Siaran Pers, 22 Oktober 2005
Jakarta-Rencana Pemerintah untuk membangun perkebunan sawit terbesar di sepanjang perbatasan Kalimantan – Serawak-Malaysia Timur menuai protes yang cukup keras dari sejumlah kalangan, khususnya sejumlah organisasi lingkungan.
WALHI, sebagai forum NGO Lingkungan terbesar di Indonesia menyatakan akan berupaya keras untuk menghalangi niat pemerintah tersebut. Hal ini didasari sejumlah potensi bencana yang akan muncul di samping pemiskinan secara struktural terhadap masyarakat yang tinggal disepanjang daerah aliran sungai yang berhulu pada kawasan tersebut.
Direktur Eksekutif Nasional WALHI Chalid Muhammad, menenggarai bahwa pembukaan lahan dan perubahan peruntukkan menjadi perkebunan kelapa sawit pada kawasan hulu akan menyebabkan pendangkalan pada sungai-sungai yang ada. Akibatnya, pada saat run off*, sungai tidak lagi mampu menampung luapan air yang datang secara tiba-tiba. ” Ini akan menimbulkan inefisiensi pada anggaran pembangunan daerah setempat. Banjir akan menjadi ritual tahunan baru di Bumi Borneo disamping kebakaran hutan,” kata Chalid.
WALHI menyebutkan bahwa berdasarkan catatan pemerintah, Indonesia telah melepaskan lebih dari 15,9 juta hektar hutan untuk perkebunan kelapa sawit. Namun, baru 4,1 juta hektar diantaranya yang telah ditanami sawit. Selebihnya ditinggalkan pengusaha setelah diambil kayunya.
”Ini sama dengan bisnis pat gulipat. Siapa cepat ambil kayu dia dapat. Pemerintah seharusnya mengintensifkan lahan-lahan yang ditinggalkan pengusaha tersebut sekaligus memberikan sanksi keras agar hal serupa tidak terulang dikemudian hari. Memaksakan niat untuk membuka lahan baru itu sama dengan membuka topeng pemerintah bahwa yang diincar adalah tegakan kayu,” ungkap Rully Syumanda, Pengkampanye untuk isu Hutan dan Perkebunan WALHI.
Pembangunan sawit dimasa lalu memang kurang memberikan gambaran yang menyejukkan. Disamping menyisakan ratusan konflik ruang yang belum terselesaikan, perizinan pembukaan perkebunan seringkali menjadi sarana bagi pengusaha untukmendapatkan kayu. Dinas Perkebunan Kalimantan Barat misalnya menginformasikan bahwa hingga tahun 2005 terdapat 1,5 juta hektar perkebunan yang tidak aktif dari 2,8 juta hektar yang direncanakan.
Alasan pemerintah untuk membuka kawasan tersebut dikarenakan faktor keamanan perbatasan juga menjadi hal yang konyol di mata WALHI. Ketidaksanggupan Pemerintah/TNI dalam menjaga perbatasan tidak seharusnya dibayar mahal oleh rakyatnya sendiri dengan sejumlah bencana yang akan muncul.
Salah seorang masyarakat lokal di Serawak menyampaikan kepada WALHI:
“Perkebunan ini akan merusak area tangkapan air di perbatasan Sarawak. Komunitas Dayak di Kalimantan akan tersingkir dan jika perkebunan ini dilanjutkan, saya takut tidak akan ada lagi hutan alam di Borneo”**
Untuk itu, WALHI meminta ketegasan Pemerintah untuk menghentikan segera rencana pembangunan perkebunan kelapa sawit di perbatasan. Karena pembangunan tersebut jauh di atas ambang batas daya dukung lahan. Akan muncul bencana ekologi yang nilainya jauh lebih besar dan merugikan dibandingkan investasi yang akan ditanam.
“Pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat tidak harus dijawab dengan perubahan fungsi atau peruntukkan kawasan maupun dengan memperkenalkan tanaman eksotis dan monokultur seperti Sawit. Ada banyak pilihan hasil hutan non kayu seperti rotan atau damar yang jauh lebih ramah terhadap ekosistem dan ini tidak pernah mendapat penanganan maksimal dari pemerintah,” demikian Chalid Muhammad menutup pembicaraannya. (selesai)
Kamis, 18 September 2008
Perkebunan Sawit, Membangun Bencana di Bumi Borneo
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar