. Rumah panjang (lamin, betang, balai, lawu hante)
Semua suku dayak, kecuali suku punan yang hidup mengembara, pada mulanya berdiam di rumah-rumah panjang yang disebut lamin, betang, balai, lewu hante, dsb. Cirri-ciri khas rumah panjang ini: dibangun diatas tiang-tiang yang cukup tinggi; didalamnya selalu terdapat ruangan yang luas yang digunakan untuk kepentingan bersama, seperti upacara adapt, tempat tamu bermalam dsb. ; masing-masing keluarga menempati satu kamar, sedangkan jejaka yang belum menikah tidur diruangan umum. Pasangan yang baru menikah dapat membangun kamar tambahan pada rumah panjang itu. Itu sebabnya rumah panjang ini bisa berkembang dan menjadi semakin panjang.
Rumah panjang ini berfungsi sebagai:
- tempat perlindungan dari segala macam bahaya, baik dari binatang buas maupun dari musuh-musuh lainnya;
- pusat seluruh kehidupan suku, karena disitulah semua upacara, baik yang menyangkut kehidupan pisik maupun rohani, diselenggarakan; dari situ mereka berangkat mencari nafkah dan kesitu mereka membawa rejeki;
- lambang kehidupan komunal yang harmonis; di rumah panjang tidak ada yang kekurangan dan tidak ada yang kelebihan; keseluruhan penghuni bertanggungjawab memelihara kesejahteraan bersama;
- pusat pendidikan dan pembinaan kaum muda. Di dalam bahasa maayan, balai ini disebut sebagai “balai mantawara, jaru mantaajar” yang artinya balai pendidikan, tempat pengajaran. Dalam penguraiannya dikatakan: “jika gadis-gadis belum bisa mengayam para jejaka belum bisa membuat tali dan menempa tombak, naiklah kebalai pendidikan dan ruang pengajaran, supaya si cantik manis pandai mengayam si pria gagah mamapu membuat tombak.”.
2. senjata : Mandau dan Sumpitan
Senjata yang khas dan dimiliki oleh semua suku Dayak adalah Mandau, yang tidak dimiliki oleh suku-susku lain di Indonesia. Sejenis pisau yang panjang, dibagian pangkal kecil tebal, kemudia kian melebar dan sedikit melengkung. Di bagian ujung melancip. Di sepanjang alur pisau dihiasi dengan ukiran dan kadang-kadang diisi perak atau kuningan. Kepala atau hulu mandau ini terbuat dari kayu atau tanduk, juga diukir. Demikian pula sarung pisau terbuat dari kayu berukir, dan kadang-kadang dari kulit binatang. Yang sangat unik dari mandau ini, ialah apabila ia diikatkan dipinggang, maka mata pisau yang tajam itu selalu terarah keatas/kedalam dan tidak kebawah seperti halnya pada senjata-senjata jenis pisau lainnya. Dan ini hanya terjadi pada mandau. Ini memberi petunjuk pada cara penggunaan praktis dalam ilmu pertempuran. Dengan sekali mencabut langsung menyerang, dengan tidak menggunakan gerakan mengayun tangan dari atas ke bawah.
Sumpitan juga merupakan senjata khas Dayak, yang terbuat dari kayu ulin (kayu besi) yang sangat keras demi mempertahankan daya tahan kelurusannya. Senjata ini digunakan untuk berburu dan berperang dangan mempergunakan Damak. Damak ini ada yang beracun dan ada pula yang tidak. Racunnya pun ada bebagai jenis, dari sifatnya sekedar sebagai pembius sampai pada mematikan langsung. Mengenai senjata sumpitan ini saya tidak mengetahui secara pasti apakah juga dimiliki oleh suku-susku lain di Indonesia. Tetapi yang pasti semua suku Dayak memiliki dan mengenal senjata sumpitan ini. Ketika senjata api sebagai alat berburu ditarik masyarakat, kita melihat bagaimana sumpitan berfingsi lagi.
3. anyaman
Kerajinan rumah tangga yang berupa anyaman (khususnya dari rotan) terdapat dari semua suku Dayak. Yang unik adri anyaman ini nampak dalam 2 (dua) bentuk, yaitu: a. tikar tidur dan tikar upacara, dan b. keranjang angkut yang bertali bahu. Tikar tidur dan tikar upacara pada umumnay dianyam dengan janinan rotan halus dengan motif-motif yang diambil dari mitologi suku. Tiap-tiap motif mempunyai nama dan makna sendiri.
Sedangkan keranjang rotan, khususnya keranjang angkut yang diberi bertali untuk bahu, menurut saya unik dimiliki oleh suku dayak. Keranjang angkut ini fungsi dan kegunaannya bermacam-macam, ada untuk pakaian, padi, kayu baker, dsb. Kegunaannya itu nampak dalam bentuk halus-kasarnya pembuatannya, demikian pula besa-kecilnya keranjang tersebut.
4. tembikar
Bejana, tempayan, belangan tembikar sejak ribuan tahun merupakan bagian dari tradisi suku-suku dayak di Kalimantan. Fungsi bejana ini pun beraneka ragam, dari tempat penyimpanan beras, tuak dan benda-benda lainnya sampai kepada tempat penyimpanan mayat. Bentuk dan motif yang ada pada bejana ini pun bermacam-macam pula yang menentukan penggunaannya. Ia juga merupakan lambang kekayaan dan status social seseorang. Di kalangan suku-suku tertentu bejana merupakan salah satu syarat sebagai “mas kawin”.
5. system perladangan
Sisten perladangan (berpindah) adalah budaya yang merata di kalangan penduduk asli Kalimantan. Walaupun ini tidak dapat dikatakan khas dayak, karena system perladangan ini terdapat dimana-mana di Indonesia ini, namun ada segi-segi yang khas dapat dikategorikan sebagai budaya suku dayak. Hal ini nampak dalam ketentuan-ketentuan adapt berladang:
- permintaan izin dari kepala suku/kepala adapt;
- pencarian hutan dengan mengikuti ketentuan-ketentuan tertentu, baik dari segi pengetahuan tentang alam, maupun dari segi kepercayaan apakah hutan yang akan digarap itu akan mendatangkan kebahagiaan atau kecelakaan;
- upacara membuka hutan dan penggarapan selanjutnya seperti tebang, bakar dan pembersihan;
- penanaman padi dengan system “menugal” yaitu mengunakan tongkat kayu untuk membuat lubang di tanah yang kemudian diisi dengan benih padi;
- pekerjaan-pekerjaan berat seperti pembukaan awal dan penugalan biasanya dilakukan secara gotong royong oleh seluruh penduduk; pekerjaan ini dilakukan secara bergiliran ditiap-tiap lading. Dengan demikian kebutuhan akan tenaga kerja dapat diatasi bersama;
- kerja menuaipun dilakukan lagi secara gotong-royong;
- peristiwa menugal dan menuai dianggap peristiwa kegembiraan, dan sebab itu hamper selalu dibarengi dengan nyanyian dan tari-tarian.
Walaupun ada diantara suku-suku Dayak ini yang telah mempergunakan system persawahan, dengan irigasi dan pemakaian bajak yang ditarik kerbau, seperti dikalangan suku-suku Lun Daye di Karayam – Kaltim dan suku Kalabit, namun pada umumnya semua terbiasa dengan system perladangan. System perladangan ini sudah memeperhitungkan siklus rotasi tanaman, dengan menanam kembalii bekas perladangan dengan tanaman-tanaman keras seperti kopi, karet dan pohon buah-buahan. Juga dengan membiarkan bekas lahan itu menjadi hutan belukar kembali sehingga memperoleh kembali kesuburan dalam kadar yang cukup, kemudia setelah masa daur 4-6 tahun baru diharap kembali. Oleh sebab itu perladangan (berpindah) tidak bisa dikambinghitamkan sebagai penyebab kerusakan hutan atau lingkungan hidup.
6. kedudukan wanita dalam masyarakat
System geologis dalam masyarakat Dayak adalah parental, di mana garis keturunan ayah-ibu dianggap sama. Ini berbeda dengan system patrilineal (garis keturunan ayah/lelaki) ataupun system matrilineal (garis keturunan ibu/perempuan). Karena itu dalam masyarakat dayak pada hakekatnya kaum wanita mempunyai kedudukan yang sama dengan kaum pria. Baik dalam kehidupan social maupun kehidupan religius kaum wanita cukup menonjol peranannya. Bila dibandingkan dengan agama-agama lain seperti Kristen yang memerlukan waktu yang panjang sekali untuk membangkitkan wanita menjadi pendeta. Maka dalam masyarakat dayak sudah sejak semulanya kaum wnaita berperan sebagai balian (imam, prietress). Di kalangan suku Maayan umpamanya, jabatan balian kematian (wadian matei) hanya dijabat kau wanita.
Kedudukan saa kaum wanita ii dijamin dalam hokum adapt, seperti dalam hokum adapt perkawinan. Pada dasarnya perkawinan di kalangan susku dayak bersifat monogamy. Adanya poligami adalah suatu keadaan yang tidak normal, keadaan yang luar biasa atau diluar kebiasaan. Bila hal tersebut terjadi ada ketentuan adapt yang memberikan keunggulan kepada istri pertama. Bila terjadi perjinahan, ada sanksi-sanksi yang tegas dalam hokum adapt. Biasanya pengaturannya cukup rinci, seperti:
- perjinahan dengan wanita yang sudah bersuami; inipun dibedakan lagi antara wanita yang sudah punya anak dengan yang belum punya anak.
- Perjinahan yang dilakukan oleh lelaki yang sudah beristri hukumnya berbeda dengan lelaki yang belum beristri; dan banyak lagi ketentuan-ketentuan adapt yang pada dasarnya hendak menjamin kedudukan wanita.
7. seni tari
Dalam masyarakat tradisional, tdilaksanakan selalu dalam konteks ritual dan seremonial. Namun ada juga tarian yang diadakan pada kesempatan umum, seperti pada waktu gotong-royong menanam padi dan waktu menuai. Tarian pada dasarnya merupakan seleberasi kehidupan. Oleh sebab itu sejauh saya mengetahui, hokum adapt dikalangan suku dayak melarang diadakannya tari-tarian selama masa tertentu setelah peristiwa kematian. Pada akhir ritus kematian, yang menandakan kembali ke kehidupan, diadakanlah pesta tari-tarian yang meriah.
Tarian dikalangan suku dayak tidak dikhususkan kepada kaum spesialis penari, tetapi pada dasarnya selalu merupakan tarian rakyat, di mana setiap orang, laki-perempuan, tua-muda ikut berpartisipasi. Falsafah tarian itu selalu menunjuk kepada perayaan kehidupan, kelepasan dari ketakutan terhadap maut serta segala rasa duka pribadi; ia melukiskan klimaks dramatis dari suatu transisi dari kematian ke kehidupan.
Sebagai tarian rakyat, walaupun ada pola gerak tarian itu, namun setiap peserta bebas mengadakan improvisasi-improvisasi menurut variasinya sendiri. Tidak ada gerak yang didiktekan oleh bentuk tarian tersebut. Semua tarian dikalangan suku dayak memperluhatkan wajah tarian popular, artinya tidak merupakan ungkapan feudal, seperti tarian keratin dan sejenisnya. Kebebasan mengadakan inprovasisasi dalam tarian memperlihatkan adanya aspek-aspek kompetitif yang kreatif.
Masa kini sebagai akibat tuntutan kemoderenan, apa lagi dalam proses melakukan parawisata, maka gerakan-gerakan bebas itu telah dikoreografikan menjadi gerakan kelompok, yang dilakukan oleh para penari menurut pola geometris dengan gerak-gerak bersama. Masalahnya tentu bagaimana menemukan jalan agar kekuatan vital dan orisinalitas tarian itu dapat dilanjutkan dan dipertahankan.
Pengembangan kebudayaan dalam rangka meningkatkan taraf hidup
Dengan megemukakan cirri-ciri pokok yang menunjukkan kesamaan kebudayaan suku-suku dayak di Kalimantan tidak berarti bahwa hanya ada 7 (tujuh) cirri yang bisa ditemukan. Cirri-ciri pokok yang saya kemukakan sebagian besar diambildari perwujudan kebudayaan material (fisik) dan hanya 2 (dua) yang bersifat kebudayaan spiritual (non-fisik). Akan ditemukannya lebih banyak lagi cirri-ciri kebersamaan itu apabila kita mengali kebudayaan spiritual, seperti umpamanya budaya mengayau, pandangan tentang asal usul insane suku, system religi, dsb.
Kebudayaan sebagai hasil budi daya manusia mengandung pula kumpulan nilai-nilai yang positif dan yang hidup di dalam masyarakatnya. Nilai-nilai inilah yang ikut menentukan pandangan hidup (lebensanschauung) dan pandangan tentang dunia (weltanschauung). Oleh sebab itu kebudayaan dialami sebagai kekuatan integrative dan memberikan jatidiri bagi pendukungnya. Masalah yang dihadapi sekarang bagaimana memelihara kekuatan intergratif kebudayaan itu dalam rangka membangun perekonomian rakyat demi meningkatkan taraf hidup yang berkualitas.
Ada beberapa pokok pikiran minimal dapat dilaksanakan dalam upaya meningkatkan perekonomian rakyat pedesan, yaitu:
1. memelihara, mengembangkan dan meningkatkan semangat rumah panjang. Inti semangat rumah panjang adalah menopang, memelihara dan meningkatkan kesejahteraan bersama, merasa memiliki bersama dan sebab itu merasa ikut bertanggung jawab, tidak membiarkan salah satu warga sengsara sedangkan yang lainnya sejahtera. Wadah ekonomi modern di mana semangat ini dapat dikembangkan adalah koperasi. Oleh sebab itu Pembina dan pengembangan koperasi hendaknya didekati secara cultural apabila koperasi diharapkan dapat berperan dalam pembangunan perekonomian rakyat.
2. menghidupkan kembali dan mengembangkan kesenian dayak. Apabila selama ribuan tahun seni sangat berperan dalam kehidupan masyarakat dayak, seperti tembikar, seni ukir, seni anyam, manik-manik, arsitektur, tari, dsb., maka dijaman modern sekarang ini karya-karya seni itu dapat menjadi sumber penghasilan bagi penduduk. Yang dapat diusahakan untuk meningkatkan ekonomi penduduk di lewat sini, maka diadakan pembinaan dan pendidikan kaum muda didesa-desa untuk memiliki keterampilan di berbagai bidang seni tadi. Dengan mengembangkan kesenian ini tidak mustahil dapat dikembangkan industri rumah tangga seperti halnya di Bali. Untuk itu diperlukan pula kemauan politik dari pihak pemerintah di keempat propinsi.
3. mengembangkan dan memodernisasi system perladangan. Untuk mengembangkan sstem peladangnya ada beberapa alternative yang dapat dicapai, seperti yang di katakana oleh Prof. DR. Mubyarto dan kawan-kawannya (lih. Kajian Sosial Ekonomi Desa-Desa Perbatasan di Kalimantan Timur, Aditya Media, Yogyakarta, 1991, hal, 70-71), yaitu:
- system perladangan harus diakui sebagai bagian kebudayaan masyarakat peladang, seperti halnya system pertanian padi sawah adalah bagian dari kebudayaan masyarakat Jawa, dengan demikian pertanian berladang harus diberi hak hidup dan bukan untuk diganti dengan system pertanian yang berasal dari kebudayaan lain.
- Dalam system pertanian berladang, kita dapat menemukan berbagai bentuk cara bertani alternative yang dapat kita kembangkan sebagai pendekatan alternative bagi pengembangan masyarakat peladang. Di Kalimantan para peladang telah lama mengembangkan siatu system agro foresty siklus bergantian dengan cara menanami lahan bekas lading dengan rotan, karet, atau tanaman lain.
4. memelihara dan meningkatkan peranan wanita. Dalam kedudukannya yang sama dengan pria, wanita dayak adalah pelaku ekonomi yang sangat menentukan, baik bagi pengembangan masyarakat peladang, penghasil karya-karya kerajinan tangan dan dlam pelaksanaan transaksi jual beli. Yang perlu dikembangkan adalah meningkatkan keterampilan mereka hingga mampu berprestasi lebih dalam rangka upaya membangun perekonomian keluarga dan masyarakat pedesaan umumnya.
Penutup
Apa yang disajikan ini merupakan upaya awal untuk memahami kerangka dasar kebudayaan dayak yang dapat merupakan satu kesatuan cultural. Selanjutnya, untuk meyakinkan orang dayak untuk tidak merasa malu, terhina dan dianggap rendah apabila menggunakan nama identitas bersama “Dayak”. Nama identitas bersama ini telah mendapat tempat terhormat dalam kamus kehidupan masyarakat Indonesia, dan sebab itu adalah wajar dan layak apabila orang-orang dayak itu menjaga memelihara identitas terhormat tersebut dengan mengembangkan secara positif dan kreatif kebudayaan dayak sebagai bagian dari keseluruhan kebudayaan nasional.
Akhirnya, sudah pasti bahwa apa yang saya sajikan masih belum memadai dan perlu dikembangkan dimasa-masa mendatang. Harapan saya kiranya sumbangan ini dapat bermanfaat bagi masyarakat Kalimantan.
Senin, 14 April 2008
Kebudayaan Orang Dayak
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar