Jauh sebelum negara ini ada, masyarakat adat telah lebih dulu ada dan terserbar diseluruh pelosok nusantara ini dan memiliki sistem pemerintahan sendiri. Ini dibuktikan dengan adanya struktur pemerintahan yang ada di tengah-tengah masyarakat adat. Yang menjadi aneh adalah tatkala negara ini terbentuk, dengan sangat sewenang-wenang para petinggi negara ini mengklaim bahwa wilayah/teritori yang didiami secara turun-temurun sejak ribuan tahun itu harus diberi label menjadi “milik negara”. Sebut saja misalnya “tanah negara”, “hutan negara”, dll.
Dulu masyarakat adat hidup damai di tanah dan hutan mereka. Karena masyarakat adat bisa menikmati hasil dari berbagai sumber yang terdapat di alam sekitar mereka, yang di wariskan oleh Nenek Moyang terdahulu. Yang mereka jaga dan kelola dengan secara tutun temurun dan dengan tidak merusak kehidupan alam yang sudah ada. Rasa persaudaraan dan kekeluargaan masih berjalan dengan baik, segala tatanan kehidupan sudah di atur dengan adat istiadat yang ada.
Pemerintah Daerah selama ini mulai mendorong perkebunan kelapa sawit dengan skala besar di setiap daerah dan pelosok kampung. Pemerintah tidak mau tahu apakah itu bertentangan dengan masyarakat atau tidak, dan apakah itu merusak lingkungan dan tatanan kehidupan serta moral masyarakat adat atau tidak, yang penting di mata pemerintah bahwa dengan adanya perkebunan-perkebunan kelapa sawit itu bisa menabah APBD. Dan selain itu juga pemerintah berkeinginan supaya masyarakat sejahtera. Hal-hal yang ini lah yang mendorong pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten/kota berlomba-lomba memasukan berbagai perusahaan perkebunan sawit. Pemerintah dan para pejabat hanyalah melihat sebelah saja, dia tidak melihat dan menghayati apa yang akan terjadi di balik itu semua, secara tidak langsung bahwa pemerintah lah yang pertama akan memusnahkan adat –iatiadat dan hukum adat.
Betapa malang dan hinanya hidup sebagai masyarakat adat, dan betapa mudahnya pemerintah mematok dan menunjuk segala tanah dan hutan masyarakat adat untuk di jadikan lahan perkebunan yang akan merusak dan menelan semua tatanan kehidupan masyarakat adat yang sudah ada jauh sebelum Negara ini ada.
Dan kalau ini semua berjalan, kita semua jangan bermimpi lagi bisa melihat panorama alam yang indah seperti sekarang ini, dan kita juga jangan heran, kelak masyarakat kita akan hancur lebur yang tidak mengenal saudara dan keluarga. Selain itu juga kita pasti banyak mendengar perempuan-perempuan di setiap kampung atau daerah banyak menjadi PSK dan akan marak praktek-praktek portistusi. Karena kalau berbagai perkebunan Kelapa Sawit sudah masuk dan kita tidak akan bisa menjalankan dan mempertahankan adat-istiadat kita lagi, jadi semua orang sudah tidak ada tatakrama yang mengaturnya.
Hal-hal yang seperti ini lah yang tidak adadi pikiran para pemerintah penguasa, yang ada di kelapa mereka hanyalah bagai mana caranya mendapat keuntungan yang lebih banyak lagi. Mereka tidak perduli apakah itu mau merugikan masyarkat atau tidak, apakah itu akan berdampak buruk bagi masyarakat atau tidak, bagi mereka hanyalah keuntungan dan pendapatan yang lebih besar.
Dan sekarang ini para pejabat, pengusaha dan penguasa, bahagia di atas penderitaan dan jeritan rakyat kecil. Mereka hanya melihat di pingiran kota dan pingiran jalan, mereka tidak mau melihat di pelosok-pelosok kampung yang jauh tertinggal.
Seandainya budaya rumah panjang orang Dayak tidak dihancurkan dan dibiarkan hancur menjelang akhir 1960-an dan awal 1970-an, perang antaretnis yang marak belakangan ini akan lebih mudah dicarikan solusinya. Setiap rumah panjang yang terdiri dari puluhan KK itu (ada yang ratusan juga), memiliki seorang pemimpin atau Tuai Rumah (Dayak Iban). Peranan Tuai Rumah tidak seperti Kepala Adat sekarang yang dijadikan bawahan Kepala Desa (Gabungan) dan mengantongi SK dari bupati, meskipun di banyak tempat usaha ini tidak selalu efektif untuk memorak-porandakan kepemimpinan beberapa kepala adat yang ada. Tuai Rumah adalah pemimpin sejati yang berurat-berakar di komunitasnya, Komunitas Rumah Panjang. Ia memiliki akses terhadap aktivitas semua anggota komunitasnya termasuk apa yang mereka rasakan, inginkan, dan ekspresikan. Tindakan seorang warga komunitas pastilah diketahui oleh Tuai Rumah dan omongan Tuai Rumah didengarkan oleh warganya. Sangat kontras dengan omongan para tokoh adat sekarang yang kebanyakan tidak dihiraukan oleh komunitasnya. Warga komunitas rumah panjang yang bergerombol atau berkumpul dengan tujuan untuk melakukan sesuatu pun pasti sepengetahuan Tuai Rumah. Jadi, legitimasi kepemimpinannya jelas sehingga orang Dayak tidak mesti mencari-cari pemimpin lain seperti para panglima yang menjadi gejala umum sekarang (dan mulai menular ke etnis lainnya). Aparat keamanan dan para penegak hukum pun tidak usah repot-repot mencari provokator atau dalang, jika sesuatu terjadi.
Agar dapat melestarikan nilai-nilai budaya rumah panjang tersebut, dibutuhkan lingkungan fisik dan sosial yang mendukungnya. Rasa kebersamaan, saling percaya, dan semangat solidaritas yang sangat kuat dalam komunitas rumah panjang tidak bisa dibangun dari pintu ke pintu rumah warga yang tunggal seperti sekarang di bawah koordinasi Pak RT. Sebab untuk berkumpul dalam sebuah pertemuan saja, orang Dayak sekarang menuntut diberi surat undangan resmi dan tertulis, jika tidak, banyak di antara mereka tidak mau datang karena malu merasa tidak diundang.
Jadi, budaya rumah panjang menjamin adanya akses komunikasi yang efektif dan kepemimpinan yang jelas. Dua aspek ini sangat penting dalam proses penanganan sebuah konflik yang sedang terjadi.
Hukum adat dibuat untuk menciptakan keamanan dan ketertiban dalam masyarakat berdasarkan norma-norma yang dianut. Sesuai dengan namanya, hukum adat berakar pada adat istiadat yang berlaku secara lokal, bukan hukum yang berkait berkelindan dengan tuntutan internasional dan global. Hukum adat jelas memiliki pula nilai-nilai universal, namun universalnya komunitas yang lokal. Hukum adat Dayak diberlakukan untuk mencegah tindakan-tindakan main hakim sendiri - dengan kekerasan maupun tidak - baik oleh warga komunitas yang bersangkutan maupun oleh warga luar terhadap komunitas tersebut. Orang Dayak sangat menghormati hukum adatnya dan dengan cara demikianlah mereka berhasil menyelesaikan 233 perkara secara adat dalam waktu dua bulan pada 1894 di Tumbang Anoi.
Masalah akan timbul bilamana hukum adat sekonyong-konyong, entah karena apa, menjadi seolah-olah tidak jalan, tidak sah, dan pintu keadilan lainnya pun (baca: supremasi hukum negara) menjadi mandul. Milik orang dirampas seenaknya, orang diusir, sumber kehidupannya dihancurkan, dan bahkan kadang-kadang dibunuh tanpa penyelesaian hukum yang jelas, atas nama 'pembangunan', 'persatuan dan kesatuan' atau 'nasionalisme'. Kondisi ini akan membuat orang frustrasi dan bagi warga komunitas yang cenderung berpikiran sederhana, mereka biasanya tidak membutuhkan para provokator untuk mengambil alih hukum ke dalam tangannya sendiri, apalagi jika para provokator tersebut memang terbukti ada.
'Universalitas' hukum adat Dayak itu (yang berlaku di semua subetnis) ditandai dengan tidak dikenalnya hukuman mati dan karenanya tidak dikenal prinsip 'nyawa ganti nyawa'. Jika orang Dayak membalas membunuh bilamana ada warga komunitasnya yang dibunuh, itu bukan karena prinsip 'nyawa ganti nyawa' melainkan karena keadilan telah dirampas dari mereka melalui mandulnya hukum adat yang mestinya berlaku atau hukum negara yang gagal berfungsi. Kalau hal itu terjadi sekali atau dua kali, biasanya tidak sampai memicu tindakan balas dendam. Namun, bila hal itu terjadi berulang kali apalagi sampai belasan kali oleh pelaku dari latar belakang yang relatif sama, maka orang menjadi sangat sensitif dan pembalasan sulit dihindari. Tengok saja pemerintah Amerika dan sekutunya yang mengklaim dirinya sebagai kampiun hak asasi manusia dan paling beradab, juga tidak bisa menghindarkan diri dari perangkap balas dendam tersebut.
Orang Dayak berpandangan bahwa alam ini adalah rumah bersama bagi semua makhluk, termasuk makhluk-makhluk yang tidak kelihatan. Karena itu, manusia tidak boleh memonopoli alam untuk kepentingan manusia semata. Atas prinsip inilah, unsur-unsur alam yang berseberangan dengan kepentingan manusia tetap harus diberi tempat untuk eksis. Makhluk-makhluk yang biasanya mengganggu kehidupan manusia seperti setan dan hantu juga diberi makan bilamana ada ritual yang berhubungan dengan hal tersebut diadakan. Harap diingat, bahwa memberi makan setan atau hantu tidak sama dengan 'menyembah' setan atau hantu; sama seperti jika kita memberi makan ayam, tidak berarti menyembah ayam. Intinya adalah, hubungan yang harmonis dengan semua unsur alam harus dipertahankan dengan memperlakukan semuanya secara proporsional dan adil, tidak dengan cara diskriminatif. Sebab semua yang ada di alam merupakan ciptaan Yang Maha Kuasa. Jika Yang Maha Kuasa saja memberi kesempatan bagi semua makhluk, apalagi manusia.
Prinsip kebersamaan dalam budaya Dayak ini tidak main-main. Ada pepatah Dayak yang mengatakan, 'Anjing saja diberi makan, apalagi manusia'. Ada juga pepatah lain yang mengatakan, 'Sesama saudara diajak makan, tamu diberi beras'. Maksudnya adalah penghormatan terhadap keberadaan manusia seperti apa adanya. Seorang tamu yang belum diketahui secara persis latar belakangnya, mungkin memiliki cara-cara makan yang berbeda dengan orang Dayak sehingga memberikan 'bahan makanan' dianggap sebagai keputusan yang paling bijaksana agar sang tamu dapat mengolah makanan dengan cara yang sesuai dengan keadaannya. Semangat kebersamaan orang Dayak itu secara efektif dapat pula kita lihat dalam berbagai perang antaretnis yang terjadi di Kalimantan. Dalam kondisi geografis yang terpencar-pencar di pedalaman serta sarana komunikasi dan transportasi yang sangat tidak memadai, orang Dayak dengan mudah berkumpul. Mangkok Merah yang sering dipublikasikan sebagai sarana komunikasi orang Dayak itu, bukan merek handphone. Ia cuma sebuah mangkuk dengan beberapa tetes darah ayam, sepuntung rokok, selembar bulu ayam, dan secarik daun kajang yang biasa dipakai sebagai bahan untuk membuat atap rumah. Mangkuk itu diedarkan dari kampung ke kampung dengan berjalan kaki dan berlari, bukan melalui pesan e-mail. Dengan cara itu, orang Dayak sudah akan berkumpul secara cepat dan dalam jumlah yang fantastis.
Senin, 12 Mei 2008
Pemusnahan identitas “adat-istiadat” oleh Negara
Diposting oleh sunawar di 19.23
Label: Adat dan Budaya
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar