Di Rasa Di Roso Di Tarah Di Kakap

Minggu, 09 Maret 2008

Pemetaan Partisipatif


Pemetaan Partisipatif Untuk Pemberdayaan Masyarakat Adat

Alam, tanah, sungai dan hutan dipercayai masyarakat adat sebagai “Rumah bersama”, di mana semua mahluk hidup dirawat dan dilindungi. Ketika awal dari aktivitas pengelolaan sumber daya alam, kita selalau minta izin dari alam semsesta dan semua mahluk hidup maupun mati. Masyarakat adat tidak akan mengeksploitasi alam karena bagi mereka tanah adalah tubuh, sungai adalah darah dan hutan adalah nafas kehidupan. Ketiga elemen ini memberikan identitas sebagai masyarakat adapt, membentuk kebudayaan dan kepercayaan masyarakat adat dan memberi kehidupan”. (John Bamba, 1998)

Dalam prktek kehidupan sehari-hari, pemerintah di Indonesia tidak menghormati hak-hak Masyarakat Adat atas tanah leluhur mereka. Meskipun secara hokum mengakui hak-hak ini, namun pemerintah telah menggunakan dan menyalahgunakan klausul dalam Undang-Undang Pokok Agraria No.5/1960 yang menyatakan ..”pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara,...” dalam kasusu Kalimantan Barat (Kalbar), berdasarkan hukum ini, pemerintah dengan efektif membagi wilayah Kalbar untuk sejumlah perusahaan HPH, perkebunan besar, lahan transmigrasi dan hutan-hutan lindung/cagar alam tampa berkonsultasi dengan Masyarakat Adat yang hidup disekitarnya. Ini menyebabkan masyarakat adat tidak berdaya dan kebudayaan mereka rusak. Makin lama arti dasar keberadaan hutan bagai mereka-hutan dan tanah, yang mereka tempati sejak dulu kala-dibabat habis.
Masayarakat Adat Dayak kuatir dengan program pembangunan pemerintah pusat yang dinamakan Kawasan Andalan Pembangunan Ekonomi Terpadau (KAPET)-sebuah program yang dirancang untuk mengurangi kesenjangan antara Indonesia Timur dan Barat-akan mengasingkan mereka dari tanah dan warisan mereka. Program KAPET diremikan tahun 1996, berdasarkan keputusan Presiden Soeharto. Program KAPET ini ditunjukna untuk prekembangan perkebunan kelapa sawit, perambangan (bauksit), perkebunan karet hibrida(lahan karet alam) dan industri perusahaan perkayuan (HPH dan HTI). Meskipun studi yang dilakukan JICA (1996) berkesimpulan bahwa tanah Kalbar tidak cocok untuk tanaman kelapa sawit, tetapi program KAPET justru akan membangun 3.2 juta hektar perkebunan kelapa sawit, sulit dibantah program KAPET akan mendorong Masyarakat Adat Dayak semakin tersisih dari tanahnya.

Padahal awal program pembanguna 1962 pemerintah memerintahkan agar seluruh rumah panjang suku dayak dibongkar karena sianggap kuno, tidak sehat, mudah terbakar dan menghalangi pembangunan. Pemerintah mendorong orang Dayak tinggal dirumah tunggal. Desa-desa baru diciptakan dan seluruh peraturan dibuat seragam. UU Pemerintah Desa No. 5/1979 memporak-porandakan lembaga-lembaga adat dan fungsi-fungsi pemimpin masyarakat Adat/

Pemerintah berinisiatif dan memfasilitasi pembentukan lembaga-lembaga boneka dan tidur dengan membentuk Dewan Adat Dayak di seluruh kecamatan dan kabupaten, serta Majelis Adat Dayak ditingkat propinsi. Dalam banyak kasus perusahaan kapitalis telah berulang kali memakai Dewan dan Majelis Adat untuk mengambil dan menguasai tanh-tanah orang Dayak serta mengubah wilayah adat orang dayak menjadi kawasan industri perkayuan dan perkebunan besar (sawit, karet unggul, coklat dan kelapa hibrida). Perusahan-perusahaan besar didukung pemerintah memanfaatkan lembaga adat boneka tersebut untuk kepentingan mereka.

Contoh, Bupai Sanggau, Baisoeni ZA, mengadakan adat ngudas, baburukng (sebuah ritual Dayak yang dilaksakan ketika masyarakat atau keluarga akan membuka lahan untuk pertanian) ritual ini mendapat liputan yang besar dari media massa. Ia mengatakan bahwa ritual ini menandaka paremah tanah (pelepasan tanah), sebagai tanda penyerahan tanah dari masyarakat adat Dayak di sana untuk industri perkebunan yang masuk kesana. Dalam kasusu lain, seoang temenggung adat (ketua adat) menyerahkan mandaunya (senjata khas dayak) kepada bupati dan Direktur PT KGP (perusahaan perkebunan sawit) yang menandakan pengalihan tanah masyarakat kepada PT KGP. Padahal kenyataannya, menurut adat seorang temenggung tidak berhak untuk menyerahkan tanah masyarakat. Ia hanya berhak mengatur masyarakat adat dengan melaksanakan aturan adat.

Sejak oaranag Dayak tinggal di rumah tunggal, pertaliankeluarga dalam masyarakat Dayak telah menurun drastis. Pertemuan menyarakat tidak mudah dilaksanakan. Mereka tidak lagi merakan perlunya melaksanakan kerja bersama (gotong-royong) dan gaya hidup bersifat individualstik. Sementara generasi muda tidak dapat lagi memperlajari pengetahuan adat; pengaruh baru dari luar lebih memikat. Kondisi sosial ini memudahkan kepentingan para investor yang datang untuk mengeksploitasi daerah. Misalnya, banyak perusahaan dengan mudah menyewa panglima (dayak) untuk menahan perlawanan dari masyarakat Dayak yang menentang perusahaan.

Banyak orang Dayak merasa pihak luar lebih bijaksana dari mereka. Ini menyebabkan mereka percaya bahwa rencana pembanguna yang datang dari l uar pasti bagus, dan rencana ini tidak akan membahayakan mereka. Kepercayaan dari daam merencanakan kehidupan mereka sendiri telah terkikis dan mereka cendrung manjadi apatis. Ketika orang Dayak menjual karet atau hasil hutan,ketika ditanya berapa harganya, mereka seringa menjawab “apa kata toke sajalah” dari pada mengatakan harga yang mereka harapakan.
Memang ada beberapa kampung telah melestarikan adat istiadat, budaya, lembaga adat dan hukum adat mereka. Misalnya warga kampung Tapang Sambas/Tapakng Kemayau, Kotub, Rasak Balai dan Merbang (semuanya di kbaupaten sanggau).ditempat ini, hukum adat melarang penebangan pohon di hutan adat tampa izin dari masyarakat setempat. Kayu hanya bolegh digunakan oleh penduduknya dan tidak boleh dijual untuk orang luar. Jika seseorang melanggar hukum ini, maka tidak hanya kayu akan disita, tetapi si pelanggar juga akan menerima hukum adat.

Pemetaan Parisifatif Masyarakat :menegakkan Akar dan Revitakisasi Kebudayaan Masayarakat Adat.
Menghadapi situasi yang semakin memburuk seperti disebutkan di bagian atas, beberapa orang dayak memutuskan menentang pengasingan dan melindungi tanah mereka semi masa depan anak-anaknya dan kecintaan mereka pada hutan, tanah dan sungai yang sepenuhnya diperlukan untuk memelihara identitas kulturla masyarakat adat dayak (baca MA Dayak).

Adalah Yayasan Karya Sosial Pancur Kasih mempelopori gerekan pemetaan partisipatif masyarakat (biasanya disebut pemetaan partisifatif-red) engan membuat stu unit pemetaan yang dinamakan Pemberdayaan Pengelolaan Sumber Daya Alam Kemasyarakatan (PPSDAK) tahun1994. Gerakan pemetaanpartisipatif di mulai di sanggau tahun 1995, ketika warga kampung Merbang, Menawai Tekam dan Tapan Samabas/tapang Kemayau menghadapi masuknya perkebunan kelapa sawit yang terus menerus semakin menghabiskan tanah mereka. Sampai pada tahun 1999 telah 149 kampung yang telah di petakan tanah dan hutan ereka. Tulisan bagian ini menggambarkan bagaimana proses pemetaan partisipatif telah membantu masyarakat tersebut membangun kembali akar kebudayaan mereka. Berikut ini urutan proses pemetaan partisipatif.

Langkah pertama; Memperkenalkan ide pemetaan partisipatif, langkah kedua, Menyampaikan peta-peta batin. Langkah ketiga, Mendiskusikan ide dengan kampung tetangga. Langkah keempat, Mengklarifikasikan hasil-hasil pemetaan. Langkah kelima, Mengembangkan peta dengan akurat. Keenam, Pelaksanaan Pemetaan. Ketujuh, penandatanganan Peta. Kedelapan, Penyerahan peta kepada masyarakat ybs.

Memperkenalkan Ide Pemetaan Partisipatif
Selama tahapan pengenalan, organisasi masyarakat dari PPSDAK menjelaskan proses pemetaan. Setelah itu dilakukan musyawarah adat yang dikuti seluruh warga kampung yang akan dipetakan. Baik tua-muda, pria-wanita, anak lak-laki dan anak perempuan. Musyawarah adat dimulai dengan diskusi mengenai masalah-masalah dan ancaman-ancaman yang dihadapi masyarakat. Organisator masyarakat juga dengan hati-hati menjelaskan ancaman-ancaman yang akan muncul akibat dilaksanakannya pemetaan kepada masyarakat. Kemudian masyarakat mendiskusikan apakah pemetaan daat menjadi sebuah alat efektif untuk menyelesaikan persoalan mereka secara konsturtif. Jika masyarakat sepakat bahwa pemetaan merupakan pilihan positif, mereka akan menulis surat permintaan formal yang ditujukan ke PPSDAK-Pancur Kasih, minta menyediakan fasilitator pemetaan untuk memetakan kampung-kampung mereka. Permintaan formal ini penting untuk menghindari tuduhan bahwa pemetaan tidak dikehendaki masyarakat dan supaya masyarakat bener-benar merasa perlu wilayahnya di petakan.

Menyampikan Peta Batin
Selama musyawarah adat, masyarakat dibagi dalam sejumlah kelompok berdasarkan umur dan jender. Setiap kelompok melukiskan peta batin wilayah mereka dalam sketsa. Sketsa-sktesa ini akan dipreentasikan peserta lainnya dan selanjutnya didiskusikan. Ini untuk menjembatani jurang pengetahuan antar peserta. Karena diantra sesama warga kampung sendiri, terutama antara pria dan wanita, ada perbedaan pemahaman yang mendalam tentang apa yang ada diatas tanah dan sungai mereka. Kaum perempuan tidak jarang mengetahu dengan baik keanekaragaman hayati yang ada disekeilingnya. Proses pemetaan juga mengungkapkan kayanya pengetahuan yang dikuasasi para perempuan Dayak, yang sebelumnya tidak pernah dihormati secara penuh. Pada kenyataannya, mayoritas informasi yang berkena dengan keanekaragaman tanaman pertanian dan obat-obatan diketahui kaum perempuan Dayak. Para tetua pria memegang pengetahuan tentang batas-batas akhir. Yang muda seing tidak mempunyai pemahamanyang baik. Nah, memlalui proses ini kaum muda diperkaya dengan pengetahuan baru. Proses ini dinyatakan wujud revitalisasi budaya yang sangat kuat.

Mendiskusikan Ide dengan Kampung Tetangga
Sebelum Pemetaan partisipatif dimulai, dilaksanakan lagi muasyawarah adat. Musyawarah adat ini mengundang tetua dari kampung tetagga untuk mendapat penjelasan tentang rencana pemetaan kampung /wilayah. Tahap ini sangat penting dan harus dilaksanakan dengan hati-hati, itikad baik dan keterbukaan untuk mencegah konflik perbatasan wilayah di masa depan. Para fasilitator dari PPSDAK selalu berhati-hati untuk menyakinkan seluruh kelompok agar memahami sepenuhnya apa yang mereka dapatankan sebelum proses pemetaan dimulai. Jika sudah tercapai kesepakatan, seluruh masyarakat kampung tetngga akan memberi izin untuk memetakan wilayah mereka.

Pelaksanaan Pemetaan
Sebelum melaksanakan pemetaan diadakan ritual adat untuk membri tahu dan mohon izin kepada Jubata, ne’ patampa, awa pama ai tanah (tuhan-red) agar selama pross pemetaan tidak mendapat hambatan. Setiap orang terlibat dalam proses pemetaan. Para fasilitator dari PPSDAK mengenalkan dan menjelaskan seluruh peralatan yang digunakan dalam pelaksanaan pemetaan. Masyarakat belajar menggunakan alat alami dan moderen secara konstruktif. Dengan menggunakan peralatan moderenn seperti kompas dan GPS mereka secara fisik mengunjungi kembali peta-peta batin mereka.

Sebuah proses pembelajaran inter-generasi dilaksanakan. Yang muda menikuti yang tua agar dapat mencatat seluruh informasi yang berhubungan dengan batas-batas daerah yang berbeda. Misalnya, setidaknya ada 17 daerah khusus yang berbeda telah diidentifikasi dan dipetakan selama proses pemetaan di berbagai kampung di Kabupaten sanggau. Daerah khusu ini mereflesikan bagimana manusia Dayak behubungan dengan lingkungan aam mereka. Informasi ini tidak dapat diperoleh generasi mauda Dayak di bangku sekolah formal.

Mengembangkan Peta secara Akurat
Data dari lapangan dibawa dalam lokakarya PPSDAK di Pontianak. Menggunakan fasilitasi lokakrya dan bantuan fasilitator PPSDAK, memilih perwakilan masyarakat untuk meyelesaikan peta-peta tersebut.

Mengklarifikasikan Hasil-hasil
Jika peta telah dilengkapi, peta itu dipresentasikan pada masyarakat yang kampungnya di petakan. Masyarakat men-ek ulang keakuratan peta. Apakah ada tempat-tempat yang belum dipetakan; Apakah ada nama tempat yang salah. Dalam tahapan ini kesalahan-kesalahan diperbaikai.

Penandatanganan Peta
Jika peta telah selesai dilengkapi diadakan lagi musyawrah adat untuk penandatanganan peta. Peta ditandatangani kepala kampung/dusun, kepala desa, camat, saksi-saksi dan beberapa tempat bupati turut mendatangani. Sekali lagi, fasilitator dari PPSDAK mengingatkan masyarakat untuk memegang hak-hak atas peta-peta ini dan mengingatkan bahwa pembuatan peta dilakukan mereka sendiri. Karena itulah mereka yang seharusnya menandatanganinya. Pengakuan kepemilikkan peta-dan seluruh hal ini yang berkaitan dengan tanggung jawab dan kepemilikan peta-dianggap selesai dengan ditandatanganinya peta tersebut.

Penyerahan Peta
Tahap akhir proses pemetaan adalah penyerahan peta kepada masyarakat yang dipetakan. Biasanya upacara penyerahan peta ini bersamaan dengan penandatangan peta. Masyarakat mempercayakan kepada salah seorang tokoh masyarakat yang paling kredibel untukmenyimpan peta tersebut.

Untuk Menahan Pengambialan Tanah-tanah Adat Stelah melengkapi proses pemetaan partisipatif dan menghasilkan peta moderen, masyarakat lebih siap menghadapi kekuatan dari pihak luar yang melanggar batas tanah-tanah mereka. Mereka mengetahui dengan pasti apa yang dikatakan peta dari luar; dan mereka memiliki peta sendiri untuk menginformasikan kepada warga pendatang baru dimana batas sebenarnya. Peta ini terbukti efektif. Misalnya masyarakat Tapang sambas/Tapakng Kemayau bisa mencegah pembanguna perkebunan sawit berdasarkan legalitas peta kampung mereka. Kampung Tapakng sambas/Tapakng Kemayau kini merupakan satusatunya kawasan hutan di tengah perkebunan sawit. Warga disana berhasil menjaga tradisi, adat, budaya dan wilayah berdasarkan peta yang mereka buat dan mampu mengelola perekonomian mereka. Warga mengelola koprasi kredit (CU-credit union) yang mempunyai aset lebih dari Rp 2 Milyar. ( ini adalah salah satu dari manfaat peta parisipatif)

0 komentar: