Di Rasa Di Roso Di Tarah Di Kakap

Senin, 31 Maret 2008


KILAS BALIK NAIK DANGO
By. F . Bahaudin Kay

Adil ka ‘ Talino bacuramin ka saruga basengat ka’ Jubata .
Segala puji dan syukur kita panjatkan kehadirat tuhan yang maha esa karna atas bimbingan dan petunjuk-Nya, ini dapat diselesaikan dengan thema “Kilas balik Naik Dango “.thema ini diangkat atas permintaan panitia penyelenggara upacara adat naik dango sehubungan akan diadakannya seminar pada tanggal 26 april 2005.
Penulis beranggapan bahwa thema tersebut tepat sekali dan mempunyai relevansi yang kuat dengan adanya penyelenggaraan upacara naik dango ini. Thema tersebut seolah – seolah ingin mengajak kita untuk menelusur ulang perjalanan naik dango sejak 20 tahun silam hingga sekarang tulisan ini disajikan untuk dapat memberikan informasi yang jelas tentang upacara adat naik dango, baik visi dan misinya maupun jiwa dan makna filosofisnya. Dalam 20 tahun perjalanannya banyak sekali interprestasi, respon dan sikap tanggapan yang diberikan oleh beberapa kalangan masyarakat sehingga apabila dikelompokan akan terjadi dua kelompok yaitu kelompok pro dan kontra. Terlepas dari pro dan kontra, terkandung harapan agar seminar ini dapat dijadikan ajang diskusi yang sehat untuk dapat menempatkan permasalahan pada proporsi yang sebenarnya.
Mengawali perjalanan naik dango ini, terlebih dahulu penulis memaparkan tulisan tentang dewan adat, karena berbicara tentang naik dango tidaklah lengkap apabila kita tidak membicarakan dewan adat karena keduanya mempunyai hubungan yang sangat erat, ibarat hubungan seorang anak dengan ibunya atau sebaliknya.
Dengan segala kerendahan hati penulis sangat mengharapkan pokok – pokok pikiran, baik berupa saran maupun berupa kritik yang konstruktif, guna dapat menyempurnakan tulisan ini. akhirnya ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada panitia penyelenggara seminar dan kepada persekutuan komunitas masyarakat adat (PAKAT) yang telah membantu kami sehingga tulisan ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.

POKOK PIKIRAN
Apabila kita ingin berbicara tentang upacara adat naik dango, maka kita pun tidak terlepas harus membicarakan Dewan Adat, karena keduanya merupakan suatu rangkaian kegiatan yang tak terpisahkan ibarat anak dengan ibunya.
Penulis adalah seorang temenggung Binua Temila Hilir I ( Soari) di kecamatan Segah Temila Kabupaten Landak yang dilantik pada tahun 1975 hampir 30 tahun yang lalu.
Sebagai fungsionaris adat yang mempunyai kompentensi terhadap adat istiadat dan hukum adat, penulis menyadari banyak sekali hal-hal yang secara prioritas perlu segera dibenahi, terutama yang menyangkut penerapan hukum adat, yang berbeda- beda antara binua yang satu dengan binua yang lain sehingga menyebabkan tidak tertibnya pelaksanaan hukum. Hal yang demikian sangat memberikan peluang bagi orang – orang yang tidak bertanggung jawab untukmelakukan manipulasi hukum, apalagi pada saat itu para fungsionaris adat sudah semakin parah dan rapuh terutama yang menyangkut wibawa para funsionaris karena hukum sering dilecehkan. Temenggung dianggap sebagai seorang tua bangka yang sudah pikun tidak berdaya.
Kejayaan hukum adat masa lalu, seolah – olah hanya merupakan nostalgia belaka bagi para temenggung, dimana pada saat itu hukum betul – betul dihormati dan dipatuhi dan wibawa para temenggung cukup tinggi sementara masyarakat adat hidup dalam keadaan rukun dan damai.
Proses degradasi adat dan hukum adat ini sudah berlangsung sejak lama secara akumulatif yang disebabkan oleh beberapa faktor antara lain sebagai berikut yaitu :
 Kaum intelek kita yang sudah berpendidikan tinggi atau maju sehingga menganggap adat sesuatu yang sudah kuno, ketinggalan jaman bahkan sebagai penghambat kemajuan.
 Kaum fanatisme agama, dimana mereka menganggap bahwa adat adalah sesuatu penyembahan berhala yang sangat bertentangan dengan ajaran agama mereka. Adat adalah suatu kepercayaan yang sia- sia, menyembah batu dan pohon serta binatang.
 Situasi politik dimana pada saat PKI berkuasa, adat ditentang habis – habisan, dianggap feodal, kolonial dan para temenggung dianggap sebagai salah satu setan desa yang harus dibasmi.
 UU no.5/1974 tentang pemerintahan daerah, dimana subsidi desa telah menghancurkan semangat gotong royong masyarakat dan telah menyebabkan para kepala kampung memfokuskan fungsinya sebagai pengelola subsidi desa dan kurang memperhatikan tugasnya sebagai fungsionaris adat.
 UU no 5/1979 tentang pemerintahan desa, dimana para kepala desa hanya berfungsi dibidang pemerintahan , terpisah dari fungsi adat yang hanya ditangani oleh para temenggung; hal itu menyebabkan hilangnya jenjang adat dibawah temenggung. jenjang ini baru diganti dengan jenjang yang disebut Pasirah, setelah terbentuknya dewan adat.
 Adanya dari Kejagung Bidang Operasional yang ditujukan kepada bapak kejagung diJakarta pada tahun 1975 yang mengusulkan agar hukum adat tidak berlaku diKalimantan Barat karena sudah ada hukum Negara ( KUHP).
 Penegasan bapak kajati Kalbar ( bapak S. L. Tobing SH) berserta muspida TK. I Kalbar pada penataran para kepala adat se-Kalimantan barat diwisma merdeka Pontianak pada tahun 1982. dengan disertai sedikit argumentasi, pada saat itu, penulis langsung memberikan tanggapan, sehingga akhirnya tercapai suatu persetujuan bahwa hukum adat tetap dapat dilaksanakan sepanjang melicinkan ( membatu ) hukum Nasional.
 Surat kejagung bidang operasional tersebut, telah ditanggapi bahwa hukum ( adat ) sebagai alat tidak semestinya ditindak, ibarat membunuh kepinding, jangan kelambunya yang dibakar .
 Dan lain- lain.

Mengenang nostalgia kejayaan adat dimasa lalu, hingga saat – saat menuju kehancurannya dengan kondisi yang ada pada saat ini, akhirnya mendesak penulis yang juga sebagai fungsionaris adat untuk memulai langkah – langkah perbaikan dan penanggulangan. Penulis memprakarsai musyawarah adat pertama sekecamatan Sengah Temila pada tanggal 23-24 mei 1978 di Pahauman .
Biaya musyawarah tersebut seluruhnya ditanggung oleh masyarakat adat dengaan mengumpulkan sumbangan satu kaleng beras dan satu kaleng beras ketan serta uang Rp.100,- setiap kepal keluarga.
Musyawarah yang berlangsung digedung serba guna Pahauman itu pada mulanya hanya mengagendakan 2 hal pokok yaitu :
1. Menyeragamkan hukum adat ( unifikasi ) dikecamatan Sengah Temila
2. Mencatat / membukukan ( kondekfikasi ) hukum adat.

Namun kemudian musyawarah itu menghasilkan keputusan :
1. Membentuk wadah adat ditingkat kecamatan yang diberi nama badan koordinator adat kecamatan Senga Temila.
2. Mengesahkan susunan pengurus dan memilih sdr. F. Bahudin Kay (penulis ) sebagai ketua koordinator adat kecamatam Sengah Temila untuk masa bhakti 1979- 1983.
3. menetapkan simbol / lambang adat yang terdiri dari gantang dan pamipis dalam lingkaran segi lima dan dasarnya terdiri dari sebuah balok yang bertulisan motto adat.
4. menetapkan motto adat yang berbunyi “ ADIL KA ‘ TALINO BACURAMIN KA’ SARUGA BASENGAT KA’ JUBATA ”.
5. Kodefikasi dan unifikasi hukum adat diserahkan kepada pengurus terpilih , sebagai amanah musyawarah yang harus dilaksanakan.

Musyawarah berakhir dengan sukses dalam perjalanan selanjutnya badan kordinator adat dapat melaksanakan amanah musdat sehingga pelaksanaan hukum adat telah dapat diseragamkan diseluruh kecamatan Segah Temila namun kodefikasi hanya sebatas stensilan / catatan saja. (**) dst ----------------
Sekedar untuk diketahui bahwa konsef /rancangan simbol dan motto adat tersebut dilakukan oleh penulis dibantu oleh Bpk.Bernad Lamid seorang pensiunan pegawai negeri dan bapak Jolong seorang muslim dayak pensiunan ABRI dan kemudian konsef / rancangan ini disetujui dan disahkan oleh musdat.
Pada tahun 1982 penulis pindah kemempawah, mengikuti karir diasuransi sebagai kepala unit produksi (KUP) Asuransi jiwasraya Mempawah.
( Mulai dari sejak berdirinya badan kordiator adat, maka setiap kasus perkara yang tidak dapat diselasaikan ditingkat binua dapat diteruskan ditingkat kecamatan oleh badan kordinator adat kecamatan Sengah Temila) .tiga tahun setelah penulis bermukim dikota Mempawah tepatnya pada tahun 1985, penulis mulai memprakarsai musyawarah adat ditingkat Kabupaten. Dengan dasar pemikiran sebagaimana ide untuk mengadakan musyawarah adat dalam rangka pembentukan badan koordinator adat dikecamatan Sengah Temila tahun 1978 yang lalu.
Jika terjadi suatu kasus perkara yang tidak dapat diselesaikan diantara dua kecamatan dalam kabupaten, tentu saja perkara tersebut dapat diteruskan ditingkat yang lebih atas di kabupaten, dengan demikian perlu adanya yang lebih tinggi ditingkat kebupaten. Badan itu perlu harus di bentuk melalui musdat, apapun namanya. Selain itu keterpurukan perjalanan adat juga tetap menjadi dorongan ide ini.
Dengan tekad dan kemaun yang kuat akhirnya terbentuklah sebuah panitia musdat dan penulis sendiri terpilih sebagai ketua dan sekretarisnya Bapak Thomas Mekan. SH. Rapat kegiatan panitia di kantor lurah Anjungan.
Muyawarah adat akhirnya dapat dilaksanakan pada tanggal 23-25 maret 1985 bertempat digendung SMP Negeri Anjungan dibuka oleh Bapak Bupati Kabupaten Pontianak Bapak Drs. H.Muchal Taufik serta para tokoh dan pemuka, masyarakat adat dan utusan / peserta dari 10 kecamatan dalam Kabupaten Pontianak. Untuk mengkaper seluruh rapat – rapat selama musyawarah telah ditunjukan bapak Drs.Tarsisius Uriyang selaku notulis. Musyawarah berlangsung dengan aman, tertib dan sukses menghasilkan beberapa keputusan sebagai berikut :
1. mengesahkan pembentukan wadah adat ditingkat kabupaten yang diberi nama “ DEWAN ADAT DAYAK KANAYATN KABUPATEN PONTIANAK” .
2. Menetapkan pengurus dewan adat dayak kanayatn Pontianak masa Bhakti 1985-1990 dengan ketua umum F. Bahaudin Kay ( penulis ) dan sekretaris umum adalah Bapak Thomas Mekan SH, sedangkan Bapak RA.Racmad Sahudin Bsc dan Bapak Drs. M. Ikot Rinding masing – masing sebagai ketua dan sekretaris penasehat dewan adat dayak kanayatn Kabupaten Pontianak.
Organisasi ini dilengkapi pula dengan seksi – seksi.
3. Organisasi ini berkedudukan di Mempawah ibu kota kabupaten Pontianak.
4. Menetapkan simbol adat yang terdiri dari gantang dan pamipis dalam lingkaran segi lima dimana pengurus dewan adat diberikan mandat untuk menyempurnakannya ,dan yang menyempurnakan selanjutnya intensipnya hanya dilakukan ketua umum bersama sekretaris sehingga hasilnya seperti yang ada sekarang ini.
5. Menetapkan motto adat “ Adil Ka’ Talino bacuramin Ka’ Saruga basengat Ka’ Jubata “ yang tercantum dalam sebuah pita yang terletak pada bagian dasar simbol adat.
6. Masalah unifikasi dan kodefikasi hukum adat diserahkan sepenuhnya kepada pengurus dewan adat terpilih.

Dalam kurun waktu tidak lebih dari 6 (enam ) bulan setelah selesai musyawarah adat dayak kanayatn terbentuklah dewan adat di 10 kecamatan dalam kabupaten pontianak yaitu :
1. Dewan adat dayak kanayatn kecamatan sungai piyuh yang meliputi kecamatan Mempawah Hilir. Terpilih K. Syaali sebagai ketua.
2. Dewan Adat dayak kanayatn kecamatan Toho, terpilih Lehon Taer sebagai ketua .
3. Dewan adat dayak kanayatn kecamatan Mempawah Hulu terpilih . A.Rakos ( alm) sebagai ketua .
4. Dewan adat dayak kanayatn kecamatan Menjalin, terpilih sdr.Dembon ( alm ) sebagai ketua.
5. Dewan adat dayak kanayatn Kecamatan Mandor, terpilih sdr, Doli Matnor sebagai ketua.
6. Dewan adat dayak kanayatn Kecamatan Sengah Temila, terpilih sdr. VC.Kader Aceh sebagai ketua.
7. Dewan adat dayak kanayatn Kecamatan menyuke,terpilih sdr. Ikot Rinding sebagai ketua.
8. Dewan adat dayak kanayatn Kecamatan Ngabang terpilih sdr.Abi Kusno Borneo sebagai ketua.
9. Dewan adat dayak kanayatn Kecamatan Air Besar, terpilih sdr.M. Manis Ate sebagai ketua.
10. Dewan adat dayak kanayatn Kecamatan sungai Ambawang yang meliputi Kotamadya Pontianak dan Kecamatan – kecamatan Pantai terpilih Sdr. Y. Jairi sebagai ketua.
Beberapa tahun kemudian menyusul pula pembentukan Dewan Adat dayak kanayatn Kabupaten Sambas yang dilaksanakan di Bengkayang, kemudian menyusul pembentukan Dewan adat Dayak Sintang, Sanggau, Kotamadya Pontianak serta Dewan adat dayak Kabupaten Ketapang dan Kapuas Hulu. Ditingkat Propinsi kemudian dibentuk Majelis adat dayak (MAD )Propinsi Kalimantan Barat pada tahun 1998.

NAIK DANGO.

a. Pokok Pikiran.
Mendirikan suatu Organisasi memang mudah, apalagi suatu organisasi seperti dewan adat yang bergerak dibidang sosial kemasyarakatan namun bagaimana untuk mengupayakan organisasi ini tetap eksis adalah merupakan suatu hal yang sangat sulit.
Inilah suatu pertanyaan besar yang harus mampu dijawab, setelah terbentuknya Organisasi Dewan Adat hasil Musyawarah adat I dayak kanayatn Kabupaten Pontianak.
Untuk menjaga agar organisasi itu tetapo eksis, biasanya harus ada kegiatan – kegiatan dan pertemuan – pertemuan periodik yang dilaksanakan oleh pegurus organisasi, ibarat bunga yang sering disiram supaya tidak layu dan tetap segar.
Struktur dewan adat Kabupaten yang membawahi dewan adat Kecamatan hingga Temenggung Binua, Pasirah dan Panggaraga sebenarnya adalah merupakan untaian mata rantai kegiatan secara berjenjang sehingga keberadaan wadah dewan adat ini sangat berfungsi bagi masyarakat terutama yang menyangkut hukum adat.
Namun wadah dewan adat tidak hanya harus dikenal urusan hukum adat saja tetapi perlu juga untuk mengadakan suatu pertemuan yang bersifat terbuka dan menyluruh secara periodik dengan maksud dan tujuan yang lebih luas.
Menurut penulis bahwa pertemuan yang seperti itu hanya bisa dimungkinkan dengan mengangkat suatu event adat, dan event adat yang paling tepat adalah event adat naik dango. Karena adat naik dango dilaksanakan setiap tahun setelah selesai panen acara syukuran kepada jubata atas hasil panen yang diperoleh dan memohon jubata agar hasil panen tahun berikutnya berlimpah ruah pula. Adat naik dango telah dilaksanakan sejak turun temurun dikecamatan Sengah Temila, namun dikecamatan lain pun adat naik dango ini telah lama dilaksanakan ,hanya nama dan cara pelaksanaannya yang berbeda tetapi tetap mempunyai tujuan yang sama.

TRDISI ADAT NAIK DANGO.

Masyarakat adat dayak kanayatn hampir seluruhnya adalah masyarakat petani . Mereka sangat menyayangi dan menghormati padi karena padi dianggap sebagai manusia. Kadang kala ia dianggap sebagai seorang anak yang harus disayangi sehingga ia harus ditimang, dan wujud ini dapat kita saksikan dengan acara nimang padi dalam upacara adat naik dango. Kadang kala juga ia dianggap orang tua yang harus kita perlakukan dengan hormat, halus dan sopan tidak ramong atau kasar. hal ini terwujud dalam upacara adat “ niduratn padi ” didalam dangau padi ,dan adanya semacam pantangan untuk mengucapkan kata – kata kasar / ramong pada waktu makan dan pada waktu menuai padi disawah atau diladang seperi ucapan “ gajah “ atau “ panitah “ jika diperlakukan dengan kasar atau tidak hormat maka sumangat padi akan lari sehingga mengakibatkan hasil padi menurun. menurut alam pikiran mereka, padi dianggap sebagai kehidupan, sebab tanpa padi manusia tidak dapat makan / hidup, sehingga ada ungkapan “kami menghidupi kita,‘ kita’ uga’ nang ngidupi’ kami”.Biasanya padi yang dipanen ditumpuk didalam langkau untuk memudahkan penjemurannya hingga kering sebelum disimpan didalam dangau . setelah seluruhnya selesai dipanen dan padi yang dijemur didalam langkau itu dipindahkan kedalam dangau. Sebagai wujud prilaku dan menghormati padi, maka pada saat mencedok padi didalam langkau itu harus disertai dengan upacara adat yang disebut “ Muat langko “ dengan persembahan korban ayam . Maksudnya agar padi yang dipindahkan itu jangan merasa tergaggu dan mohon berkat kepada Jubata.
Demikian pula padi yang disimpan didalam dangau harus disertai dengan upacara adat yang disebut “ niduratn padi ka’dango “.
Maksudnya agar padi yang dianggap sebagai “ orang tua” itu dapat berisrirahat dengan tenang dan tidur dengan nyenyak di dalam dango. Padi yang disimpan didalam dangau itu tidak boleh diambil sebelum diadakan upacara adat tidak boleh sembarangan . oleh karena itu untuk memenuhi keperluan makan sehari – hari sebelum tiba saatnya upacara adat naik dango,maka pada saat muat langko tidak semua padi harus disimpan didalam dango. Harus ada sedikit yang dipersiapkan yang disebut “ padi soangan “ persiapan padi untuk dimakan sehari – hari sebelum sampai waktunya naik dango.
Sebagai upacara adat yang dilaksanakan setiap tahun setelah usai panen , upacara adat naik dango biasanya disertai pula dengan upacara – upacara adat lainnya yang kesemuanya dapat disimpulkan sebagai cara syukuran kepada jubata . upacara – upacara adat tersebut yaitu :
1. Upacara persembahan diruang tamu ( ka’ sami’) dimaksudkan sebagai syukuran atas segala rejeki yang diterima sepanjang tahun , menurut orang kanayatn bahwa rejeki yang diterima datang dari arah depan (sami’ ) bukan dari belakang.
2. Persembahan diruang tengah ( ka’ tangah milik ) , dimaksudkan sebagai syukuran karena keluarga ini telah diberikan berkat berupa kesehatan.
3. Persembahan ditempat ( tempayan ) penyimpanan beras (ka’pabarasatn ). Dimaksudkan sebagai syukuran atas berkat yang diterima berupa rejeki makanan setiap hari.
4. Persembahan disado manok ( kandang ayam ) dan dipadulangan (kandang babi ) sebagai syukuran atas berkat yang diterima sehingga mudah memelihara ternak ayam dan babi seperti yang diungkapkan dalam doa adat “ bajalu sakumakng lati ‘ bamanok sasige aur”.
5. Persembahan didalam dangau padi yang dimaksud sebagai syukuran atas hasil panen yang di peroleh dan memohon agar hasil tahun berikutnya merimpah ruah .
Rata – rata korban persembahan itu adalah ayam, kecuali persembahan diruang tamu ( tangah sami’) menggunakan persembahan ayam. Akan tetapi kalau yang bersangkutan merasa kurang mampu untuk mengadakan keemam persembahan itu , ia boleh saja hanya mengadakan persembahan didalam dango, artinya ia hanya ikut sarama/ gamparan . perkataan Naik Dango adalah biasanya setiap dangau mempunyai tangga sehingga apabila akan mengambil / mencedok padi mereka harus naik melalui tangga. Itulah sebabnya maka upacara adat ini disebut naik dango.dan inilah upacara adat naik dango yang sebenarnya menurut versi tradisi nenek moyang yang telah berlangsung sejak turun temurun.

NAIK DANGO VERSI DEWAN ADAT.

Pada tanggal 12 juni 1985 penulis dalam kapasitas selaku ketua dewan adat mengadakan rapat / pertemuan bertempat dirumah Bapak Y.Jampari Iacon di Anjungan guna membicarakan hal tersebut yang dihadiri oleh :
 Bapak RA. Rachmad Sahudin Bsc dan Bapak Drs. M. Ikot Rinding masing – masing sebagai ketua dan Sekretaris Dewan penasehat adat Kabupaten Pontianak.
 F. Bahauddin Kay dan Thomas Mekan SH sebagai ketua dan sekretaris dewan adat.
 Bapak Sinyor Mantar ( alm ) B. Besen (alm) Y. Jampari Iacon , M.Y.Akau Gogok,C.Mangking ,Drs.Ambrosius Anwar, Marcos
 Bapak Marcos lahiran S. sos, dan Markus Onyan dari dinas pertanian.
Dalam rapat tersebut telah diputuskan :
1. Upacara adat naik dango diangkat ditingkat Kabupaten
2. Pelaksanaan diadakan setiap 27 april
3. Upacara adat naik dango dilaksanakan secara bergiliran disetiap kecamatan dalam Kab. Pontianak
4. Pelaksanaan pertama pada tanggal 27 april 1986 di kecamatan Mandor.
Dalam rapat tersebut , Bapak Sinyor Mantar salah seorang mengajukan pendapat agar pelaksanaan adat naik dango ditetapkan tanggal 20 mei bersamaan dengan hari kebangkitan nasianal dan berkenaan pula dengan penetapan Gubernur bahwa hari adat dilaksanakan pada tanggal 20 mei. Pendapat ini tidak dapat diterima , beliau mengusulkan lagi agar pelaksanaan adat naik dango bersamaan dengan hari paska, usul ini pun tidak dapat diterima dengan alasan bahwa agar hari adat naik dango tidak dapat diterima dengan alasan agar hari adat naik dango tidak dipengaruhi / diintervensi oleh unsur pemerintah mau pun unsur agama. Sebagai wujud kedaulatan adat, maka penetapan hari adat naik dango pada hari yang khusus yang telah dipertimbangkan sedemikian rupa.
Secara kronologis giliran pelaksanaan upacara adat naik dango tersebut adalah sebagai berikut :
 Pada tanggal 27 april 1986 dikecamatan Mandor
 Pada tanggal 27 april 1987 dikecamatan Segah Temila
 Pada tanggal 27 april 1988 dikecamatan Mempawah Hulu
 Pada tanggal 27 april 1989 dikecamatan Menyuke
 Pada tanggal 27 april 1990 dikecamatan Ngabang
 Pada tanggal 27 april 1991 dikecamatan Toho
 Pada tanggal 27 april 1992 dikecamatan Sungai Ambawang
 Pada tanggal 27 april 1993 dikecamatan Menjalin
 Pada tanggal 27 april 1994 dikecamatan Air Besar
 Pada tanggal 27 april 1995 dikecamatan Sungai Pinyuh
Upacara adat tersebut dilaksanakan terus menerus setiap tahun secara bergiliran disetiap kecamatan dan hingga kini tanggal 27 april 2005 dilaksanakan diAnjungan kecamatan Sungai Pinyuh, yang merupakan giliran terakhir pada putaran kedua. Upacara adat naik dango yang telah diangkat ditingkat Kabupaten tersebut mempunyai maksud dan tujuan sebagai berikut :
1. Merupakan kegiatan rutinitas agar wadah ini tetap eksisi tidak statis dan
mandek senantiasa mempunyai kegiatan dan dapat memberikan gaung
bagi dewan adat agar dikenal baik diluar maupun diluar masyarakat
kanayatn.
2. untuk melestarikan budaya adat seperti kesenian daerah berupa musik
dan lagu –lagu daerah, seni tari, pencak silat,cerita rakyat, meraut
pabayo, seni ukir, pahat,lukis dan berbagai permainan rakyat dan lainnya
itulah sebabnya maka upacara adat ini dilaksanakan secara bergiliran
disetiap kecamatan, yang merupakan sosialisasi langsung kepada
masyarakat.

3. Pemusatan kegiatan pada suatu tempat / kecamatan tertentu tidak
dapat memberikan kesempatan kepada kecamatan – kecamatan lain
sehingga mereka tidak pernah merasakan suka duka dan pengalaman
sebagai penyelenggara dan dapat menimbulkan kecemburuan.
4. Memantapkan Pelaksanaan Upacara adat dalam rangkaian siklus kegiatan pertanian ( patahunan ) setiap tahun yang telah ditetapkan oleh dewan adat yaitu :
a. Tanggal 28 mei lala Nagari yaitu pantang lala’ yang diadakan secara serentak dan menyeluruh dimaksudkan untuk mempersiapkan diri baik mental maupun fisik untuk menghadapi kegiatan pertanian ( patahunan ) baru.
b. Tanggal 5 juni nabo’ panyugu babatak ngawah, dimaksudkan untuk mendapatkan berkat dan penyertaan jubata dalam melaksanakan kegiatan pertanian dan dapat pula diartikan sebagai pengumuman untuk memulai pekerjaan secara serentak.
c. Tanggal 7 november giliran penyakit padi. Upacara adat ini untuk membuang semua penyakit padi termasuk bahol padi seperti tikus, limpango, pipit dan lain – lain.
d. Tanggal 17 pebruari giliran antu apat. Ini artinya bahwa antu apat ( penyebab panceklik ) diusir dan dihanyutkan dengan perahu yang dibuat dari pelepah sagu .
e. Tanggal 27 april Naik dango sebagai ucapan syukur atas hasil panen yang diperoleh.
Demikian siklus upacara adat ini berlangsung terus sepanjang kegiatan pertanian ( pertahunan ) dari tahun ketahun, kembali lagi tanggal 28 mei lala’ nagari dan seterusnya. Banyak upacara – upacara adat yang dilakukan selama kegiatan patahunan tetapi tidak memungkinkan untuk di atur secara serentak seperti halnya adat yang telah diuraikan diatas.
Upacara adat naik dango ini merupakan gawe Kabupaten oleh sebab itu penyelenggaraannya ditangani oleh sebuah panitia dimana SK pembentukannya dikeluarkan dan disahkan oleh dewan adat Kabupaten, dan dalam melaksanakan tugasnya panitia dibantu oleh tim asistensi dari kabupaten. demikian pula acaranya terdiri dari 2 ( dua ) bagian yaitu acara protokoler dan acara seremonial.
Acara protokoler meliputi acara penyambutan tamu dan sambutan – sambutan sedangkan acara seremonial meliputi acara persembahan syukuran /nyangahatn ditengah pante, acara nimang padi dan persembahan didalam dango padi yang dilanjutkan dengan pertandingan / atraksi – atraksi.
Berbeda dengan pelaksanakaan tehun – tahun pertama, dimana gawe adat ini kurang mendapat animo masyarakat sangat membludak hingga mencapai ribuan orang yang terdiri dari :
1. Unsur pemerintahan daerah ( Gubernur, Bupati, DPRD,dan para pejabat lainnya ).
2. Para rohaniwan ( pastor dan pendeta )
3. Para budayawan
4. Kaum cendekiawan
5. Tokoh adat dan pemuka masyarakat
6. kaum muda – mudi
7. Turis domestik dan manca negara .
Upacara adat naik dango adalah merupakan suatu forum komunikasi antara pemerintah dan masyarakat adat dimana pemerintah selaku pengayom dan pembina adat berkesempatan untuk memberikan wejangan dan petuah serta pesan – pesan pembagunan kepada masyarakat dan diharapkan pula agar event ini adalah dapat memperkaya khasanah budaya bangsa dan dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan wisata daerah.
Sebagaimana telah dijelaskan diatas bahwa inti daripada upacara adat naik dango tidak bertentangan agama apapun itulah sebabnya para rohaniwan diundang. Hampir setiap tahun dalam upacara adat ini diadakan cara liturgi keagamaan oleh pastor bagi masyarakat adat yang beragama khatolik .upacara adat ini mengundang banyak perhatian para budayawan kita dimana nilai – nilai budaya yang terkandung didalamnya dapat dijadikan salah satu sumber inspirasi bagi mereka dalam pengembangan kariernya, demikian pula para cendekiawan mungkin dapat memanfaatkan event ini guna pengembangan ilmu.
Upacara adat ini perlu dilestarikan untuk dapat diwariskan ke generasi mendatatang, oleh sebab itu berapa pentingnya kehadiran kaum muda – mudi sebagai penerima estapet.

NAIK DANGO ADALAH PEMBOROSAN DAN HURA – HURA ?.

Naik dango versi dewan adat bukanlah sekedar rangkaian acara persembahan sebagai ungkapan rasa syukur kepada jubata atas hasil panen yang diperoleh sehingga orang akan mengatakan bahwa tidak ada dango tanpa padi dan tidak mungkin ada naik dango tanpa dango padi. Tujuan diadakannya upacara adat naik dango versi dewan adat yang diangkat di tingkat kabupaten jangan diartikan secara eklusif sempit karena sebagaimana yang telah diuraikan diatas ibarat pepatah, sekali mendayung dua – tiga pulau terlampaui . masyarakat kanayatn boleh saja meneruskan upacara adat ini dari tahun ketahun, putaran demi putaran walaupun masyarakat kanayatn telah beralih menjadi masyarakat industri. Naik dango boleh dilaksanakan sekedar merupakan napak tilas memperingati prilaku adat istiadat nenek moyang pada jamannya dalam melakukan kegiatan bercocok tanam padi.
Syukuran biasanya dilaksanakan dengan iklas dan suka cita apalagi syukuran yang diadakan dalam skop yang lebih besar dikabupaten yang dihadiri oleh beribu – ribu orang tentu pelaksanaannya sangat meriah dan hura – hura namun tetap dalam batas – batas toleransi adat dan kesopanan. orang tidak mungkin mengadakan syukuran dengan perasaan sedih dan muka muram.
Bantuan / sumbangan dari pemerintah dan masyarakat digunakan untuk membantu pelaksanaan dimaksud seperti biaya transport kontingen, pelaksanaan kegiatan panitia, dan rehabilitasi rumah adat, bahkan jika dananya cukup memadai dana itu boleh saja digunakan untuk membangun kantor peradilan adat minimal diibu kota kecamatan lainnya.
Suatu kenyataan yang tidak dapat disangkal bahwa gawe naik dango yang cukup meriah dikunjungi oleh ribuan orang dapat menimbulkan dampak positif dan negatif, sebagai luapan dan ungkapan emosional masa. Perjudian dan minuman keras ( miras ) adalah merupakan unsur negatif yang perlu mendapat perhatian khusus dari panitia .walaupun panitia tidak berdaya mengatasinya namun tindakan preventif tetap dilaksanakn dalam bentuk larangan.

0 komentar: